Seandainya Saya Wartawan Investigatif Tempo

Oleh: Satya Adhi

 

 

Judul Buku     : Di Balik Investigasi Tempo 01

Penyunting     : Muhammad Taufiqurohman

Penulis            : Toriq Hadad, dkk

Penerbit         : Tempo Publishing

Tahun Terbit : Februari 2017

 

USAI buku Bre X: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi (1997) terbit, Bondan “Maknyus” Winarno – sang penulis– justru ingin mengubur 5000 eksemplar buku yang tersisa. Ia frustasi. Tidak hanya dicekal, laporan investigasi jurnalistiknya soal tambang emas palsu di Busang, Kalimantang Timur itu berniat “dibeli” seorang pejabat Orde Baru agar tidak diedarkan.

 

Saat itu Bondan “berteriak” sendirian. Usai satu bulan mengerjakan investigasi, nyaris tidak ada media atau lembaga lain yang memviralkan isu serupa. Alhasil, Bondan dituntut ganti rugi 2 triliun rupiah di pengadilan oleh mantan Menteri Pertambangan dan Energi I.B Sudjana yang menuduh Bondan mencemarkan nama baiknya (Oryza Ardyansyah Wirawan, pantau.or.id, 9 Agustus 2007).

 

Kalau Bondan habis duit untuk kerja investigasi yang sungguh dahsyat itu, tim Spotlight harian The Boston Globe di negeri Abang Sam justru mendapat popularitas dadakan. Spotlight (Tom McCarthy, 2015), film yang mengisahkan berbulan-bulan kerja para kuli tinta The Boston Globe dalam mengungkap skandal pedofilia Gereja, memenangkan piala Oscar 2016 untuk kategori Best Original Screenplay dan Best Picture.

 

Vatikan yang pada mulanya diduga akan bereaksi keras terhadap kemenangan tersebut, justru bersikap sebaliknya. L’Osservatore Romano, koran resmi Vatikan, mengatakan kalau Spotlight bukanlah film anti-Katolik. Film ini pun sukses membuka mata dunia akan skandal Gereja terhadap pelecehan seksual anak di bawah umur, dan tentunya, kerja jurnalisme investigasi yang maha susah itu.

 

 

Bukan Barang Baru

Dokumentasi semacam ini bukan hal baru. Pada 1974, terbit buku All The President’s Men (kemudian difilmkan dengan judul serupa pada 1976 oleh sutradara Alan J. Pakula)karya duet wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Keduanya mengungkap skandal Watergate yang melibatkan Presiden Amerika Serikat waktu itu, Richard Nixon. Ini jadi tonggak kerja jurnalisme investigasi di dunia.

 

Di Indonesia, selain Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, nyaris tidak ada dokumentasi proses kerja jurnalisme investigasi yang terabadikan. Jangankan dokumentasi proses kerja jurnalisme investigasi. Pasca Reformasi 1998, media yang benar-benar melakukan jurnalisme investigasi dengan kafah saja hanya seruas jari.

 

Kerja jurnalisme yang terbilang “lamban”, tidak boleh asal cepat, dan ribetnya bukan main ini, urung dikembangkan oleh media-media penghuni ruang maya. Kalaupun ada yang mengaku menerbitkan rubrik Investigasi, itu hanya kedok jualan saja supaya terlihat lebih sangar. Padahal yang digarap sebatas indepth reporting.

 

Dunia semakin cepat. Media ingin mengimbangi kecepatan dunia. Maka jurnalisme sebagai alat media mencari “kebenaran” dituntut bekerja lebih cepat. Para pekerja jurnalisme makin ngos-ngosan.

 

Majalah Tempo kemudan jadi salah satu media yang konsisten dengan kerja “lamban” investigasi. Terbit kembali pasca Reformasi, Tempo masih tak mau lepas dengan jihad investigasinya. Yang terkini, investigasi Tempo soal skandal korupsi KTP Elektronik terbukti ampuh. Sudah menyebut nama Setya Novanto terlibat dalam korupsi ini sejak 2011, “ramalan” Tempo akhirnya terwujud pertengahan tahun ini.

 

Dalam buku Di Balik Investigasi Tempo 01 inilah lima kisah kerja jurnalisme investigasi Tempo terdokumentasikan.

 

Niat mendokumentasikan belakang layar investigasi Tempo memang boleh disyukuri. Pembaca setidaknya jadi sedikit tahu, bagaimana Tempo menelusuri kasus budak Indonesia di kapal Taiwan, para dokter yang menerima suap dari perusahaan farmasi, dan vila-vila liar di Bogor yang ternyata milik para jenderal.

 

Juga mengintip bagaimana laporan atas tewasnya seorang arkeolog yang penuh keganjilan, atau bagaimana kongkalikong mafia migas dikerjakan.

 

Pilihan Tempo untuk setia dalam jalur investigasi memang pilihan minor. Ketika para kuli gawai  sibuk beradu cepat melontarkan informasi, eh, para kuli tinta Tempo malah memilih “berlamban-lamban” ria, bersusah payah menelusuri berbagai dokumen, mengkonfirmasi para narasumber yang sering tak mau berkomentar, dan berkeliling ke sana ke mari untuk mendapat sebuah “kebenaran” jurnalistik.

 

Dalam Jejak Suap Resep Obat, Tempo bahkan dilaporkan ke Dewan Pers oleh PT Interbat. Itu adalah perusahaan yang disebut Tempo memberikan suap kepada para dokter untuk meresepkan obat pabrikan mereka. Kesulitan lain hadir saat menelusuri vila liar di Puncak, Bogor, dalam Pejabat di Puncak, Banjir di Jakarta. Beragam penyaruan akhirnya terpaksa dilakukan awak Tempo agar informasi berhasil didapat.

 

Namun, ada juga laporan yang tidak tuntas. Masih menyisakan pertanyaan buat pembaca. Dalam Lambang dalam Pusaran Mafia Purbakala, Tempo baru bisa mengungkap bahwa kematian arkeolog Lambang Babar Purnomo bukanlah kecelakaan, tapi pembunuhan. Sementara siapa dalang pembunuh Lambang belum berhasil diungkap. Ini jelas bikin geregetan.

 

 

Ikhtiar yang Kurang Dihargai

Persoalannya, tidak satu pun dari lima laporan di buku ini menjadi laporan yang sangat viral. Memang, beberapa laporan berbuah pengawasan yang lebih ketat terhadap lembaga negara atau turunnya regulasi anyar yang lebih memihak rakyat kecil. Tapi, berapa persen manusia Indonesia yang tahu kalau Tempo pernah mengungkap gratifikasi dari perusahaan farmasi untuk sejumlah 2000-an dokter?

 

Bandingkan dengan berapa persen manusia Indonesia yang tahu gosip Rina Nose. Atau berapa persen penduduk maya yang tahu ihwal polemik Gaj Ahmada yang sejatinya tidak laik dipolemikan itu. Mengherankan.

 

Dibanding investigasi Bob Woodward dan Carl Bernstein, atau penelusuran Bondan Winarno, kerja investigasi di buku ini memang masih berkutat di pengungkapan bagian permukaan. Kerja-kerja investigasi yang lebih dahsyat dampaknya, misal soal Panama Papers dan Pizza Hut, memang belum terdokumentasikan. Di edisi berikutnya, kasus-kasus tadi jelas ditunggu kisahnya oleh pembaca.

 

Tetap saja. ikhtiar-ikhtiar semacam ini jelas patut dihargai. Sebagai potret “kelambanan” jurnalisme yang menjanjikan, laporan investigasi Tempo bisa jadi teladan bagi media-media lain dalam mencicil hutang kebebasan pers pasca Reformasi.

 

“Kendati sering merasa seperti ‘berteriak-teriak sendirian di padang pasir’, Tempo berniat meneruskan ikhtiar jurnalisme investigasi ini. Kami percaya, kelak akan makin banyak media yang melakukan usaha semacam investigasi ini, juga akan semakin banyak orang yang peduli pada betapa perlunya menegakkan hal-hal benar di negeri ini” (hlm. ix).

 

Amin.[]

 

[author title=”Satya Adhi” image=”https://www.saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/05/Satya-Adhi.jpg”]Mahasiswa yang gemar berjalan kaki. Surel: adhii.satya@gmail.com. [/author]