Kita memang tidak diciptakan untuk menjadi makhluk yang toleran. Seperti apa yang saya alami waktu saya antre pada jalur antrean kasir di sebuah minimarket sore itu. Mentang-mentang membeli lebih banyak, seorang Insan Indonesia menyerobot antrean saya. Dia jadi yang lebih dulu dilayani oleh kasir, lebih dulu “sukses” dari “ikhtiar” berbelanja. Sayang disayang, saya bukan orang yang bisa protes dalam situasi ini. Dia tersenyum getir sambil menatap saya. Saya diam sembari mendoakan agar dia sehat selalu.
Hal yang sama terjadi saat saya makan bakso beberapa waktu yang lalu. Dari delapan meja yang disediakan Ibu Penjual Bakso, hanya beberapa meja saja yang ada sambalnya. Seseorang yang sudah ditakdirkan untuk tidak memiliki sambal di mejanya, tiba-tiba mengambil sambal di meja saya. Pembaca bisa tahu kelanjutannya, dia tidak mengembalikan sambal itu. Dia tidak memedulikan saya yang juga masih membutuhkan sambal itu.
Beberapa contoh lain bisa kita temukan dengan mudah. Beberapa konser musik internasional yang berpolemik, rata-rata disebabkan oleh kericuhan penontonnya yang “tidak mau mengerti”. Peristiwa penolakan pendirian rumah ibadah pun juga kiranya jelas, penyebabnya adalah rasa toleransi yang rendah. Penjajahan, korupsi, perang, dan sederet daftar hitam perbuatan kriminal yang ada di muka bumi ini juga disebabkan oleh ulah manusia yang keluar dari batas kebebasan dalam berbuat.
Ternyata leluhur kita —kalau pembaca setuju dengan teori revolusi manusia—juga sama. Homo Sapiens, dulu, hanya memiliki peran yang sama besarnya dengan sekawanan gajah, kunang-kunang, dan kelompok primata terhadap kondisi bumi. Konsep revolusi kognitif menjawab perjalanan manusia sampai bisa menjadi aktor utama di muka bumi. Sebuah buku karya Hariri, sila dibaca: menceritakan tentang sederet cerita mengenai bagaimana Sapiens menyingkirkan “Manusia” lain seperti Neanderthal. Peristiwa ini jelas tidak mencerminkan toleransi sama sekali.
Sampai kita menemukan nilai-nilai, kita sadar bahwa kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain. Sedemikian rupanya sampai saat ini kita mempunyai deretan panjang ilmu untuk mempelajari bagaimana perilaku manusia bekerja: ekonomi, sosiologi, ilmu budaya, desain komunikasi visual, ilmu komunikasi, ilmu hukum, psikologi, dan banyak lagi. Namun demikian, pada inti kita mengembangkan satu konsep utama ini: dasar bagaimana kerja sama dan sosialisasi umat manusia bisa berhasil memerlukan penciptaan kebohongan dan mitos-mitos.
Kerja sama bisa benar-benar tercipta dengan kebohongan: seorang karyawan, yang sebenarnya tidak tahan dengan iklim perusahaan dan atasannya, bisa tetap menjadi karyawan yang berdedikasi, sampai kantor tepat waktu, hingga tersenyum kepada bos serta koleganya. Begitu pula cerita seorang guru yang tetap rela mengabdi dan mencurahkan ilmunya kepada murid yang tak dia suka. Serupa pula dengan program kerja sebuah organisasi kampus yang tetap jalan meskipun panitia tidak menyukai ketuanya.
Mengenai mitos yang kita buat, kita bisa mengilhami bahwa adakalanya kata-kata dan tulisan mengalahkan hal-hal yang lebih realistis. Konsep negara bisa kita sebut aneh: negara tidak benar-benar mempunyai bentuk, melainkan hanya berisi rangkaian kesepakatan bersama mengenai wilayah, penduduk, dan bentuk negara. Mari kita kecilkan skalanya: organisasi kampus tidak benar-benar ada. Dia adalah manifestasi ide dari sekumpulan orang yang memiliki gagasan seragam.
Lebih jauh, manifestasi ini diwujudkan melalui beberapa “mantra sakti” yang kita sebut dengan surat kerja, surat izin, AD/ART, dan surat keputusan yang berisi pengakuan kampus terhadap keberadaan organisasi itu. Pada kondisi ekstremnya, saat seluruh anggota dari organisasi ini hilang atau dihilangkan, organisasi kampus tetaplah ada sepanjang mantra-mantra itu berlaku. Namun, hal ini tidak terjadi saat kondisinya terbalik: pencabutan izin berdirinya sebuah organisasi kampus juga meniadakan keberadaan organisasi itu meski pengurus dan anggotanya masih lengkap.
Sedemikian abstraknya konsep mitos dan kebohongan. Tetapi dengan inilah kita sampai pada pencapaian-pencapaian manusia: negara sejahtera, perusahaan dengan kinerja keuangan yang sehat, dan organisasi yang produktif. Semua itu pada akhirnya mengantarkan kita pada hal-hal yang riil: kita semua bisa sejahtera. Kita bisa memenuhi asupan nutrisi kita, memiliki rumah yang hangat, dan baju yang nyaman dipakai.
Manusia dengan kemampuannya melakukan eufemisme berhasil memaknai mitos dan kebohongan itu dalam banyak istilah: etika, tata krama, kesopanan, dan toleransi. Mau tidak mau, suka tidak suka, manusia pada akhirnya mengerti bahwa dengan hal-hal itulah kesepakatan bisa dijalankan. Beberapa kelompok bahkan menciptakan lembaga khusus yang menangani etika dan tata krama, untuk menjaga manusia agar tidak keluar dari nilai-nilai itu.
Sampai pada titik apa manusia bisa “berbohong dan menciptakan mitos-mitosnya”? Dengan pertanyaan lain: hal apa yang membuat manusia melanggar kebohongan dan mitos-mitos yang mereka ciptakan? Jawabannya bisa macam-macam. Pada kasus saya, mungkin saja Insan Indonesia yang menyerobot antrean saya sedang ditunggu anaknya yang menangis di rumah. Seseorang yang tidak mengembalikan sambal ke meja saya mungkin juga terlalu sibuk mengaduk baksonya dengan racikan sambal ala orang itu. Apa pun itu, saya kira polanya sama: pelanggaran terjadi saat kita sedang ditekan oleh sesuatu.
Tekanan-tekanan itu membuat otak kita yang bertugas untuk menganalisis sesuatu dalam jangka panjang dikalahkan oleh bagian otak lain yang jago berpikir instan, natural, dan intuitif. Dengan kata lain, tekanan atau stres membuat manusia kembali menjadi fitrahnya: menjadi makhluk yang tidak toleran dan cenderung serakah. Bagaimana cara agar kita tidak terganggu oleh tekanan-tekanan itu? Silakan pembaca cari jawabannya sambil makan bakso di warung kesukaan pembaca. Pastikan pilih warung yang setiap mejanya memiliki sambalnya masing-masing.
Penulis: Orbit Varasta Prakosa
Editor: Julia Tri Kusumawati