Lamun cukup sangune, mangkate lan mulihe. Robbana ya robbana, robbana dholalna angfusana, wanikmadhafirlana, watarhamna lanafunana minal ghosiri. Utawi rukune Islam yaiku ono limang perkoro, ingkang riyin ngucapake syahadat loro, syahadat tauhid lan syahadat rosul, kaping pindo nglakoni sholat, kaping telu bayar zakat, kaping papat poso wulan romadhon, kaping limo nindakake maring Makkah.
Sabtu Legi, 15 Februari 2020 pukul 16:17 di rumah simbok.
Mega terjerembab di jalanan setapak muka rumah simbok. Aku memandangi spektrum keemasan terpancar dari genangan basah itu, jantungku beterbangan kegirangan. Memang benar isi kitab Jazz Samba Margie Segers ayat “Derita Hilang Bahagia Jelang”, begitu juga frasa fenomenal R.A. Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Luber tangisan langit mengundang pemilik jagat mengusap keruh tudung bumi. Belas kasih-Nya terlampau limpah, maksiat penghuni bumi turut suci. Rontok bunga pace seakan berduka. Kusambangi pohon pace, akar jlegor, dan bangku lawas yang berabad-abad duduk di tanah pertigaan setapak itu.
Siapakah telah berpulang? Pace dan teman mencecar. Gusti. Aku sukaria mendengar lelayu. Namun, tak kuasa mewujud merpati pengirim surat. Buyut. Buyutku. M-A-T-I. Apakah aku berdosa telah bahagia? Tidak. Orang tua ringkih itulah pembawa maksiat.
Aku duduk begitu lama di ujung pertigaan. Kulihat arloji, tampak kepala menghadap utara dan kaki selurus tubuhku menghadap selatan, pukul 18.00 tepat. Pandanganku berpindah menuju rumah simbok yang tiangnya terikat kain corak catur, petromaks berpendar. Sudah waktunya. Mataku bersiap menanti bayangan datang dari kejauhan sana … nyenyat. Lamat-lamat indra penciuman dan indra peraba bekerja sama. Sepoi angin maghrib menyerbak wangi melati, teriakan berkejaran dengan gowes onthel, bayangan dekat membesar.
“Buyutmu tenan moksa, Jah? Watune ketok, pora? Buyutmu nuduhi cekelane disimpen nandhi, pora?” ucap sesosok wanita membungkuk di wajahku. Aku beranjak. Kami berhadapan.
“Sopo wae sik ngerti Buyut ninggal, Mbak?” sosok lain yang berdiri di samping wanita itu mempercepat tempo.
Manusia ini adalah Ibu Bapakku. Prasojo dan Riyanti. Riyanti darah sulung nenek. Sejak lima tahun terakhir pasangan kekasih itu pun menanti hari ini tiba. Ibu telah menulis obituari untuk buyut sejak lama, sekarang hari pembacaannya. Di rumah simbok, hanyalah tengkorak buyut yang tersisa—yang nyawanya masih terganjal. Namun, kini tidak lagi. Ibu bapakku lelah berlagak melayani dan macak sendu bertahun-tahun meratapi takdir buyut.
Merdeka. Lihatlah wajah bahagia mereka tergambar oleh pertanyaan tak masuk akal alih-alih reaksi selayaknya mendengar lelayu. Mereka benar-benar muak. Mereka hanya menanti hal yang pantas dinanti. Dan saat ini, aku harus menjawab secara pragmatis berdasarkan kamus mereka.
Ragaku melihat secara nyata yang sukma ini perbuat. Alhamdulillah. Ibu bapak tidak akan gembira, untuk sekarang, harus aku seorang. Tanganku basah, leherku berkeringat, kepalaku mencari diksi yang pantas tergelar dalam panggung yang sebentar lagi memuncak. Tragedi kedua sesuai rencana akan segera tiba—dan aku calon pelakunya.
“Inggih, Pak, Bu. Kamboja melihat dengan jelas. Buyut di kamar, ayo masuk, Pak, Bu.”
Akulah Kamboja Mardhini. Sekuntum bunga kubur yang mencoba mewangi di tanah pemakaman. Aku membawa Prasojo dan Riyanti menuju kamar buyut. Pola metrum berikutnya adalah dapur. Di mana korek api dan kayu jati bersembunyi.
***
15 Februari 2020, pukul 02:33 pagi, bilik kamar buyut.
Sengaja sejak sebulan terakhir aku menginap di rumah simbok, menunggui buyut. Namun malam ini berbeda. Aku akan melakukan ritual. Pertaubatan. Mencerahkan manusia beragama yang tidak berketuhanan. Dalam dimensi ini, sudah cukup aku melihat ketidaksimetrisan ruang hidup selama 25 tahun. Leherku terikat serat panjang yang ujungnya mengikat masa depan adikku. Aku tak berdaya melihat adik terseok-seok meminta pertolongan. Maka, akulah yang harus menciptakan perubahan. Aku saja yang harus kesakitan.
Ibu bapakku menjadi pengikut buyut sejak keduanya menikah. Buyut adalah pendiri paguyuban kejawen yang pengikutnya menyebar seantero Jawa Tengah. Paguyuban ini berdiri bersamaan dengan wangi polemik Pujangga Baru yang menyerbak pertiwi. Aku sadar ketika duduk dibangku sekolah dasar. Hanya aku seorang yang menghimpit kontradiktif ini: tentang teknik sembahyang yang tak sesuai regulasi mutlak Islam, apakah kiblat sudah berpindah ke timur? Tidak.
Kami adalah keluarga Islam. Entah aliran apa yang mengharuskan salat membokongi kiblat. Setiap tahun buyut memandikan kerisnya dengan air kembang sedap malam, membungkus mori selayaknya jabang bayi, berdandan bak Panji Asmarabangun, dan menunggang kuda klawu menuju Putat. Putat adalah gubuk kuburan leluhur di tengah alas, entah leluhur siapa, yang tahu hanya buyut. Pengikutnya berkebaya bludru hijau metalik, membopong bayi keris dan berjalan di belakang gagahnya buyut berkuda.
Pukul 03:35 terdengar kicau Wiwik Kelabu, aku masih terjaga, tak dipungkiri bahwa aku merinding. Aku merasa burung ini berada di ujung vertikal kepalaku, melayang-layang. Aku tetap teguh. Segera kutarik benang dari akarnya melalui lubang tanah berdiameter lima sentimeter. Tidak ada tanggapan. Lebih kuat, kudekatkan telinga dengan tanah sembari mengucap. Yut… Kamboja di sini. Benang semakin panjang. Lepas! HAH. Sekuat tenaga aku menggali tanah rata di dalam bilik kamar itu. Tampak gelontor bambu petuk jadi tumpuan urugan tanah.
Ini kuburan. Kuburan puasa kejawen.
Kubongkar silindris mistis supaya dapat terlihat wujud sosok itu. Tubuhku rasanya panas dan gelisah bercampur merinding sekujur. Apakah kuburan yang kugali ini adalah pertapaan buyut, ataukah sosok yang selama ini merasuk dalam jiwanya. Rambut panjang segar hitam pekat, benar-benar pekat. Ah baunya. Nyegrak sedap malam. Kulitnya layu. Sosok ini adalah buyutku. Aku membopong ke alas kapuk.
Kujulurkan tangan, telapak kami bertemu. Bibir keriputnya tampak ingin berbicara, kudekatkan telinga. Tanpa pikir panjang, Asyhadu an la ilaaha illallahu, wa asyhaduanna muhammadar rasulullah. Putik matanya tertutup kelopak lagi. Entah tertidur atau telah moksa. Tiba-tiba saja telapak tangannya menghangat, muncul pendar cahaya merah memadam. HAH. Aku benar-benar melihatnya. Sebuah batu kecil berwarna biru. Inilah Lazuardi gunung Sinalangan, keberuntungan aliran sesat ini. Nogo ndas limo rupo menungso.
Innalilahi Wa Inna Ilaihi Ra’jiun. Bergegas kucari selendang untuk mengikat vibrasi negatif ini.
15 Februari 2020 pukul 04.31, buyut tak lagi kesakitan. Arwahnya yang tersungkur antara gelap dan terang, panas dan dingin, hidup dan mati, kini telah tercatat oleh Izrail. Seratus satu tahun. Mataku menolak kebencian pekat akibat kelakuannya terhadap orang tuaku, aku menangisinya. Ayat-ayat Yasin terlantun, menunggu ingar-bingar sapaan Tuhan melalui penyiar langgar. Air zam-zam sudah kusediakan dalam wadah batok kelapa. Kuletakkan pada meja yang bufetnya penuh tumpukan kitab lapuk. Air suci itu pemberian dosenku. Dosenku adalah pencerah dan keberanian inilah wujudnya.
Allahu Akbar Allahu Akbar…
Aku menghias jasad buyut dengan jarik, sebab aku akan segera pergi. Motor telah hidup, kugendong tas berisi buntelan Lazuardi dan tetek-bengek pusparagam pusaka. Menuju sungai di ujung desa. Larung. Pergilah… jangan pernah kembali, sebab pemilikmu telah moksa… semoga Tuhan membuka pusaran pertaubatan… membinasakan kalatidha… untukmu… untuk keluargaku… aamiin…
***
15 Februari 2020, pukul 18.19 senjakala.
Dalam kehidupan, barangkali Tuhan menghampiri melalui pelbagai wujud-Nya. Memberikan segala jamu untuk pahit kemelencengan yang insan perbuat, menyucikan bunga tak berdosa… seperti puisi Rendra… ketika aku ingin hidup kaya… aku lupa… bahwa hidup itu sendiri… adalah kekayaan … bila kita tidak dapat menjadi jalan besar, cukuplah menjadi jalan setapak yang dapat dilalui orang.
“Saya Lelah, Pak, Bu.”
Pipiku sudah basah, basah, basah, menciumi gembira yang tersisa. Kuceritakan sesak yang sejak lama menyiksa batinku. Jantungku rasanya ingin membuncah, menceritakan tenang yang selama ini ingin rontok. Aku gila, Bu.
“Periode sekolah taman kanak-kanak, anakmu ini… batinnya terbunuh oleh pasak rudapaksa setan itu… tahukah, Ibu? Lalu bromocorah menculikku pada dunia gemblung, apakah Ibu, tahu? Bu… apakah Ibu tahu sejarah anakmu ini? Mana mungkin Ibu tahu.” Aku menarik sekencang-kencangnya beban ini.
“Tiga tahun aku jadi pecundang, sebab tak bisa melawan gerombolan perundung gila itu, Bu. Lalu, sekarang umurku sudah kepala dua dan apakah Ibu tahu? Tidak ada satu pun pria, bahkan wanita, ingin menjadi teman hidupku. Itu semua karena latar belakang keluargaku, Bu. Keluarga kita!”
Tangisku memuncak di dalam bilik kamar yang cahayanya bertabrakan berpendar. Di hadapan mayat. Ibu bapak membisu, tetapi kulihat cawan matanya ikut basah. Ibu tertunduk seolah menghayati pernyataanku, bapak menguasai pundak Ibu. Rahangku ngilu. Maaf Tuhan… entah bagaimana lagi harus kukabarkan duka lara ini.
“Lihat! Lihat wujud seonggok mayat darah dagingmu, Bu. Tidakkah ingin kau sudahi pencarian duniawi ini? Ya Allah… Ibu selalu bilang aku orang aneh, kan? Keluarga kita yang aneh! Keluarga tidak wajar… apakah bisa dikatakan keluarga, sedangkan salat Idulfitri saja hanya Kamboja saja yang mangkat? Ya Allah… apakah begitu sulit kembali kepada fitrah-Nya, Bu? Aku… aku sudah tidak kuat lagi.”
“Kamboja…” Ibu memelukku. Ibu. Peluk. Aku.
Raganya terseret batin yang saat ini telah menggenggam jiwaku. Tangisannya pecah, aku dapat merasakan degup kencang pelukannya. Telapak tangannya memusat membelai punggungku. Kami berada pada abstraksi titik nol. Melupakan sumbu yang berserakan melingkari gelombang ibu dan anak. Bapak menghampiri. Memelukku. Bapak akhirnya memeluk anak sulung yang telah lama menanti selama 25 tahun hidup.
Ceret mendesir memanggil-manggil. Air panas di atas tungku pembakaran ingin segera diangkat. Air suci dalam batok kelapa habis tiada sisa. Sudah waktunya. Aku dan Ibu memandikan jasad Buyut.
***
Amenangi jaman edan. Ewuh aya in pambudi. Melu edan nora tahan. Yen tan milu anglakoni. Boya kaduman melik. Kaliren wakasanipun. Dilalah kersa Allah. Begja-begjaning kang lali. Luwih begja kang eling lan waspada.
10 April 2024 di Yogyakarta.
“Eh, siapa ini kok ganteng sekali… cah bagus… Ibu dan Ayah mana? Panggil ya… nanti telat, gitu,” ucap seorang ibu yang telah menjadi nenek sembari menciumi wajah mungil anak laki-laki yang menghampirinya. Anak berumur dua tahun itu adalah Yusuf Sudamala. Anakku.
“Ibu… ayo, Ibu…”
Aku melihat ikatan nenek dan cucu yang amat dekat itu. Di ruang tengah rumah ini, kami sekeluarga menghabiskan waktu bersama. Bapakku telah berpulang dua tahun lalu, sementara adikku hanya beberapa hari di sini setelah setahun menempuh pendidikan di Bandung. Duniaku rasanya berubah perlahan. Aku bertemu teman hidup ketika bekerja sebagai editor buku di Jakarta. Kami sekeluarga sepakat pindah domisili ke Yogyakarta.
Aku menemukan pecahan damai yang telah lama kucari. Terima kasih atas segala kasih-Mu…
“IBU…”
“Iya sebentar, ya, anakku sayang… ayo, Mas.”
Oleh: Tiara Nuraish, rontokan kamboja yang mencoba mewangi di tanah pemakaman.
Editor: Jasmine Aura Arinda