Ilustrasi: M. Ilham Al Basyari/LPM Kentingan

PEMILU UNS 2020: POLEMIK DAN KLARIFIKASI

Pelaksanaan pemilu UNS 2020 diiringi dengan polemik aksi #MosiTidakPercaya yang diluncurkan oleh Asikan UNS serta gerakan #BoikotPemira yang masif. Hal itu disebabkan oleh adanya bola panas dari pemilihan MWA UM UNS. Publik pun mempertanyakan peran dan keterbukaan BEM dan DEMA. Tak lupa, jumlah partisipan pemilu yang menurun dari tahun sebelumnya turut menjadi sorotan hingga mempertanyakan kinerja KPU UNS.

Aliansi Revolusi Pendidikan (Asikan) UNS, menyatakan enam tuntutan kepada BEM dan DEMA UNS seperti yang dirilis di Instagram @asikan_uns (26/11), yaitu:
1. Mencabut UU KBM UNS Nomor 1 Tahun 2020 dan Boikot Pemilu
2. Batalkan keputusan musyawarah MWA UM dan diadakannya kembali musyawarah pemilihan MWA UM
3. Menolak PTN-BH sebagai bentuk liberasi pendidikan
4. Menolak militerisme dalam kampus
5. Wujudkan student government yang baik dalam mahasiswa UNS
6. Wujudkan demokratisasi dalam kampus

Keenam tuntutan tersebut diekspresikan melalui aksi media sebagai bentuk akumulasi suara dari mahasiswa yang merasa bahwa ada yang kurang tepat dalam pemilu. Beberapa hal yang disoroti, antara lain mengenai transparansi DEMA, proses dan keberjalanan pemilu, timeline yang dirasa terlalu terburu-buru, dan adanya Undang-Undang yang cacat.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pemilu UNS 2020 diselenggarakan secara daring karena dampak dari pandemi Covid-19. Alhasil banyak kendala yang muncul, khususnya dalam hal komunikasi dan sosialisasi. Menurut Ahmad*, perwakilan dari Asikan UNS, ada banyak hal yang akhirnya memunculkan berbagai opini publik yang kurang baik.

“Banyak hal yang kemudian memunculkan opini publik yang kurang baik terutama soal keterbukaan DEMA sebagai anggota legislatif dan selaku penanggung jawab dari penyelenggara pemilu yaitu KPU. Kemudian transparansi DEMA itu yang menjadikan kita (Asikan) bertanya-tanya tentang pemilu. Bagaimana transparansinya, keberjalanannya, prosesnya, dan termasuk dengan Undang-Undang yang cacat” jelas Ahmad kepada Tim Edisi Khusus LPM Kentingan melalui pertemuan virtual (11/02/2021).

Kemudian, salah satu hal yang menjadi alasan Asikan UNS ingin mencabut UU KBM UNS Nomor 1 Tahun 2020 ialah feedback yang tidak dijelaskan mengenai surat aspirasi. “Ada namanya etika politik dalam pengambilan kebijakan. Jadi, politik nggak sekadar kekuasaaan, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun sistem bersama-sama. Etika politiknya, ketika ada kebijakan untuk publik maka harus ada feedback. Nah, di sini publik dilibatkan akan tetapi apakah ada feedback langsung dari legislatif? Tidak ada. Apakah ada forum terbuka? Tidak ada” tanggap Ahmad mengenai kebijakan DEMA yang melakukan penjaringan aspirasi melalui jajak pendapat (google form). Seperti yang kita tahu, DEMA sempat mengklarifikasi hal ini melalui akun Instagram-nya bahwa Pasal 43 KBM UNS No. 02 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa penjaringan aspirasi boleh melalui jajak pendapat (google form). Namun, Ahmad mempertanyakan kepantasan hal tersebut dalam etika berpolitik.

Selama masa pemilu berlangsung, Asikan UNS telah mencoba berulang kali untuk menghubungi BEM dan DEMA UNS bahkan memberikan undangan untuk berdiskusi. Akan tetapi, dari pihak BEM dan DEMA seakan-akan menutup mata dan menulikan telinga. Forum diskusi hingga saat ini belum dapat diwujudkan. Oleh karena itu, Tim Edisi Khusus LPM Kentingan mencoba menghubungi pihak terkait. Sayangnya, pihak tersebut tidak berkenan untuk bicara. Oleh karena itu, mau tak mau, kami hanya bisa menghubungi Presiden BEM dan Ketua DEMA UNS periode 2021.

Zakky Musthofa Zuhad selaku Presiden BEM 2021 mengiyakan adanya sikap skeptis mahasiswa terkait penjaringan aspirasi Undang-Undang pemilu. Serap aspirasi dengan google form tersebut dirasa kurang membuka ruang bagi partai, mahasiswa umum, dan teman-teman yang concern di pemilu. Selain itu, proses tersebut dilaksanakan terlalu mendadak dan terlalu mendesak.

Meskipun demikian, Zakky merasa tidak sepatutnya ada gerakan pemboikotan pemilu. “Kalau saya kurang setuju ya kemarin ada teman-teman yang menghadirkan boikot pemira. Kalau ada boikot pemilu itu ya alternatifnya apa? Kalau misal ada boikot dan pemilu nggak dilakukan maka ada vacuum of power. Persoalan advokasi, minat bakat, perencanaan untuk satu tahun ke depan akan terganggu dan terpengaruh. Ini kan dampaknya ke mahasiswa juga.” (16/02/2021).

Sementara itu, Bagus Indra Pribadi selaku Ketua DEMA periode 2021 merasa wajar dengan adanya aksi pemboikotan pemilu sebagai perwujudan demokrasi di lingkungan kampus. Ia juga merasa bahwa pemilu UNS 2020 memang menimbulkan banyak gejolak. Terkait Undang-Undang pemilu yang dinyatakan cacat oleh Asikan UNS, Bagus mengiyakan masih banyak kekurangan.

“Kita menyadari secara substansi, Undang-Undang pemilu yang kita buat itu masih banyak kekurangan dan juga kurang sosialisasi. Namun kita sudah melakukan pendekatan, melalui sosialisasi, uji publik yang barangkali sudah maksimal tapi belum bisa menjamah. Memang dalam pembuatan Undang-Undang pemilu sangat cepat nggak seperti biasanya, dan menurutku itu jadi catatan sendiri bagi DEMA. Selain itu, mungkin ada pemahaman yang berbeda. Mungkin dari internal DEMA sendiri, ataupun dari lingkungan luar. Karena begini, pemboikotan pemilu itu dirasa menjadi titik balik tentang bagaimana nantinya sistematika kembali lagi ke pemerintahan kampus, kita masih menggunakan AD/ART kampus.”

Kemudian menanggapi tuduhan kurang terbukanya DEMA terkait proses pemilu dan press release di instagram, Bagus yang menjadi Ketua Komisi I DEMA periode 2020 menyatakan hal itu tidaklah benar. “Terkait ketidakterbukaan, sebenernya terbuka. Mengenai keterbukaan terkait proses pemilu itu ada di instagram pemilu UNS, bukan di DEMA UNS. Cuma tiap sosialisasinya memang ada suatu kendala (pandemi). Jadi, untuk mengumpulkan massanya butuh usaha ekstra meskipun melalui online.”

Ahmad juga menyatakan bahwa UU No. 1 tahun 2020 mengalami kecacatan, salah satunya karena di AD/ART menyebutkan tentang Partai Mahasiswa, tetapi tidak ada UU turunan terkait itu. Hal ini kemudian dibantah oleh Bagus.

“AD/ART tahun sebelumnya memang ada Undang-Undang mengenai partai mahasiswa dan sampai saat ini masih ada. Cuman mungkin dalam hal ini ada beberapa orang yang belum tahu mengenai partai mahasiswa sehingga Undang-Undang tentang partai mahasiswa seperti tidak ada,” ujar Bagus. Ia bahkan menyatakan memiliki file mengenai Undang-Undang tersebut.

Bagus Indra Pribadi menyatakan bahwa polemik pemilu 2020 disebabkan oleh adanya miskomunikasi dan disinformasi, sama halnya dengan pendapat Zakky Musthofa Zuhad. Maka dari itu, dari pihak DEMA dan BEM UNS periode 2021 bersedia membuka ruang dengan Asikan UNS untuk menyelesaikan polemik pemilu 2020.

Beralih ke pelaksanaan pemilu UNS 2020, akun Instagram @pemilu_uns merilis jumlah partisipan Pemilihan Raya yakni sebanyak 7.909 mahasiswa. Hal ini tentu menjadi sorotan lantaran jumlah partisipan tahun 2020 mengalami penurunan jika dibandingkan saat pemilu sebelumnya. Penurunan tersebut kurang lebih sebanyak 1.000 mahasiswa. Maka muncul pertanyaan dari publik mengenai keseriusan lembaga-lembaga pelaksana pemilu, proses sosialisasi, dan pelaksanaan pemilu yang menggunakan e-voting.

Menanggapi hal itu, Zakky Musthofa Zuhad menyampaikan bahwa menurutnya partisipan pemilu bukanlah salah KPU. Hajat demokrasi kampus merupakan kewajiban dan tanggung jawab seluruh mahasiswa. Jadi, semua pihak memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan dan antusias terhadap pemilu tiap tahunnya. Pelaksanaan pemilu UNS 2020 dengan pemilu UNS 2019 tentu memiliki perbedaan dikarenakan pandemi. Pemilu UNS 2020 dilaksanakan secara daring (e-voting) yang menurut Zakky bisa jadi dilakukan mahasiswa dengan sadar dan paham mengenai pentingnya pemilu. Berbeda dengan pemilu sebelumnya yang dilakukan di kampus, di mana KPU lebih seperti memaksa mahasiswa untuk ikut serta dalam pemilu.

“Menurut saya, kita nggak bisa membandingkan tahun lalu dan tahun sekarang. Bisa jadi, kesadaran dan pemahaman mahasiswa mengikuti pemilu tahun ini lebih baik daripada tahun lalu. Ini jadi catatan juga ya, kesadaran dari tahun ke tahun ya di kisaran 7.000, maksimal 13.000. Nggak lebih dari 50% mahasiswa UNS. Ini jadi PR bersama bagaimana teman-teman memiliki kesadaran bahwa memilih pemimpin itu penting banget di UNS terkait BEM dan DEMA. Makanya kemarin kenapa bisa ada kesalahan di internal lembaga, itu bisa jadi partisipasi juga yang menentukan. Ada dinamika kesalahan, ada dinamika progresivitas yg baik atau buruk itu didorong juga dengan kesadaran masing-masing individu mahasiswa UNS.”

Selain adanya pandemi, berbagai kendala selama pemilu UNS 2020 yang dialami KPU menurut Uma* ialah sebagai berikut, “UU Pemilu kurang digodok dengan baik oleh DEMA sehingga menimbulkan ‘kegaduhan’ di kalangan mahasiswa. Adanya aliansi yang menolak pemilu menjadi pengaruh juga terhadap turunnya jumlah pemilih. Timeline pemilu yang makin mundur karena keterlambatan pengesahan UU Pemilu. Mengingat ini pemilu daring pertama ya, web juga baru, dari pihak UPT. TIK juga baru pertama kali menghandle acara pemilu daring jadi ada beberapa error yang mempengaruhi lancarnya keberjalanan pemungutan suara dan rekapitulasi suara yang jadi mundur beberapa hari dari timeline.”

Pelaksanaan pemilu tahun berikutnya diharapkan dapat berjalan lebih baik lagi. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk itu, antara lain komunikasi baik dari KPU maupun DEMA harus lebih difokuskan, pembuatan timeline yang tidak terlalu mepet, kesadaran mengenai persiapan hal-hal terkait pemilu seperti Undang-Undang yang digodok dengan matang, serta perlu adanya koordinasi yang jelas baik antara UPT. TIK, DEMA, dan KPU terkait teknologi yang digunakan selama e-voting.

*Identitas disembunyikan demi sekuritas narasumber

Penulis: Tamara Diva Kamila
Editor: Aulia Anjani

Editorial : NOKTAH YANG TERTINGGAL
Laporan 1: WARNA KELABU PEMILU DARING
Laporan 2: PEMILU UNS 2020: POLEMIK DAN KLARIFIKASI
Laporan 3: PESTA DEMOKRASI PERDANA DI SEKOLAH VOKASI
Riset: UMPAN BALIK MAHASISWA TERHADAP PEMILU UNS DAN SV UNS 2020