Ilustrasi: M. Ilham Al Basyari/LPM Kentingan

NOKTAH YANG TERTINGGAL

Sudah setahun lebih pandemi berlalu, banyak penyesuaian aktivitas mulai dari kegiatan perkuliahan yang awalnya tatap muka menjadi daring hingga acara kampus yang sempat tertunda, salah satunya pemira (pemilu raya). Acara tersebut mungkin sudah familiar bagi sejumlah mahasiswa yang aktif dalam giat politik kampus atau yang mengaku sebagai aktivis. Katanya, acara yang diselenggarakan setahun sekali ini sebagai bentuk implementasi demokrasi kampus. Namun, nyatanya kami menemukan beberapa indikasi masalah dalam penyelenggaraan pesta demokrasi kampus ini. Mulai dari sikap walkout dari salah satu partai politik kampus pada saat sidang paripurna, aksi oleh beberapa mahasiswa yang mengaku sebagai bagian dari Aliansi Resvolusi Pendidikan (Asikan) UNS, hingga adu surat pernyataan yang dikeluarkan 3 pihak yang sempat meramaikan media sosial, terutama Instagram.

Sebagaimana layaknya pemilu di negeri ini, pemilu memiliki organ-organ penyelenggara. Sekilas info teruntuk mahasiswa yang memang acuh tak acuh atau benar benar tidak tahu, ada 2 organ yang menjadi tumpuan dalam penyelenggaraan pemilu UNS, yaitu Dewan Mahasiswa (DEMA) UNS dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) UNS.

Memang permasalahan ini sudah lewat kurang lebih 3 bulan yang lalu. Namun, kami dari tim Edisi Khusus LPM Kentingan UNS menemukan beberapa fakta menarik terkait pemilu 2020, salah satunya adalah tidak adanya kelanjutan terkait perang pernyataan publik di media sosial yang melibatkan beberapa pihak. Mulai dari Dewan Mahasiswa, Komisi Pemilihan Umum, Asikan UNS, bahkan hingga BEM UNS pun juga ikut terseret dalam perkara ini. Bak labirin yang tiada ujungnya, mereka saling mengeluarkan pernyataan sikap terkait sebuah perkara. Lalu, sebenarnya apakah yang terjadi?

Sementara itu, jangan melupakan pemilu Sekolah Vokasi (SV) yang juga sama cacatnya dengan pemilu UNS. Tidak jauh berbeda dengan pemilu UNS, pemilihan dilakukan secara daring dan minim atensi serta partisipasi dari mahasiswa SV. Bahkan KPU dan DEMA sebagai instrumen penting dari pemilu ini dianggap gagal menyebarkan informasi yang menjangkau banyak pihak terkait edukasi pemilu. Kegagalan tersebut merupakan satu dari sekian penyebab terhambatnya proses pemilu SV. Tidak berhenti sampai di situ, permasalahan lain juga muncul, seperti kurangnya pasangan calon presiden dan wakil presiden sehingga membuat pemilu SV yang pertama ini hanya mempunyai calon tunggal.

Proses pemilihan presiden dan wakil presiden baik di UNS maupun SV seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kehidupan politik kampus. Namun, dengan banyaknya kekurangan yang terjadi pada pemilu daring tahun ini maka patut dipertanyakan tentang bagaimana proses dan penyebaran informasi pemilu kepada mahasiswa. Hal lain yang juga perlu dipertanyakan adalah apakah kita sudah memiliki kesadaran untuk mengawal transparansi politik kampus kita?

Redaksi LPM Kentingan
Penulis: Ndarurianti dan M. Achmad Afifuddin

Editorial : NOKTAH YANG TERTINGGAL
Laporan 1: WARNA KELABU PEMILU DARING
Laporan 2: PEMILU UNS 2020: POLEMIK DAN KLARIFIKASI
Laporan 3: PESTA DEMOKRASI PERDANA DI SEKOLAH VOKASI
Riset: UMPAN BALIK MAHASISWA TERHADAP PEMILU UNS DAN SV UNS 2020