“Pemilu kampus yang ideal adalah di mana pemilunya sesuai dengan kebutuhan kita (mahasiswa) dan semua orang berpartisipasi di dalamnya. Selain itu, juga penyelenggara pemilunya transparan dan bertanggungjawab,” ucap Halim (20), salah satu komisioner KPU UNS 2020 yang namanya disamarkan untuk melindungi privasi narasumber.
Kemudian apakah pemilu di kampus kita sudah sesuai dengan yang dikatakan Halim sebagai pemilu yang ideal?
Jika kamu merupakan salah satu dari segelintir mahasiswa UNS yang mengikuti isu pemilu kampus kita tahun ini, di mana pertama kalinya UNS menyelenggarakan pemilu daring menggunakan e-voting. Pasti kamu bisa mengatakan bahwa pemilu kampus yang sudah dilaksanakan masih jauh dari kata ideal. Selain karena proses daring pertama kali yang mengharuskan adanya sistem baru, pemilu tahun ini juga diwarnai dengan adanya gerakan #BoikotPemira oleh Aliansi Revolusi Pendidikan (Asikan) UNS.
Menurut Ahmad (21), salah satu perwakilan Asikan UNS, adanya situasi pandemi menjadi pembeda pemilu UNS kali ini dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana banyak keterbatasan yang muncul dan menyebabkan timbulnya beberapa opini publik yang kurang baik mengenai pemilu. “Pertama adalah soal keterbukaan DEMA sebagai anggota legislatif selaku penanggung jawab dari penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU. Kurangnya transparansi dari DEMA menjadikan kita akhirnya mempertanyakan terkait dengan transparansi pemilu tersebut, bagaimana keberjalanan dan prosesnya?” ucap Ahmad dalam wawancara via gmeet, Kamis (11/02).
Proses Serap Aspirasi yang dinilai Menyalahi Etika Politik
Ahmad juga menyinggung tentang UU nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemilihan Umum yang dinilainya merupakan Undang-Undang yang cacat. Asikan UNS melalui Ahmad mengakui bahwa salah satu indikasi mengapa pihaknya kemudian ingin mencabut Undang-Undang tersebut ialah karena proses serap aspirasi dalam proses pembuatan dan perancangan UU yang menyalahi etika politik. DEMA UNS, dalam hal ini merupakan perancang UU tersebut, menggunakan google form yang kemudian disebar ke mahasiswa UNS sebagai proses serap aspirasi dalam perancangan UU Pemilu.
“Memang di DEMA itu tidak dijelaskan mekanisme mengenai serap aspirasi itu idealnya seperti apa, tetapi dalam pengambilan kebijakan ada namanya etika politik. Etika politiknya ketika ada sebuah kebijakan untuk publik maka seharusnya publik dilibatkan. Dalam kasus ini (perancangan UU Pemilu 2020) publik memang dilibatkan, tapi apakah ada feedback langsung dari legislatif? Tidak ada. Apakah ada forum terbuka? Tidak ada. Kemudian bagaimana kita tahu bahwa kritik kita di follow-up oleh mereka jika serap aspirasi hanya melalui google form di mana hanya ada interaksi satu arah dan bukan dua arah,” tutur Ahmad mengenai proses serap aspirasi UU Pemilu 2020.
Transparansi DEMA UNS yang Kurang
Kemudian Ahmad memberi tanggapan tentang klarisifikasi DEMA di artikel “Balada Pemira yang Menjadi Perkara” yang mengatakan bahwa tidak mengharuskan adanya pembahasan tingkat 1 melalui rapat dengar pendapat dengan partai mahasiswa dalam pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan. “Saya tidak tahu mengenai hal itu, karena sampai hari ini pun ketua DEMA yang lalu, Haryanto, dihubungi juga tidak membalas. Saya gak tahu kalau di univ gimana, tapi sepertinya ada beberapa hal yang menurut saya cukup hilang. Mahasiswa umum itu bisa saja terlibat pada saat serap aspirasi, di situ saya merasa bahwa teman-teman itu kurang informasi soal serap aspirasi tersebut. Indikator yang paling kuat adalah kita mengetahui soal UU itu jauh setelah UU itu dibahas atau disahkan, mungkin bisa dicek di Instagram-nya DEMA, jarak antara hari dilakukannya sidang dan posting press release-nya itu sangat jauh,” terang Ahmad.
“Hal itu yang akhirnya menimbulkan opini yang bisa dikaitkan dengan keadaan atau fakta objektif bahwa memang transparansinya kurang,” ucap Ahmad.
Ahmad kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa Undang-Undang adalah peraturan lanjutan setelah AD/ART. Sementara itu, UU Pemilu menjadi penting karena dijadikan acuan yang mencakup mengenai mekanisme proses pemilihan terkait Presiden BEM dan DEMA yang melibatkan seluruh mahasiswa.
Ahmad juga menambahkan pernyataannya mewakili Asikan UNS, “Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa kita menganggap pemilu tahun ini cacat dan lain sebagainya. Salah satunya karena KPU yang terkesan teburu-buru dalam penetapan timeline. Termasuk dalam sistem mekanisme pemilihan pada saat pemilu, ada beberapa hal terkait soal data mahasiswa dan sebagainya yang dipertanyakan kembali setelah pemilu”.
Pelaksanaan pemilu UNS tahun ini memang terdapat beberapa perubahan timeline, yaitu adanya agenda rekapitulasi suara yang awalnya akan dilaksanakan pada 18 Desember 2020 berubah menjadi 26 Desember 2020, kemudian agenda pengaduan sengketa yang awalnya tanggal 20-21 Desember 2020 menjadi 27-28 Desember 2020, serta agenda penetapan hasil pemilu yang awalnya dijadwalkan rilis pada 23 Desember 2020 berubah menjadi 30 Desember 2020.
Debut Pemilu Sekolah Vokasi
Selain pemilu UNS yang diwarnai dengan berbagai konflik, pemilu Sekolah Vokasi (SV) pun juga menjadi sorotan karena diadakan dengan sistem e-voting dalam kemunculannya pertama kali. Terbentuknya Sekolah Vokasi UNS menjadikan adanya kaderisasi baru dalam lingkup prodi vokasi yang di tahun-tahun sebelumnya terbagi dalam fakultas masing-masing. Kurangnya partisipasi mahasiswa sebagai pemilih dalam pemilu UNS ternyata juga terjadi dalam pemilu SV pertama ini. Selain itu, partisipasi mahasiswa dalam mendaftarkan diri sebagai pasangan calon Presiden BEM dan calon legislatif pun dinilai masih kurang.
Pada kemunculannya pertama kali, pemilu SV hanya menampilkan satu pasangan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden BEM SV. Mengutip postingan pada 18 Desember 2020 di akun Instagram KPU SV (@kpusv.uns), pasangan Dessy Latifatul Laila dan Vanya Maura Marshanda menjadi pasangan dengan nomor urut 01 dan satu-satunya calon pasangan.
Tanggapan terhadap hanya adanya satu kandidat pasangan calon dalam pemilu SV ini, salah satu mahasiswa SV angkatan 2020 yang meminta identitasnya disembunyikan, mengatakan melalui wawancara via pesan WhatsApp bahwa hal tersebut kurang ideal dalam proses demokrasi. “Kalau tidak ada lawannya ya gimana kita bisa menimbang, kalau pilihannya saja tidak ada. Dari mahasiswanya yang memilih itu jadi tidak ada opsi.”
Perihal jumlah paslon memang dibenarkan oleh ketua panitia KPU SV, Ridwan Efendi, sebagai penyelenggara pemilu SV pertama kali ini. “Kemarin hanya ada satu pasangan calon Presiden dan Wapres BEM SV, dan itu pun mendaftarkan diri di perpanjangan waktu dan di akhir waktu, di tanggal terakhir dan di jam-jam terakhir dan hanya ada satu paslon,” jelasnya melalui pesan suara, Jumat (19/02).
Selanjutnya terkait calon legislatif, Ridwan juga menjelaskan bahwa dari kursi yang ditentukan oleh DEMA SV tahun 2020 seharusnya mahasiswa SV bisa menduduki 15 kursi di DEMA. “Tapi di tahun 2020-2021 sebagai pemilu pertama hanya ada 9 calon atau pendaftar. Jadi semua otomatis lolos karena mencakup dalam 15 kursi tadi, dan malah masih ada kekosongan 6 kursi di legislatif”, ujarnya.
Menurut informasi di akun instagram @kpusv.uns, calon legislatif untuk DEMA SV terdapat 9 orang dari dua Daerah Pemilihan (Dapil). Dapil I yang diisi oleh 4 calon yaitu nomor urut 01 Vina Maria Meilasari Koswanto, nomor urut 02 Melinda Intan Prameswari, nomor urut 03 Rickhy Auria Hidayat, nomor urut 04 Sabrina Rebecca Tiani. Serta Dapil II yang diisi oleh 5 calon yaitu nomor urut 01 Erica Puspita Sari, nomor urut 02 Adhitya Dharmawan, nomor urut 03 Amadan Agil Fasya, nomor urut 04 Vatthusati, dan nomor urut 05 Reza Setyo Nugroho.
Selain permasalahan partisipasi pemilih dari mahasiswa SV yang kurang, partisipasi dalam keterlibatan mahasiswa sebagai calon kandidat pun dinilai masih sangat kecil dalam lingkup pemilu SV. Selain itu juga, panitia dinilai kurang persiapan karena adanya desakan waktu yang singkat dalam pelaksanaan proses pemilu. “Menurutku pemilu tahun ini itu kurang informatif dan menarik sih. Waktu hari H-nya pun DPT prodiku itu cuma 1, jadi kayak panitianya enggak siap menurutku atau ada sesuatu di belakang (internal) juga kurang tahu,” ujar salah satu mahasiswa SV prodi Agrobisnis.
Kemudian bagaimanakah tanggapan dari pihak DEMA selaku anggota legislatif dan pihak KPU sebagai penyelenggara pemilu? Bagaimana pihak BEM menanggapi warna-warni peristiwa yang terjadi di pemilu pertama kali yang dilakukan dengan e-voting dikarenakan kondisi pandemi ini? Baik pemilu UNS maupun pemilu SV masih banyak hal yang harus diperbaiki dari berbagai sisi.
Penulis: Difa Isnaeni
Editor: Aulia Anjani
Editorial : NOKTAH YANG TERTINGGAL
Laporan 1: WARNA KELABU PEMILU DARING
Laporan 2: PEMILU UNS 2020: POLEMIK DAN KLARIFIKASI
Laporan 3: PESTA DEMOKRASI PERDANA DI SEKOLAH VOKASI
Riset: UMPAN BALIK MAHASISWA TERHADAP PEMILU UNS DAN SV UNS 2020