Salah seorang Syekhermania mengibarkan bendera saat peringatan 1 Muharram 1438 Hijriyah, di Balaikota Solo, Sabtu (1/10) (Foto: Panji Satrio/LPM Kentingan)

Maniak Selawat Bernama Syekhermania

Oleh : R.Syeh Adni

 

PEKIKAN TAKBIR terdengar saat Habib Syeikh bin Abdul Qodir Assegaf naik ke atas panggung. Malam itu (1/10) tengah digelar peringatan Tahun Baru Hijriyah di Balaikota Solo. Para Syekhermania berteriak-teriak. Memekikkan, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Habib Syeikh! Habib Syeikh!”

 

Saat Habib Syeikh datang ke sebuah acara, hampir bisa dipastikan penonton akan histeris. Mirip penonton konser yang meneriakkan nama idolanya yang naik ke atas panggung. Bendera berlambang Syeikhermania tak lupa dikibarkan oleh para syeikher saat selawat disenandungkan. Seperti Pasoepati saat mendukung Persis Solo berlaga di Stadion Manahan. Tak lupa atribut pelengkap seperti jaket, syal, dan kopiah mereka gunakan. Semua berlambang Syeikhermania. Teriakan dan nyanyian selawat yang mereka senandungkan bahkan dapat terdengar beberapa ratus meter dari tempat acara digelar.

 

Anak-anak ikut mengibarkan bendera Syekhermania. Mereka ditemani orang tuanya saat acara ini berlangsung. Di trotoar sekitar balaikota, Ibu-Ibu berdesakan. Hal ini membuat seluruh kawasan balaikota, Pasar Gede, dan gedung-gedung perbankan di sekitarnya disesaki oleh Syeikhermania. Makin malam, makin banyak saja massa yang datang. Polisi terpaksa melakukan penutupan dan pengalihan jalan di sekitar Jl. Slamet Riyadi yang menuju balaikota.

 

Selain dihadiri habib-habib dan ustaz-ustaz dari kota Bengawan, acara juga dihadiri Walikota Solo, F. X. Hadi Rudyatmo. Malam itu ia berpidato tentang pentingnya toleransi umat beragama di Solo. Usai pidato, ia membuka acara dengan menabuh hadrah (sejenis rebana). Habib Syeikh yang memintanya secara langsung.

 

“Sebagai pembukaan acara selawatan malam ini, Pak Rudi yang akan melakukan penabuhan hadrah pertama,” ucap Habib Syeikh. “Saya doakan nanti Pak Rudi bisa jadi ahli selawat.”. Penonton sontak tertawa dan memekikan kembali, “Allahu Akbar!, Allahu Akbar!”

 

Syeikhermania sendiri didirikan di Yogyakarta, tepatnya di ringroad utara, Universitas Islam Indonesia (UII), 7 tahun yang lalu. Pendirinya bernama Jindur, singkatan dari Jine Mundur.

 

Namun, Habib Syeikh sendiri – yang notabene sosok yang dikagumi dan dicintai oleh para Syeikhermania – tidak mengetahui bagaimana fans club-nya ini berdiri. “Saya malah enggak tahu ada Syeikhermania. Saya baru tahu pas ada acara. Kok  saya lihat ada syeikher-syeikher disana,” ujar Sang Habib ketika ditemui di kediamannya di kawasan Pasar Kliwon, Senin (26/10). Habib Syeikh khawatir melihat hal ini. Bagaimana bila komunitas ini membesar dan tidak terarah.

 

Maka, setelah Syeikhermania cukup besar, Habib meminta anak-anak muda untuk mengkoordinir komunitas ini. “Saya panggil pemuda-pemuda untuk mengkordinir Syeikher agar tidak kemana-mana,” ia mengungkapkan.

 

Sebelum Syekhermania berdiri, Habib telah memiliki majelis bentukannya sendiri bernama Ahbabhul Mustafa. Kini Syeikhermania menjadi bagian majelis ini.

 

“Saya bukan merangkul anak-anak muda yang baik,” tambahnya. “Namun saya merangkul anak-anak muda yang dulunya pemabuk, yang datang untuk meminta uang dengan memaksa.”

 

Habib pikir, merekalah orang-orang yang membutuhkan bantuan nasihat agama, mereka rindu ingin dibimbing. “Syeikhermania belum semuanya orang baik dan alhamdulillah mau kumpul di wadah yang baik.” Menurut Habib, banyak pula para Syekhermania yang tadinya pecinta musik arus utama, bukan selawatan seperti sekarang ini.

 

Kini, Syeikhermania telah memiliki kurang lebih 600.000 anggota di seluruh Indonesia.

 

Dengan jumlah massa sebanyak itu, banyak calon kepala daerah dan partai politik yang ngiler untuk menggaet Habib Syeikh dan Syeikhermania-nya. Apalagi kalau bukan buat mendukung mereka? “Syeikher itu tidak berpolitik. Saya tidak mau berpolitik dan syeikher tidak bisa dibeli oleh politik siapapun,” tegas Habib Syekh. Ia mengaku, banyak oknum politik yang mendekati kelompoknya. “Orang yang mendekat banyak, namun saya tidak mau ikut,” lanjutnya.

 

Habib Syeikh tak ingin mengikuti politik. Namun, ia selalu menganjurkan para Syeikhermania untuk memilih pemimpin yang baik. “Kalau kita lepas tangan sama mereka (politikus) nanti kita dihancurkan sama mereka.” Dengan tegas, ia mengatakan tidak ridho bila Syeikhermania mengikuti politik praktis. “Bila ada syeikher yang ikut politik, langsung saya tegur.”

 

Namun pada kenyataanya, beberapa kordinator wilayah Syeikhermania adalah seorang kepala daerah. Salah satunya Syeikhermania Lampung. Bupati Lampung Tengah yang langsung menjadi koordinatornya.

 

 

“KALAU MENGIKUTI Pengajian Habib Syekh ini, perasaan saya menjadi tenang,” ungkap Wahyu. Ia seorang difabel yang menggunakan tongkat kayu untuk memudahkan jalannya. Berusia 25 tahun. Berasal dari Delingan, Tawangmangu.

 

Nyaris tiap Rabu malam, ia datang ke gedung Bustanul Asyiqin, di kawasan Pasar Kliwon untuk ikut selawatan yang memang diadakan secara rutin oleh Habib Syeikh. Wahyu juga selalu berusaha datang tiap kali Habib Syekh mengadakan acara. Meskipun ia seorang difabel, ia tak patah semangat. “Kalau enggak ada halangan, saya pasti datang,” akunya.

 

Dulu ia tak terlalu senang dengan orang-orang yang melakukan selawatan dan melantunkan doa dengan bernyanyi. “Dulu tuh saya enggak seneng, kalau doa-doa pakai nyanyi-nyanyi.” Di organisasi yang ia ikuti dulu, para umatnya dilarang mengikuti acara semacam itu. Semuanya berubah saat dia menjadi seorang Syeikhermania, pecinta selawat.

 

“Kalau di tetangga sebelah [organisasi yang dulu ia ikuti] apa-apa dilarang, tapi enggak ada penjelasan itu kenapa dilarang.” Namun saat dia mengikuti dan menjadi Syeikhermania, hal-hal yang dilarang selalu dijelaskan secara rinci mengapa hal itu dilarang. Inilah yang menyebabkan Wahyu merasa tenang saat mengikuti pengajian ini.

 

Bahkan ia selalu datang dengan mengendarai motor sendiri. “Kalau sama teman enggak enak, nanti mintanya pulang cepet-cepet terus, jadi enggak khusyuk nanti,” katanya.

 

Muchlis (52) setali tiga uang dengan Wahyu. Ia adalah pengagum, teman hidup, dan teman  perjuangan Habib Syeikh selama 20 tahun. “Saya itu termasuk baru dan paling akhir bertemu Habib Syeikh. Baru 20 tahun,” ujarnya sambil berkelakar.

 

“Sebelumya saya enggak tahu yang dimaksud Habib itu apa.” Muchlis melanjutkan. “Terus teman saya bercerita bahwa ada Habib yang bisa merasakan keluh kesahnya, dan kayak bisa membaca perasaan. Tapi saya pertamanya enggak percaya. Karena saya pikir hal itu hanya orang-orang yang mendalami Kejawen saja yang bisa.”

 

Karena penasaran, ia mengajak temannya untuk bertemu sang Habib disela-sela ceramah di rumahnya. Alangkah terkejutnya saat mendapati ceramah yang dibawakan Habib adalah pemecah masalah yang sedang dihadapinya waktu itu.

 

Selama 20 tahun ia lantas mengikuti setiap perjalanan dakwah yang diadakan Habib Syeikh. Dari kampung ke kampung, kota ke kota. Setiap perjalanannya bersama Sang Habib membuat Muchlis yakin bahwa dia cocok untuk diikuti.

 

Muchlis kembali menegaskan kekhawatiran Habib Syeikh. Kali ini mengenai Syeikhermania yang nantinya hanya mencintai Habib Syeikh secara individu, dan sepeninggalnya Syeikhermania akan terpecah, “Beliau khawatir kalau Habib sudah enggak ada [meninggal] mereka terpecah.”

 

Kalau bisa dibilang, Muchlis adalah Syekhermania yang paling setia.

 

Saat bertemu salah satu kordinator Syeikhermania, Muchlis sempat bertanya. “Apakah bila saya tak punya jaket syeikher sama kaus Ahbabul Mustafa, saya bukan Syeikher dan Ahbabhul Mustafa?”[]

 


R. Syeh AdniR. Syeh Adni. Seseorang yang suka menghabiskan waktu untuk membaca. Ingin menjadi penulis yang baik dan ingin menjadikan tulisannya bermanfaat bagi sesama. Surel: rasy_ad@yahoo.co.id.

 

 


 

sampulEditorial                      : Mazhab Masa Depan

Laporan Khusus       : Hijab dalam Pergolakan Makna

Laporan Khusus       : “Wajah” Baru di Ruang Semu

Laporan Khusus       : Maniak Selawat Bernama Syekhermania

Infografis                    : Perkembangan Islam Pop di Indonesia

Catatan Kentingan   : Islam dalam Kepungan Budaya Pop