Malam itu, Jumat (18/03) bertempat di Student Center UNS, sajian hangat yang sempurna datang dari Laboratorium Seni Teater Delik. Teater ini digarap mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Pentas Pantes, sebutannya, atau disingkat Penpan yang ke-16 ini mengusung tema “Magdalena Anastasia” dengan menyuguhkan tiga penampilan yang sangat apik, diantaranya Tari Kepyar, serta dua drama yang bertajuk “Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Tanda Tanya Besar” dan “Kebo Nyusu Gudel”.
Begitu masuk terlihat ruangan yang sangat gelap, yang terlihat hanyalah lampu sorot panggung. Panggung yang dikonsep di mana antara penonton dan pemain saling berhadapan, dengan alas karpet penonton tampak nyaman duduk bersila selagi menunggu acara dimulai. Penonton terdiri dari mahasiswa UNS terutama dari Fakultas Hukum, BEM Fakultas Hukum UNS, dan tidak ketinggalan pula teater dari berbagai macam universitas di Surakarta seperti Teater Oase, Teater Postma, Teater Depan, Teater Wejang, dan Teater Tigakoma turut serta memeriahkan pentas pada malam hari itu.
Suara gemuruh tepuk tangan penonton terdengar jelas kala pertunjukan yang pertama, Tari Kepyar, mulai dipentaskan. Musik iringan khas tari daerah mulai dibunyikan menambah kekentalan budaya dari tari yang dibawakan.Koreografi dibuat oleh Asyifa dan dibantu askreo yaitu Flanneta. Tari Kepyar ini dimainkan oleh lima orang wanita yang juga berasal dari Fakultas Hukum, di antaranya Rizka, Mustika, Gessica, Deviana, Dhea, dan Denis. Dengan gerakannya yang lihai, serta balutan busana tari bernuansa jingga semakin menambah kesan anggun dari tari yang dibawakan.
Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Tanda Tanya Besar
Pertunjukkan drama yang pertama ini merupakan karya dari Irwan Jamal dan disutradarai oleh Hakim. Mengangkat judul “Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Tanda Tanya Besar”, di mana drama ini berkisah tentang kebingungan yang dialami para aktor saat akan memainkan drama mereka. Diperankan oleh Floris, Nabil, Cia, dan Lala, dengan Faisal dan Keavin sebagai asisten sutradara, drama ini sukses membuat penonton terpukau dengan akting para pemainnya.
Lampu panggung dimatikan pertanda drama akan segera dimulai, lalu seketika menyala dan terdengar suara “Oke sekarang coba adegan lain, ayo”.
“Tolong-tolong, Buk, ada maling, Pak, Ibuk, tolong,” diikuti dengan Cia yang kala itu mengenakan baju warna hitam mulai memasuki panggung dengan berlarian.
Selanjutnya, Nabil seorang lelaki dengan kaos warna merah turut beradegan mengejar maling.
Tak berselang lama, Floris terlihat memasuki panggung dengan membawa lemari pakaian dan berkata “Oh, ini yang dilihat aktor tua di dalam naskah itu?” ucap Floris dan dibalas oleh Cia, “Tapi kan kita berlima, dan aktor tua itu menonton saat penonton sudah pergi,” sahut Cia.
“Penonton akan segera datang tapi kawan kita belum juga datang,” lanjut Nabil.
“Kita tunggu sebentar, jam berapa sekarang?” ujar Cia.
Semua aktor merasa bingung karena pertunjukkan akan dimulai sekitar satu setengah jam lagi.
“Kau sudah menghubunginya?” tanya Nabil kepada teman-temannya.
“Dia tidak bisa dihubungi,” lanjut Floris.
“Kemana sih, dia, dia sakit? penyakitnya kambuh lagi? penyakit kuningnya itu,” ucap salah satu dari mereka.
Dengan jahatnya, Lala menduga bahwa kawan mereka yang tidak datang itu sudah mati, dan menjelaskan bahwa semua orang akan mati.
“Ya semua orang kan akan mati, kau, aku, bahkan bayi yang baru lahir pun akan mati,” terang Lala.
“Penonton tidak peduli dengan hal itu, penonton hanya peduli tentang drama ini dimainkan,” sahut Cia.
“Drama apa yang akan kita mainkan?” ucap Lala.
“Kita tidak bisa menunggu terus aku rasa dia tidak akan datang, kita harus cari cara untuk memainkan drama ini tanpa dia,” ucap Cia.
“Tapi adegan pertama dimulai oleh dia, sebab kehadiran dia yang memancing ketertarikan penonton,” jelas Nabil.
“Aku punya usul, bagaimana kalau kita umumkan drama ini diundur dan kita minta maaf?” ucap Lala dengan gembira seakan usulnya lah yang paling benar.
“Aku tidak setuju. Penonton akan kecewa, kita akan dipandang sebagai orang bodoh, tidak malu, tidak bertanggung jawab. Poster pentas kita sudah kita sebar jauh-jauh hari, semua orang di kota ini tau kita akan pentas malam ini. Aku tidak ingin dihina. Aku tidak mau karena kesalahan dia kesalahan satu orang saja, kita terlihat bodoh,” jelas Cia panjang lebar.
“Oke, kita bongkar naskah ini lalu kita susun kembali,” usul Cia.
“Penonton tidak akan suka melihat kita merusak naskah, mereka akan pulang,” ucap Nabil.
“Naskah ini bukan kitab suci, kalau perlu dibongkar ya bongkar saja, jika ingin ucap pulang, biarkan mereka pulang,” ujar Cia dengan tegas.
“Kau akan biarkan mereka pulang, kau akan biarkan teater tanpa penonton?” lanjut Nabil.
Akhirnya mereka semua setuju untuk merombak naskah drama mereka, tetapi Cia memberi ide agar ending dari drama yang baru ini ada adegan kematian.
Semua kaget ketika Cia mulai menyerangkan pedangnya pada Lala.
“Aku tidak mau mati!” ucap Lala sambil berlindung di belakang Floris.
“Aku tidak akan membunuhmu di luar panggung, hanya di atas panggung, akan ada yang mati tapi di atas panggung, tenanglah,” ucap Cia pada Lala.
“Karena seorang aktor bisa saja hidup dan mati di atas panggung untuk kehidupannya di luar panggung, seorang aktor bisa saja hidup dan mati berkali-kali karena hasrat seorang aktor,” terang Floris panjang lebar.
Lala yang takut dengan adanya adegan kematian mencoba lari dari teman-temannya namun dia malah diikat pada kursi. “Ah, aku mau keluar dari sini!” teriaknya.
Dengan sergap Cia pun menusukkan pisau yang dibawanya ke arah perut Lala. Semua melongo melihat darah pada perut Lala.
“Darah! Darah!” teriak Cia yang diikuti Nabil, “Darah? dia, dia mati? Heh, aku sudah berkata sejak awal mengapa memakai pisau asli bukan imitasi?” ucap Nabil menyalahkan Cia.
“Aku tidak mau membohongi penonton dengan memakai pisau palsu,” ucap Cia.
Tiba-tiba Lala terbangun dan malah tertawa, “Pisau asli tapi darah palsu, hahahaha!” tawa Lala, yang dengan puas mengerjai teman-temannya.
Saat drama akan berakhir, para tokoh terlihat masih saling berdebat dengan membawa argumen mereka masing-masing.
Dengan diikuti alunan musik yang cukup menghanyutkan, Nabil berkata, “Bermain dalam drama merupakan pertunjukan dari narsisme. Di dalam drama akan ditemukan beribu watak, beribu peristiwa, mengapa semua orang bersandiwara, itu semua karena kesombongan, dengan sombongnya seorang aktor menolak menjalani satu jalan kehidupan saja.”
“Apakah drama yang kita mainkan ini sudah selesai belum, jam berapa sekarang?” saut salah satu dari mereka kala bosan mendengar ocehan Nabil.
“Open gate!” teriak salah seorang dari luar yang memberi pertanda bahwa penonton akan segera masuk ke dalam ruang pentas.
Seketika aktor-aktor panik dan berteriak “Drama apa yang akan kita mainkan?”.
Lampu panggung pun mati dan gemuruh tepuk tangan penonton mulai terdengar pertanda drama pertama telah usai.
Kebo Nyusu Gudel
Pertunjukkan yang terakhir sekaligus menjadi penutup pementasan pada hari pertama ini adalah drama bertajuk “Kebo Nyusu Gudel” dengan penataan panggung dihiasi properti berupa kelir yang dibentangkan pada gawangan. Adegan bermula kala kakek tiba-tiba terbangun dari tidurnya lalu menyanyikan tembang jawa serta berteriak dengan suara yang sangat lantang, “Banguuun, heh, bangun semua! Kita harus segera bersiap”, ucap kakek sambil memegang tongkatnya bak tembak yang diarahkan pada musuh.
“Bangun Pak, kakek kumat lagi, aku juga masih ngantuk,” ujar menantu kakek kepada suaminya, lalu anak serta menantu kakek terbangun dan berkata “Ada apa, to, Kek, malem-malem kok ribut,” lanjutnya.
“Ada apa, ada apa. Apakah kalian sudah tuli? apa kalian tidak mendengar diluar ada demo, situasinya sekarang semakin sulit, jadi kita harus waspada. Kalian semua berjaga di pos sebelah sana, biar aku awasi yang di sebelah sini,” ucap kakek panjang lebar dan diikuti sahutan dari Kinanthi, cucu kakek, “Siap, Komandan!”.
“Di sini terlihat aman Kek, eh, Komandan,” lanjut Kinanthi yang memang senang meladeni kakeknya berhalusinasi karena menganggap seperti sebuah permainan.
“Meski aman, tetap waspada! kasihan anak-anak muda itu, katanya mereka itu orang-orang yang intelek, tapi lihat, bicaranya saja seperti tukang becak. Dengar kalian semua, tidak ada gunanya kalian teriak-teriak sampai tenggorokan kering! lebih baik baca buku yang banyak saja biar bisa mikir lebih jernih. Biar tidak dimanfaatkan orang. Masa orang intelek ngomongnya seperti robot, cuma bisa ngomong, ‘Kami butuh makan! turunkan ini turunan itu’, kalau cuma ngomong seperti itu anak umur dua tahun saja juga bisa!”
“Iya, tapi Kakek memang harus segera tidur lagi. Kita mesti istirahat, hari sudah larut,” jelas anak sang kakek.
Tanpa mendengarkan ucapan sang anak, kakek terus saja berceramah, “Wayang itu seni karena mengandung budi pekerti. Kau harus jadi orang yang mengerti budi pekerti,”
Melihat kakek yang tiba-tiba berbicara pasal wayang, Kinanthi pun berucap, “Hah? main tentara-tentaranya sudah selesai ya, Kek,’’ ucap Kinanti sambil cemberut.
“Tentara itu apa? Sebenarnya aku menyesali juga jadi tentara apalagi setelah melihat anak buahku, mereka itu hanya bisa membanggakan seragamnya, hanya bisa sok jagoan. Mereka dikenal bahwa mereka itu abdi masyarakat, yang namanya abdi musti melindungi, bukannya sok. Untuk mengamankan demonstrasi mahasiswa saja tidak becus, masih saja ada yang mati. Berbeda dengan dalang, dalang selalu memberikan nasehat-nasehat yang filosofis, petuah-petuah yang dibutuhkan masyarakat,” pungkas kakek panjang lebar.
Seketika Kinanthi berteriak dan pertunjukkan wayang dimainkan oleh seorang dalang dibalik kelir yang telah tersedia di panggung, dengan musik khas wayang yang menggema di dalam ruang teater malam itu. Dan mulai ributlah si kakek dan anak laki-lakinya.
“Ini sudah malam, ga boleh teriak-teriak, ga enak sama tetangga. Dasar orang tua pikun!” ucap sang anak.
“Lebih baik tidak usah dihiraukan orang semacam itu. Ayo, kita berteriak kita lantunkan anoman obong,” seakan menuruti perintah sang kakek, musik berbunyi sangat keras di dalam ruangan.
Kakek yang selalu terbayang dengan masa lalunya sebagai tentara juga selalu berkhayal akan istrinya yang sudah meninggal.
“Kamu benar-benar perempuan impian. Kau ini sangat mengerti betapa beruntungnya aku mendapatkanmu. Jangan pernah kau meninggalkan aku, aku bisa menjadi makhluk paling hina jika kau tinggalkan,”
“Iya Mas, aku tidak akan pernah meninggalkan Mas,” ucapan istri kakek yang terbayang-bayang dalam ingatan kakek.
Di kala menantu kakek sedang berorasi di depan para penonton, Kinanthi pun berteriak, “Gawat, komandan mereka semakin mendekat!”
“Kinanthiiiiii!!!” jerit bapaknya yang kesal dengan Kinanthi karena meladeni khayalan sang kakek dan menambah ricuh suasana.
Akhirnya drama serang menyerang pun terjadi. Dan tidak lama kemudian, akhirnya sang kakek tertidur di tempat.
“Kasihan kakek, di usianya yang sudah tua masih saja diganggu dengan ingatan-ingatannya. Kalau saja nenek masih ada, aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Sudah dibawa ke psikiater, dokter, bahkan dukun. Lebih baik dibawa ke panti jompo, mungkin mereka bisa bekerja lebih baik,” ucap anak sang kakek seakan memberi saran.
“Jangan Mas, biar aku yang mengurus kakek. Lagipula panti jompo bukan solusi terbaik,” sahut istrinya.
“Tapi jika tiap malam diteror begini, aku juga bisa gila,”
“Sabar, lagipula ini tanggung jawab kita. Kita selesaikan ini besok pagi saja. Aku juga sudah capek, Pak” terang istrinya.
Musik mellow pun dimainkan dan kakek dibawa kembali ke kamarnya, lalu seluruh keluarganya pun kembali ke kamar masing-masing. Namun tak berselang lama kakek pun kembali menyanyikan trmbang jawa khasnya.
“Bangun! bangun kalian semua! kita harus segera bersiap!” Kakek melakukan persis dengan yang dilakukannya pada adegan pertama sebagai penutup cerita.
Lampu panggung padam dan gemuruh tepuk tangan penonton mulai mendominasi ruangan.
Drama yang kedua ini merupakan karya dari Dheni Jatmiko yang disutradarai oleh Tegar Pratama, serta Alif, Ghina, Chiku, Woma sebagai pemeran. Drama ini sukses menghipnotis penonton terutama akting kakek yang begitu menjiwai karakternya sebagai seorang yang pikun. Penonton dibuat tertawa oleh tingkah laku sang kakek dalam menjalani perannya.
Keselarasan ekspresi yang dihadirkan dalam drama dan tari sukses menciptakan kekaguman dari para penonton. Drama berakhir sekitar pukul 21.40 WIB, dilanjutkan dengan wawancara singkat antara MC yang berjumlah dua orang dengan para pemain drama. Dilihat kala itu penonton mulai berhamburan keluar ruangan. Pentas hari itu pun selesai dan akan dilanjutkan pada hari selanjutnya, Sabtu (19,03).
Penulis: Khalila Albar Hanafi
Editor: Sabila Soraya Dewi