Artis : Iksan Skuter
Judul : Kuliah
Album : Gulali
Rilis : 2017
Label : Srawung Records
Source : Spotify
Herry Sutresna aka Morgue Vanguard dalam magnum opusnya “Fisher, Masa Depan yang Gagal Hadir dan Debut Portishead” menyertakan sebuah narasi yang membuka jalan pikirku. Akan betapa mengerikannya dunia, ketika kapitalisme sudah menjadi lumrah hingga pada sektor-sektor yang dianggap publik. Morgue Vanguard mengamini sebuah kutipan dari Frederic Jameson; “lebih mudah membayangkan akhir dunia dibanding membayangkan akhir dari kapitalisme”.
Diskursus perihal kapitalisme telah berada pada tahap melihat ulang, bagaimana kapitalisme sudah menjelma menjadi sebuah tatanan sosial yang tak lagi ditentang, dikritisi, maupun dikutuk. Kapitalisme seolah menjadi bagian peradaban yang kian hari kian dijalankan sebagai sebuah misi bagi sebagian manusia oportunis tanpa pandang bulu.
Ironisnya masyarakat tak menyadari hal ini, seolah apatis. Tak ada perlawanan yang berarti, dan berimbas pada para kapitalis yang tak segan menyebarkan dogma-dogma mereka ke penjuru negeri. Sistem borjuis dan proletar kini telah bermetamorfosa dalam kehidupan postmodernisme.
Ditarik lebih dalam, kapitalisme yang paling merusak adalah ketika menyentuh aspek integral kehidupan. Sebagai kebutuhan primer, pendidikan merupakan satu bagian yang lekat dari setiap manusia. Pendidikan merupakan hak yang tak bisa dibantahkan bagi setiap insan yang berakal. Akan seberapa terkutuknya ketika kapitalisasi menyentuh unsur pendidikan.
Merespon hal ini, Iksan Skuter alias Mohammad Iksan, seorang musikus cum aktivis prominen tanah air merilis sebuah lagu yang berhasil mengusik benakku. Tentang bagaimana menjadi tanggap dan mengejawantahkan keresahan terhadap konstruksi sosial yang cacat.
Bertajuk “kuliah” yang merupakan bagian dari repertoar Gulali (2017), Iksan Skuter berupaya mengutuk kapitalisasi pendidikan dalam kurun waktu tiga menit. Bermodal petikan gitar dan serak suaranya memaknai sebuah keberpihakan sosial terhadap kaum borjuis (baca: kapitalisme) yang menyakiti berbagai unsur kehidupan khususnya akar rumput.
Merespon Kapitalisasi Pendidikan dan Realisasi Sebuah Utopia
Sejak kecil Alfan punya cita-cita/ Ingin membangun bangsa Indonesia/ Kata Alfan tidak mudah/ Karena kuliah tak lagi murah/
“Kuliah” membuka denyutnya dengan dentuman gitar dari Iksan. Menceritakan tokoh semu “Alfan” yang memiliki pengharapan tentang kehidupan berpendidikan. Hanyut dalam sebuah cita-cita. Namun pada akhirnya harapan-harapan manis tentang hidup berpendidikan dan berguna bagi bangsa negara, lebur dilumat kapitalis lokal.
Biaya pendidikan dipertaruhkan. Memosisikan sekolah internasional dan negeri, sekolah program khusus dan reguler, seolah menggarisbawahi sekat kelas sosial yang ada.
Akhirnya mimpinya Alfan sederhana/ Berguna bagi RT tercinta/ Bisa bantu potong hewan kurban/ Atau bisa menjadi satpam/
Pada akhirnya Alfan, aku, kamu, dan mungkin kita, akan tertatih untuk hidup dalam bayang-bayang utopis. Sulit untuk menerima ketidakpastian khususnya dalam aspek pendidikan. Ketakutan untuk berharap, keraguan untuk mengambil sikap, akan berbagai keputusan perihal bangku pendidikan, didasari SPP yang tak kunjung menyusut.
Alfan merubah cita-citanya/ Tak mau jadi dokter gigi/ Oh, kuliah SPP-nya sangat tinggi/Alfan bolos kuliah/
Dapatkah seorang pemangku kebijakan menempatkan dirinya pada titik setara dengan para rakyat. Akankah mereka memahami dan berempati sebetapa berpengaruhnya keputusan yang mereka ambil, terhadap kehidupan khalayak. Maka dari itu, seorang pemimpin layaknya harus memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi. Yang memiliki sense of belonging, perasaan senasib sepenanggungan agar timbul keberpihakan kepada kaum termarginal.
Namun tak ayal, bagaimana pendidikan sekarang ini ditunggangi demi kebutuhan perseorangan. Tikus-tikus kapitalis berupaya mengkomersilkan pendidikan. Jiwa kapitalis tersebut telah menjangkit bagi sebagian wakil masyarakat.
Banyak lembaga pendidikan yang berpretensi memihak para murid, namun nyatanya hanya sebatas mengejar Bantuan Operasional Sekolah. Perlu kita sadari bahwasanya ekosistem pendidikan kita sudah sampai pada titik seputus asa itu.
Lantas bagaimana mengupayakan utopia kaum terpinggirkan dapat terealisasi, dan memunculkan diskusi yang mengarah pada hal tersebut?. Ini yang perlu kita jadikan acuan agar setiap sendi kehidupan masyarakat sadar akan sistem yang cacat ini.
Menyertakan pemikiran Wright dalam artikel Fajar, “Perdebatan Utopia : Sebuah Awal dari Analisis”, perihal tiga unsur penting yang perlu dipertimbangkan guna membangun sebuah utopia; desirability, viability, dan achievability.
Desirability mengingatkan perihal keberpihakan terhadap perubahan menuju sebuah utopia, perlu adanya dukungan luas dari publik. Viability memberikan keleluasaaan kepada khalayak untuk merefleksikan apakah konsep perubahan ini sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat. Sedangkan Achievability membuka jalan mengenai seberapa besar penerimaaan utopia baru ini kepada para realis dan para militan agen-agen perubahan yang lain.
Alfan merubah cita-citanya/ Tak mau jadi dokter gigi/ Oh, kuliah SPP-nya sangat tinggi/ Alfan bolos kuliah/ Alfan bolos kuliah/ Alfan bolos kuliah/ Alfan bolos kuliah/.
Merujuk pada kasus Alfan, merupakan satu dari sekian anak yang harus memupus harapannya demi menjadi seorang realistis dan tunduk pada sistem yang buruk. Maka dari itu kesadaran dan sikap yang harus diambil masyarakat, yakni mengutuk seluruh bentuk kapitalisasi pendidikan dan menyuarakan setiap kebatilan yang ada. Hal ini juga harus didukung dengan para intelektualis dengan turba ke akar rumput dan memberikan wadah bagi kaum yang kesulitan mendapat akses pendidikan layak, untuk terus menghidupkan semangat bermimpi dan mengejar cita-cita mereka.
…
Sebuah gagasan menarik dari intelektual cum aktivis Polandia, Adam Mitchnik, dalam esai Airlangga Pribadi yang bertajuk “Meneruskan Utopia Indonesia” ;
“Menjadi realis adalah berani membayangkan dan memperjuangkan apa yang terlihat mustahil untuk dilakukan”
Senantiasa terjaga. Tabik!
Penulis: Dhiazwara Yusuf Dirga
Editor: Wahyu Lusi Lestari