Lewat sebuah surat pemberitahuan tertanggal 11 Januari 2023, kampus mengubah kebijakan hari bebas emisi yang sebelumnya dilaksanakan satu kali menjadi dua kali dalam satu bulan. Perubahan ini memicu berbagai respon dari para mahasiswa. Misalnya dalam postingan feed akun Instagram kampus, @uns.official pada tanggal 17 Januari 2023 yang mengabarkan surat pemberitahuan mengenai perubahan kebijakan hari bebas emisi. Pada kolom komentar postingan feed tersebut ada yang pro dengan perubahan kebijakan hari bebas emisi, namun banyak juga yang kontra baik dalam bentuk kritik maupun sarkasme.
Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu terkejut dengan adanya perubahan ini karena boleh dibilang saya sudah mendapatkan bocorannya kurang lebih sepekan sebelumnya. Bocoran ini bukan sembarang bocoran karena saya mendengarnya langsung dari orang nomor satu di kampus ini. Jadi, bisa dihitung sebagai bocoran yang 100% valid. Namun, jangan disalah artikan kalau saya kenal dekat dengan beliau, tentu tidak. Saya mendapatkan bocoran ini melalui sebuah forum silaturahmi yang isinya lebih banyak pegawai/tenaga pendidik daripada mahasiswa, bukan forum empat mata dengan beliau. Apalah diri saya, bisa menyita waktu beliau yang sangat berharga. Walaupun, saya juga akan tetap bersyukur jika memang itu yang terjadi sebenarnya.
Realita Hari Bebas Emisi
Sebelum berbicara soal kebijakan hari bebas emisi, sudah barang tentu kalian tahu bahwa kampus yang kalian cintai ini punya cita-cita luhur. Cita-cita luhur tersebut sangat sering kita dengar baik secara langsung maupun lewat postingan media sosial. Green Campus, adalah cita-cita luhur yang saya maksud. Namun, jika kita perhatikan, selalu saja fokus yang digemborkan ketika berbicara soal green campus adalah kebijakan hari bebas emisi. Seolah-olah dengan adanya hari bebas emisi maka kampus kita ini sudah menjadi green campus. Hadeuh, saya harap itu hanya asumsi liar saya saja. Apalagi kalau hari bebas emisi saat ini, seperti yang tertulis pada judul adalah sebuah kebijakan parsial.
Pada dasarnya, hari bebas emisi adalah kebijakan yang mewajibkan seluruh civitas academica bahkan masyarakat yang akan beraktivitas di dalam kampus untuk menggunakan alat transportasi bebas emisi. Berjalan kaki, kendaraan listrik, dan alat transportasi publik milik kampus diperbolehkan. Sedangkan kendaraan pribadi berupa kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dilarang untuk digunakan. Dari sini tentu kita bisa menerka-nerka bahwa dampak langsung yang ingin dicapai dari ditetapkannya hari bebas emisi adalah berkurangnya mobilitas kendaraan bermotor di area kampus. Dengan begitu harapannya jumlah asap kendaraan bermotor (emisi karbon) juga ikut berkurang. Tentu di atas kertas hal tersebut sangat mungkin terjadi, tetapi apakah bisa berdampak sepenuhnya?
Mari saya ajak kalian berpikir dan merenungi hari bebas emisi ini secara perlahan. Saya ingin mulai lewat cerita mengenai bagaimana saya mendapatkan ide dan inspirasi. Selama kurang lebih satu tahun saya merasakan hari bebas emisi. Benar-benar merasakan jalan kaki dari gerbang kampus hingga gedung perkuliahan tempat kelas saya berada. Bahkan pernah suatu kali, karena takut terlambat saya sampai harus berlari selama perjalanan. Alhasil sesampainya di kelas sekujur badan keluar keringat. Apalagi kalau masuk siang di saat matahari sedang panas-panasnya. Sudah tidak terkondisikan. Namun, dari satu tahun itu yang harusnya bisa 12 kali berjalan, mungkin hanya 4 atau 5 kali yang saya rasakan. Salah satu sebabnya adalah hampir selalu jadwal kelas di hari jumat bebas emisi tersebut dipindahkan menjadi kelas daring. Pada awalnya saya bahagia dan bersyukur saja karena saya tidak perlu berjalan menyusuri jalur pedestrian dari gerbang hingga gedung tempat kelas saya seharusnya diadakan. Namun, setelahnya saya baru berpikir kenapa selalu seperti ini?
Saya coba mencari jawabannya. Parahnya saya sempat berprasangka buruk terhadap dosen saya karena berpikir bahwa beliau sama malasnya seperti saya untuk berjalan. Mohon maaf bapak/ibu dosen yang saya hormati. Namun, akhirnya saya mendapati jawabannya di dalam kelas. Pada waktu itu, dosen saya pernah mengungkapkan sebuah pertanyaan retoris terkait hari bebas emisi. Pertanyaannya cukup menggelitik. Beliau bertanya kurang lebih seperti ini, “Saya ini bingung sama hari bebas emisi, emang kalau motornya gak boleh masuk kampus asapnya juga gak boleh?”. “Emang di atas sana ada ‘satpam’, ada penghalang biar asap motor gak ikut masuk?!” lanjutnya. Mendengar hal tersebut saya hanya bisa tertawa. Saya sedikit menangkap maksud beliau dan saya anggap sebagai sebuah alasan yang mulia.
Jika kita renungi bersama, apa yang dikatakan dosen tersebut cukup masuk akal. Apakah emisi karbon dari asap kendaraan itu bisa menetap di suatu tempat? Katakanlah jika motormu diparkirkan di area SPMB, apakah asapnya juga ikut menetap di SPMB? Tentu saja tidak. Kalau iya, ini jelas melanggar sifat fisika dari zat gas. Sifat dari molekul-molekul zat gas itu bisa bergerak secara bebas, karena tidak adanya gaya tarik menarik antar molekul. Apalagi jika gas tersebut tidak terkurung pada suatu ruang tertentu. Berbeda dengan zat padat yang gaya tarik-menarik antar molekulnya sangat kuat. Sayangnya, asap kendaraan adalah salah satu zat dalam wujud gas. Akibatnya, akan sangat mudah sekali asap kendaraan tadi bergerak sebebas-bebasnya, dalam hal ini masuk lebih jauh ke area kampus.
Sekarang coba kita amati jumlah kendaraan pada saat hari biasa dan hari bebas emisi. Jika kita bandingkan saya rasa jumlah tidak berkurang secara signifikan. Jikalau hari biasanya tempat parkir tiap fakultas yang penuh, maka ketika hari bebas emisi tempat parkir gerbang depan, gerbang belakang, gerbang samping, dan javanologi yang penuh. Seolah hanya berpindah tempat saja. Oleh karena itu, jika kita kembalikan pada pernyataan sebelumnya, apakah benar bahwa hari bebas emisi ini memiliki dampak langsung pada pengurangan emisi karbon secara penuh? Saya rasa tidak, mungkin berkurang tetapi tidak signifikan.
Apa Selanjutnya?
Kembali soal kebijakan hari bebas emisi. Kebijakan ini awalnya ditetapkan pada bulan Juli tahun 2020. Tahun pandemi di mana Covid-19 mulai merebak ke seluruh penjuru Indonesia. Artinya pada saat itu kondisi kampus sedang sepi-sepinya, karena kegiatan pembelajaran dialihkan dari luring menjadi daring. Aktivitas-aktivitas di dalam kampus pun dibatasi. Dengan demikian, rasa-rasanya manfaat, pengaruh, maupun dampak dari kebijakan hari bebas emisi tersebut belum terlalu terlihat. Akibatnya, tentu terkait monitoring dan evaluasi dari kebijakan itu sendiri. Setidaknya sepanjang dalam kurung dua tahun, dari 2020 hingga 2022, kebijakan ini tidak bisa dinilai secara tepat.
Selain soal ‘gagalnya’ misi mengurangi emisi karbon tadi, ada persoalan lain yang muncul. Terkait fasilitas-fasilitas yang mendukung kebijakan hari bebas emisi. Saya kira kalian juga sama setujunya, bahwa masih sangat minim sekali fasilitas yang harusnya bisa menunjang hari bebas emisi ini. Saya langsung sebut saja bus kampus. Sejauh ini saya sendiri belum pernah merasakan naik alat transportasi publik milik kampus itu, eh benar kan kalau bus kampus itu yang disebut sebagai alat transportasi publik milik kampus? Kemungkinannya hanya ada dua, pertama saya tidak beruntung atau yang kedua memang tidak beroperasi. Saya sendiri tidak tahu ada berapa armada yang dimiliki kampus, tetapi saya rasa untuk ukuran kampus dengan luas 60 hektar, rute jalan kampus yang tidak serumit rute jalan kota, dan waktu operasi hanya di hari bebas emisi tersebut, bisalah saya jumpai dan naik minimal satu kali. Namun, beda cerita kalau memang tidak beroperasi, mau saya tunggu dari pagi sampai sore pun tidak akan pernah saya naik bus kampus itu.
Sungguh sangat sayang jika fasilitas yang berupa alat transportasi publik tersebut tidak dioptimalkan dengan baik. Padahal, secara teori penggunaan transportasi publik dapat menekan angka emisi karbon, “kegagalan” yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Coba bayangkan, jika pada hari bebas emisi bus kampus beroperasi secara penuh. Layaknya Batik Solo Trans (BST) yang mana penggunanya tidak perlu takut dan khawatir jika busnya tak kunjung datang. Pasti akan datang dan biasanya waktu tunggunya tidak lama. Kemudian dengan sedikit paksaan, mahasiswa pasti sudi untuk beralih dari motor dan mobilnya ke bus kampus. Akhirnya, apa yang sebelumnya disebut dengan “hanya pindah tempat parkir” itu bisa ikut terselesaikan. Sayang dan lucu saja jika melihat ada halte bus tetapi tidak ada busnya.
Saya percaya bahwa sebuah kebijakan yang baik itu harus memperhatikan aspek-aspek yang ada. Pemangku kebijakan dalam membuat kebijakan tidak boleh hanya melihat dari sisi dia saja, tetapi juga sisi-sisi lain yang nantinya akan terdampak oleh kebijakan tersebut. Blueprint yang jelas dan terukur adalah output yang akan diimplementasikan di lapangan. Proses monitoring dan evaluasi juga harus dilakukan setiap waktu. Namun, entah kenapa saya belum melihat itu. Sudah hampir jalan tiga tahun yang muncul hanya penambahan hari tanpa ada “perbaikan” yang fundamental. Saya hanya berharap kalimat “sebuah kebijakan parsial” yang saya labelkan sendiri ini tidak berlangsung lama. Cepat-cepat sajalah ganti label karena ini baru soal hari bebas emisi, belum melihat dengan kacamata lebih luas berupa Green Campus yang saya yakin masih juga perlu perhatian dan perbaikan lebih lanjut.
Penulis: Taqiuddin
Editor: Lutfiyatul Khasanah