Para Penentang Elitisme Seni

SEANDAINYA PAMERAN SENI adalah kehidupan dan para pengunjung adalah manusianya, yang sekadar mampir, memburu nikmat, lalu segera pergi. Maka larangan terbesar dalam ‘kehidupan’ itu adalah menyentuh karya. Larangan sudah barang tentu tak ditulis dalam kitab suci, melainkan di dinding-dinding tempat pameran diselenggarakan, di bawah benda yang dipamerkan atau kadang berdiri sendiri pada plang besi, berjarak sekian centimeter dari karya yang ditampilkan.

 

Namun larangan itu tak berarti di pameran seni tahunan besutan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS), Art Educare #8 yang digelar di Taman Budaya Surakarta (TBS) sejak 28 Maret sampai 1 April 2017.

 

Di sana, pengunjung pameran bisa menduduki, berfoto ria bersama karya, menempelkan stiker pada instalasi, bahkan bisa pula turut menggoreskan pewarna karya-karya tertentu. Dalam pameran ini, justru para pengunjung diharapkan bisa berinteraksi dan terlibat dalam proses pembuatan karya. Tak semua memang, salah satunya adalah karya bertajuk Yang Muda Bicara Kota di mana sebuah kain spanduk dibentangkan dan pengunjung diperbolehkan untuk menggoreskan cat di atasnya. Pengunjung diminta untuk memberi gagasannya mengenai kota. Ini merupakan karya dari Nataningratan, – sebuah komunitas seni asal Solo –  atas proyek mereka, Kata Kita. “Kami mengajak masyarakat untuk aktif dan ikut berpartisipasi dalam menuangkan ekspresi mereka lewat karya,”  ujar Wulan (25), salah satu angota Nataningratan menjelaskan maksud dari Proyek Kata Kita.

 

Tak hanya itu, sebuah karya instalasi yang menghadirkan mobil Mustang yang dicat warna-warni dan berhias lampu kerlap-kerlip, mengajak siapapun yang hadir untuk menempelkan stiker di area mobil tersebut. “Dimanapun!” kata panitia pameran yang berjaga. Bahkan, karya yang diberi nama Paint Print Paste oleh Dinas Perindah Kota – sebuah komunitas seni asal Surakarta, turut mengundang para seniman stiker untuk mengirimkan karya stikernya kepada panitia.

 

Tentunya hal-hal itu yang tak akan bisa dilakukan terhadap, katakanlah Mona Lisa karya Leonardo da Vinci yang terpampang di Louvre Museum, Paris. Bahkan untuk menambahkan goresan menggunakan pewarna, pengunjung saja dibatasi oleh sekat pemisah yang berjarak tak kurang dua meter dari lukisan. Pengunjung hanya dapat menikmati karya dalam jarak.

 

Contoh lain adalah yang tergambarkan pada film How to Steal a Million (1966) yang memerlihatkan bagaimana patung Venus dari Cellini (yang belum diketahui bahwa itu adalah tiruan) dikelilingi laser pengaman yang terhubung dengan alarm. Lagi-lagi pengunjung hanya dapat menikmati karya dalam jarak.

 

Mengajak pengunjung untuk berpartisipasi dalam pameran seni ini memang sengaja dilakukan oleh panitia penyelenggara. Sesuai dengan tema yang mereka usung yakni Side by Side yang berarti memiliki banyak sisi atau berdampingan. “Side by side intinya gotong royong, mengajak semua kalangan untuk memahami tentang seni,” ungkap Kristian Fajar (22) selaku Ketua Panitia.

 

Adam Wahida, Dosen Pendidikan Seni Rupa UNS mengatakan bahwa kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Sebagai bagian penting dari kebudayaan, kesenian merupakan ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Kemudian, masyarakat menyangga kebudayaan dan begitu pula kesenian mampu memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, memberdayakan, mengembangkan, dan menciptakan kebudayaan baru.

 

Ia pun menambahkan, bahwa acara Art Edu Care #8 ini merupakan upaya untuk mewujudkan sebuah pandangan bahwa seniman tidak dapat dengan sendirinya mengagungkan diri dan karyanya tanpa peduli lingkungan sosial dan budaya tempat tinggalnya.  “Kami menjadikan masyarakat bukan hanya sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek atau bagian yang terlibat langsung dalam proses penciptaan karya seni yang disajikan di pameran,” ungkapnya lewat pesan singkat WhatsApp.[]

 

 


Adhy Nugroho

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP UNS 2016. Surel  : dhynug@gmail.com