Ilustrasi: Falarasika Anida Paulina/ LPM Kentingan

Yeah, You Show Up at the Party

Riviera menimbang ponsel yang berada di tangannya sambil tetap duduk di atas motor matik berwarna merah terang. Masih setengah jam lagi dari waktu yang dijanjikan untuk acara reuni teman-teman SMA-nya. Bukan tanpa alasan Riviera datang awal, selain karena kunci mobilnya ditahan. Sore ini cuaca mendung pekat yang kalau dia berangkat terlambat bisa didului hujan jadwalnya.

Berharap dia segera datang menampakkan diri di hadapan Riviera meskipun gadis itu tahu tidak akan ada sapaan yang terlontar dari mulut pria itu. Setidaknya, Riviera tahu dia datang hari ini. Bukan hanya menduga-duga.

Jantungnya berdegub kencang, bahkan sebelum ada orang yang ada di restoran tengah kota itu. Bibirnya menggumamkan lirik lagu bertema restoran, reuni, dan terjebak secara terus-menerus. Bahkan dua hari menjelang reuninya ini, Riviera sama sekali tidak mengganti playlist lagunya. Gadis itu lebih excited untuk mendatangi reuni SMA-nya dibandingkan dengan kumpul perdana satu fakultas tiga hari lalu.

Masih belum ada yang datang, selain mobil mewah hitam yang parkir tepat di seberang motornya. Riviera mengendikkan bahunya sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya. Masih tidak sadar siapa sosok di balik kemudi mobil yang parkir tepat di hadapannya.

Tetesan air hujan perlahan turun diawali gerimis yang belum menarik perhatian Riviera dari ponselnya, tetapi segera gerimis itu berubah menjadi hujan deras yang membuat Riviera menyimpan ponselnya untuk berganti perhatian ke hujan deras sore itu. Padahal tadi saat Riviera berangkat, tangannya masih terbakar panas matahari. Dia jadi cemas kalau sahabat-sahabatnya tidak jadi datang karena hujan.

Pintu kemudi mobil hitam di hadapan motornya terbuka, menampilkan sosok familiar berkemeja dark blue yang membuat Riviera membeku. Ingatkan Riviera jika dia adalah gadis berusia 19 tahun sekarang dan bukan 17 lagi. Namun, kenapa rasanya ketika melihat sosok pria familiar itu, Riviera merasa dia berusia 17? Waktu seolah berhenti baginya, sejak terakhir kali dia bertemu dengan pria itu di jalanan kota yang baru dibangun fly over tanggal 13 Maret tahun lalu.

Berharap ada yang berubah, seperti permusuhan mereka yang Riviera pikir akan berakhir di bulan Mei tahun lalu. Ternyata semuanya sama saja, tatapan berbinar Riviera hanya dibalas dengan langkah lalu si pria sambil bermain ponsel seolah tidak ada yang dia kenal di tempat ini. Berdiri dengan jarak kurang dari satu meter tapi sama sekali tidak ada yang berniat untuk memecah suara hujan yang malah menimbulkan kesan mencekam bagi Riviera. Entah untuk pria itu.

Pria itu ternyata sudah bisa mengemudikan mobil sekarang. Tidak datang dengan motor merah-hitamnya yang Riviera hafal platnya saat SMA. Riviera kira Zacharry akan memakai motor legend itu lagi lalu parkir jarak beberapa motor dengannya. Namun, Zacharry lebih glow up mungkin istilahnya. Seketika Riviera tidak bisa bilang kalau dia tidak kagum.

Sejenak, Riviera melupakan bahwa beberapa menit lalu dia baru saja mengkhawatirkan sahabat-sahabatnya yang tidak jadi datang. Riviera mengerang, pikirannya jadi terdistraksi oleh sosok bernama Zacharry Harrison. Satu, hampir dua tahun tidak bertemu dengan Zacharry tidak membuat Riviera lupa kalau dia menyukai atau bahkan bermusuhan dengan si empunya nama.

Zacharry benar-benar masih menghindarinya. Menghindarinya atas sesuatu yang tidak pernah Riviera ucapkan. Menghindarinya atas permasalahan lama yang berkoar di antara mereka. Pegangan Riviera di selempang sling bagnya mengerat, dia benci kesunyian, tetapi Zacharry juga tidak mau berbincang dengannya barang sepatah katapun.

Jiwanya terjebak di usia 17, itu artinya semua gosip yang terbang saat ini tidak ada artinya. Tren universitas mana yang kebanyakan dimasuki oleh anak- anak kelas Sosial 2 tidak ada pengaruhnya karena Riviera masih ter-flashback masa SMA-nya.

Déja vú? Melihat Zacharry berada di jarak yang warasnya terjangkau kembali melemparnya ke suatu siang di hari Rabu saat SMA. Di kantin pojok lantai satu. Apakah Zacharry sama sepertinya? Terperangkap dalam kisah permusuhan usia 17 ketika dia salah paham dan memilih bermusuhan dengan Riviera? Sama seperti Riviera yang ternyata sampai sekarang masih terjebak dengan perasaan usia 17 tahun-nya.

Suasana remang restoran sama sekali tidak membuatnya membaik. Justru makin membuatnya larut dalam lagu yang bertema sama dan suasana yang sama dengan acara reuninya hari ini. Riviera hanya berharap reuni kali ini berjalan lancar dan dia tidak terdistraksi dengan keberadaan Zacharry di sekitarnya.

***

Ruangan persegi panjang itu mulai ramai dengan anak kelas saat mereka SMA. Di antara sekian banyak yang bertegur sapa, Riviera hanya menanggapi seadanya dengan senyuman, pelukan, dan jabat tangan. Dia memilih menulikan pendengarannya dari pergosipan anak perempuan dan membutakan pandangannya dari pergelutan anak laki-laki. Riviera ingin hari ini adalah untuk pikirannya, lagu favoritnya, dan Zacharry.

Sampai Riviera tidak tahu juga jika Zacharry benar-benar mengambil tempat duduk di hadapannya disertai pekikan dari seluruh member kelas karena, siapa sih yang tidak tahu kalau reputasi permusuhan mereka sejak dulu sudah berhawa panas? sekarang mereka berhadapan? Kalau Riviera sih mereka yakin gadis itu akan senang duduk berhadapan dengan Zacharry. Tapi Zacharry? Saat kerja kelompok saja dia minta tukar grup, masa sekarang dengan wajah datar tanpa eskpresi dan tatapan tajam ke depan tidak meminta tukar tempat duduk?

“Zach, lo beneran duduk di depan Riviera?” tanya Chicho, ketua kelas yang juga surprise dengan pergerakan Zacharry.

“Sisa di sini,” respons Zacharry acuh. Chicho tidak berani bertanya lebih jauh karena dia berpikir di balik respons Zacharry pasti ada penolakan dan tidak mau duduk berseberangan dengan Riviera.

“Ini kalian baikan apa gimana, deh?” Tavia ikut memanasi suasana, bertanya sambil membawa leher Riviera ke dalam rangkulannya. Riviera bungkam dan hanya mengendikkan bahu karena takut tiap kata yang terlontar tidak sesuai dengan pikiran Zacharry dan membuat cowok itu tidak betah lagi dengan gosip mereka berdua.

Mikrofon panggung utama diketuk oleh pembawa acara reuni ini. Sebenarnya, Riviera tidak suka reuni. Dia bahkan absen reuni SMP kecuali jika hanya satu kelas yang mengadakan reuni. Reuni SD belum pernah dilaksanakan, dan harusnya Riviera menghindari reuni ini. Bukan malah hadir dan membawa lagi semua kenangannya.

Riviera berusaha untuk tidak melakukan kontak mata apalagi kontak fisik dengan Zacharry yang duduk di seberangnya. Namun, gagal karena matanya terus melirik manik obsidian yang bertatap dengan miliknya juga. Seolah, waktu berhenti lagi dan yang Riviera lihat terakhir adalah gelas minuman Angeline yang tumpah lalu pecah akibat ulah Pharrell.

Sontak ruangan mendadak hening. Sejurus kemudian suara meja, kursi, dan barang pecah belah terdengar seperti ada yang berperang. Riviera mengerjapkan matanya dan dirinya melihat member kelas bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan ruangan itu dengan wajah menggerutu.

“Re, ayo. Kita salah ruangan. Harusnya ruangan seberang bukan di sini,” ajak Tavia yang diangguki Angeline. Keduanya menunggu Riviera untuk bergerak begitu pula Richard yang masih berusaha membawa Zacharry ke dunia nyata.

“Duluan aja.”

Tavia dan Angeline berpandangan. Mengendikkan bahu kemudian berlalu begitu saja dari ruangan itu disusul oleh Richard dan Pharrell. Meninggalkan Zacharry dan Riviera yang sekarang duduk berhadapan dengan helaan napas lega dari masing- masing.

Tapi tetap saja, hening. Keduanya merasa bodoh menolak ajakan pindah tempat tapi ujung-ujungnya sama-sama bingung mau memilih topik apa yang dibicarakan. Riviera tidak mungkin membahas soal drama Thailand terbaru yang ditontonnya sementara Zacharry rasa membahas teknik badminton pada Riviera yang hanya suka melihat pertandingannya bukan ide yang bagus.

Jadi, mereka selalu hening.

Salah satu ponsel mereka berdering, sama-sama tersentak sebelum Zacharry menyingkir sebentar karena sedang menerima telepon. Tidak tahu apa yang Zacharry bicarakan dan tidak berniat menguping juga, Riviera memainkan gelas yang ada di hadapannya dengan jari telunjuk.

Bukan bermaksud menguping pembicaraan Zacharry, tetapi mendengar sapaan halus pria itu dan panggilan yang Riviera tahu itu wajar diucapkan sepasang kekasih, hari itu Riviera tahu, dia dan Zacharry hanya kembali dipertemukan sebagai teman sekelas, bukan menyelesaikan permusuhan selama tiga tahun di SMA apalagi membuat romansa yang terlambat. Tidak ada istilah itu.

Riviera memutuskan untuk tidak terkejut mendengar obrolan Zacharry dengan orang di seberang telepon. Memang sudah waktunya untuk berakhir tanpa sempat dimulai. Riviera saja yang terus membeku di masa lalu, memang bukan dirinya tapi bayangannya. Dia tetap seseorang yang lolos ke ujian perguruan tinggi negeri, tetap mahasiswi semester 2 di Fakultas Hukum. Hanya hatinya tertinggal di usia 17 dan sekarang Riviera sadar, bahkan Zacharry pun bergerak. Zacharry termasuk orang-orang yang move on, bukan seperti dirinya yang termasuk orang yang stay.

Harusnya Riviera tidak terkejut jika Zacharry pun akan menyukai orang lain, keadaannya sama. Riviera tidak benar-benar terjebak pada usia 17 tahun, dia hanya terjebak pada kenangan dan orang yang sama. Padahal, jika Riviera sudah keluar dari ruangan reuni, segera saja dia sadar jika Zacharry, 17, dan SMA hanya teringat di waktu-waktu tertentu, bukan di 24/7 nya. Riviera harusnya tahu dari awal dan memberi batasan agar jangan terbawa suasana.

Sebenarnya, yang tepat begini; jangan hanya karena dirinya merasa jantungnya berdebar lagi dirinya langsung mendoktrin gagal move on. Itu adalah hal yang wajar karena bagaimanapun Riviera pernah membuat kenangan masa SMA bersama orang itu –walaupun Riviera sendiri tidak yakin permusuhan juga termasuk kenangan- flashback itu wajar bahkan tidak hanya terbatas pada perasaannya melainkan pada seluruh atmosfer SMA. Benar, Riviera bertahan pada kenangannya bukan perasaannya.

That was just her and her overthinking. That wasn’t came from her heart.

Riviera terdiam di sudut meja restoran yang bahkan salah ruangan itu. Sendirian tanpa sadar Zacharry sudah meninggalkannya tanpa perbincangan. Di saat itulah Riviera tahu bahwa dirinya memang pemeran utama di right where you left me versi dirinya sendiri. Walaupun tidak secara sengaja Zacharry meninggalkannya di ruangan itu untuk membuat plot cerita makin jelas, tetapi justru ketidaksengajaan itu bisa jadi koinsiden antara lagu favoritnya dengan keadaannya.

Dan Riviera akhirnya hanya mendapat porsi gadis yang tidak bisa move on di right where you left me.

 

Penulis: Guireva Gahara

Editor: Rizky Fadilah