Lingkaran besar, lingkaran besar, Ling-karan be-sar, Ayo buat lingkaran sebesar-besarnya!
Bagai sebuah mantra ajaib, penonton refleks merenggangkan jarak, membentuk sebuah ruang lebar di tengah aroma antusiasme yang menguar. Lingkaran yang semakin lama semakin akbar, beradu dengan dentuman musik yang semakin asyik. Kami semua yang sedang mencari kebebasan, lantas tak segan-segan mencurahkan segala jenis ekspresi yang lama tertahan.
Lingkaran terbentuk, manusia saling mematuk, saling memukul, saling menendang, bentuk ungkapan hasrat yang terpantik oleh irama yang sedang dimainkan dengan cantik. Mereka bergejolak, mendorong, mengangkat, dan menyenggol siapa-siapa yang ada di kanan-kirinya. Di dalam pusaran itu, tidak ada aroma kebencian atau kemarahan. Semua terjadi murni sebagai bentuk pengungkapan frasa kebebasan berekspresi yang telah digaungkan sana-sini. Mereka bergelut dalam hentak tarian moshing. Nampak seperti saling memukul, padahal sebenarnya mereka tidak saling memukul. Tak beraturan, tetapi tetap ber-aturan.
Satu, siapa yang tumbang harus bersama-sama diselamatkan.
Dua, yang baperan gak boleh ikutan.
Saya pertama kalinya melihat lingkaran besar yang isinya seperti ajang pembalasan dendam (impresi pertama kala itu) di sebuah konser musik cadas 2022 lalu. Jujur, saya yang memang masih newbie, menganggap itu adalah bentuk kerusuhan atau tawuran.
Pertanyaan kala itu, tawuran kan selalu ada target yang ingin dipukul atau ditendang, tapi anehnya disitu mengapa mereka seperti orang kesetanan? Maksudnya mereka bergerak-gerak tanpa arah, tanpa tujuan?
Barulah disitu saya tahu bahwa itu adalah bentuk ungkapan emosi tak bertuan, sekaligus ajang dimana adagium pribadi ditampilkan yang mana sah-sah saja di dalam sebuah konser musik hardcore, metal, dan semacamnya.
Tapi, apakah esensi sebenarnya dari budaya moshing ini? Bukankah berbahaya pula apabila dapat menimbulkan kericuhan hingga adanya korban?
Seperti yang kita ketahui, musik bukanlah hanya sekadar susunan nada dan hubungan temporal untuk menghasilkan kesinambungan komposisi, ia jauh lebih dalam dari itu. Musik adalah kattabelletje, medium emosi yang maknawi antara musikus dan penikmatnya. Di dalam suatu gigs dan konser, seorang penikmat musik pastinya tidak hanya diam saja ketika hal yang ia gemari didendangkan, minimal, joget tipis-tipis atau bernyanyi bersama, lah. Nah, moshing ini adalah salah satu bentuk apresiasi dan barometer kesuksesan musikus atas emosi yang dihantarkan kepada penonton melalui nada-nada yang ia bawakan. Adapun tak seluruh penonton konser mesti melakukannya. Apabila berkenan, silahkan, apabila dirasa riskan, tidak usah dipaksakan. Saya rasa, barikade lingkaran–atau moshpit yang diciptakan secara sukarela oleh para penonton–cukup untuk memberi tabir dan menjaga kekondusifan selama musik masih dimainkan.
Kendati moshpit yang rapat telah dicanangkan, terkadang tak menutup kemungkinan atas terjadinya hal yang tak diharapkan, contohnya kericuhan. Bukan sekali dua kali kericuhan yang ditimbulkan akibat moshing. Apalagi sampai jatuh korban, entah luka-luka di badan, pingsan, atau sampai harus rawat jalan. Ambillah contoh kasus fenomenal ketika seorang remaja terbunuh akibat lonjakan penonton yang tak terkendali pada saat konser “The Smashing Pumpkins” pada tahun 1995.
Contoh lainnya, beberapa waktu lalu saya menonton konser di suatu event pakaian di Surakarta. Seperti biasa di dalam konser-konser musik cadas, para penonton asyik membentuk lingkaran, berputar-putar sambil menggerakkan anggota badan tak beraturan. Tiba-tiba, salah seorang penonton tertendang cukup keras oleh penonton lainnya, tepat di bagian dada. Penonton yang tertendang itu lantas roboh, sesak nafas dengan sekujur tubuh yang mengejang. Pergolakan itu berhenti sejenak, penonton lain membantu dengan sigap, memberikan CPR lalu membawanya jauh dari kerumunan.
Dalam hati, saya terkejut dan mempertanyakan siapa pelaku diantara semua orang yang berpartisipasi di dalam lingkaran tersebut. Namun, di lain sisi saya sangat salut dengan ketangkasan penonton lain yang auto menyelamatkan seorang yang ambruk tadi. Tentu saja, selain contoh yang saya berikan, masih banyak kericuhan yang ditimbulkan dari moshing, baik ketidaksengajaan maupun disengaja karena dipicu oleh amarah karena tak terima.
Menurut saya, moshing bukanlah suatu kericuhan. Ia hanyalah suatu budaya yang apabila tak dilakukan dengan benar akan menjadi suatu bahaya. Dilakukan secara benar artinya, pertama, ditempatkan di tempatnya, yaitu di konser-konser musik cadas dan sebagainya. Tak semua konser bisa dijadikan ajang moshing. Apakah cocok konser musik pop, indie atau jazz diiringi oleh tarian-tarian penjuru arah, atau sesi mendorong dan angkat-mengangkat? Tidak, kan.
Kedua, haruslah sadar ruang dan peluang. Apabila konser dilaksanakan di ruang yang cukup minimalis untuk penonton yang berlapis-lapis, mending acara moshingnya ditunda dulu. Apalagi, jika di dalam konser tersebut terdapat kalangan yang tak bisa diajak senggol-senggolan, contohnya anak kecil (Walaupun agak mustahil karena tidak lumrah anak kecil menikmati pertunjukan musik hardcore). Ya, pokoknya melihat keadaan sekitar, apakah mendukung atau tidak.
Ketiga, jika terdapat seseorang yang terluka, entah terkena sepak dan pukul siapa, hukumnya wajib bagi penonton lain–khususnya untuk partisipan moshing–untuk turut menyelamatkan. Minimal, memberi ruang dan membuka jalan untuk pertolongan medis yang akan datang.
Keempat, dan yang terakhir, yang masih suka baper, dilarang masuk lingkaran! Kericuhan bisa tercipta apabila ada salah satu manusia baperan yang tak terima tersikut atau tertindih. Sebelum memasuki lingkaran moshpit, harusnya sudah tahu mengenai risiko dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, bukan hanya main ikut-ikutan teman, tapi kena sikut sedikit, lah kok ngamok tenan?
Sekali lagi, budaya moshing harusnya adalah manifestasi emosi dan ekspresi yang tak ditujukan pada pihak tertentu–murni apresiasi dan konduksi energi terhadap musik yang dibawakan diatas panggung hiburan. Jadi, mohon kerjasama serta yang merasa masih suka marah-marah tolong menjauh sekarang juga!
Penulis : Hasna Farrosah Diwany
Editor: Diah Puspaningrum