Ditemani hangatnya sinar matahari Kota Jogja pada sore hari itu, saya memenuhi ajakan seorang teman untuk menghadiri pameran di salah satu galeri seni kontemporer yang terletak di Jalan Tirtodipuran. Galeri yang kami tuju adalah Kohesi Initiatives yang berlokasi di Gedung Tirtodipuran Link. Sesampainya di sana, kami langsung memarkirkan motor di halaman gedung A dan menghampiri meja registrasi untuk membayarkan tiket. Tiket tersebut sebelumnya telah direservasi melalui form yang bisa diakses pada Instagram @kohesi.initiatives. Tiket dihargai Rp30.000 rupiah, sudah termasuk akses ke pameran di Gedung A dan B Tirtodipuran Link.
Sebelum mulai menyusuri sudut-sudut galeri, kami diberi arahan oleh panitia yang berjaga di meja registrasi. Dengan ramah ia menjelaskan bahwa pameran di gedung A ini terdiri atas dua pameran tunggal dari dua seniman asal Indonesia, yaitu Heri Dono dan Jompet Kuswidananto. Rute pameran ini dimulai dengan menaiki tangga yang terdekat dari meja registrasi menuju lantai 2 di mana kita akan disuguhkan karya-karya dengan tajuk Worship to Power dari Heri Dono. Setelah selesai menyusuri karya-karya yang terletak di lantai 2, kita akan turun melalui tangga satunya yang berhilir di samping Ooze Beverage Lab, dan memasuki ruangan pameran kedua, yaitu Dream Express: Personalized History of Mysticism karya Jompet Kuswidananto.
Penyelenggaraan pameran Worship to Power sendiri dilatarbelakangi oleh ketertarikan Kohesi Initiatives terhadap tema yang diangkat oleh sang seniman. “Selama 4 dekade berkarir sebagai seorang seniman, banyak gejolak politik yang terjadi di Indonesia. Komentar-komentar yang dibuat Pak Heri Dono melalui karyanya itu sangat menarik bagi galeri sehingga mendorong kami untuk bekerja sama dengan beliau mengadakan pameran tunggalnya,” terang Vattaya Zahra, Public Relation dari Kohesi Initiatives. Dalam penyelenggaraannya, pihak galeri juga bekerja sama dengan LIR selaku kurator pameran dan Chaitanya Sambrani selaku penulis esai pameran.
Gaya yang Terinspirasi dari Tradisi Indonesia
Setelah mendapat arahan, saya langsung berjalan menaiki tangga dengan langkah yang dipercepat karena sudah tidak sabar untuk menyaksikan karya-karya dari Heri Dono. Namun, sebelum kaki saya berpijak pada lantai 2, saya sempat terhenti sejenak di tangga untuk memperhatikan sebuah lukisan akrilik di tembok sebelah kiri saya. Lukisan itu menampilkan lima sosok berseragam, berbadan manusia, tetapi dengan rupa mirip wayang. Mungkin karena warna putih yang diaplikasikan pada wajahnya. Sosok-sosok tersebut duduk dengan formasi setengah melingkar pada sebuah meja makan yang di atasnya terdapat ikan berparas serupa dengan mereka. Setelah naik dan melihat lebih teliti, saya akhirnya tahu bahwa karya ini merupakan lukisan yang dibuat Heri Dono pada 2021 silam dengan judul “Keadilan Kontribusi Pangan”. Menariknya, di salah satu lengan sosok ciptaan Heri Dono ini tertera nama perusahaan umum milik negara, yaitu Bulog. Selain itu, ada juga tulisan Tengkulak, Bansos, dan Dept. Pangan yang melekat pada lengan sosok-sosok di sebelahnya.
Berdasarkan press release yang dikeluarkan oleh Kohesi Initiatives, Heri Dono memang dikenal dengan karya instalasi kontemporernya yang banyak mengambil inspirasi dari wayang. Ia berusaha memasukkan elemen kompleks dalam pertunjukan wayang seperti visual, mantra, suara, storytelling, kritik sosial, humor, dan mitos berisi filosofi kehidupan. Karya kreatifnya mengungkapkan ketertarikan Heri Dono dalam merevitalisasi seni yang berakar pada tradisi Indonesia. Pada karya-karyanya, Heri Dono, juga kerap kali menggunakan performativity dan potensi interaktif yang menjadikannya terlibat dalam dialog komplementer dengan audiens. Hal tersebut dapat saya rasakan sendiri. Terbukti saat menjajaki lukisan maupun instalasi seni dari Heri Dono, saya dan teman saya sering kali terlibat dalam diskusi untuk memaknai pesan di balik detail-detail karya seniman 63 tahun kelahiran Kota Jakarta ini. Pikiran saya juga tidak henti-hentinya menalar karya demi karya yang saya saksikan pada pameran itu.
Wujud Penentangan terhadap Penindasan Militer
Beranjak dari lukisan “Keadilan Kontribusi pangan”, perhatian saya tertuju kepada instalasi seni yang bertempat di salah satu sudut pameran. Instalasi tersebut berupa beberapa senjata tiruan yang dirangkaikan dengan beberapa televisi tabung. Televisi tabung tersebut memutarkan video ilustrasi orang-orang yang sedang diinterogasi. Konsep bangunan yang terbuka menjadikan sebagian dari karya ini tersorot langsung oleh cahaya dari matahari sore. Walau demikian, nyatanya pancaran terang kuning bercampur jingga dari matahari tak mampu menyembunyikan cerita “gelap” di baliknya.
Dari informasi pada deskripsi karya dan e-catalog pameran, saya mengetahui bahwa sebagian besar karya Heri Dono pada pameran ini menarasikan penentangan terhadap penindasan militer. Seperti karya yang dibuat setelah era reformasi ini, tepatnya pada tahun 1999, “Interogasi” dilatarbelakangi maraknya penculikan yang dilakukan militer terhadap para aktivis di masa itu, mereka dibawa untuk diinterogasi. Melalui karya ini, Heri Dono berusaha menyuarakan narasi yang menentang penindasan militer pada masa itu. Atribut dan senjata militer dipilih guna menonjolkan kekerasan yang dapat menggambarkan dominasi kekuasaan militer terhadap warga sipil. Suara-suara (proses interogasi dilanjutkan dengan suara tembakan) yang dihadirkan juga semakin memberi gambaran seperti apa intimidasi oleh militer pada masa itu. Selain “Interogasi”, karya lainnya berjudul “Eksekusi” juga membawakan narasi tentang penindasan militer, tetapi pada rezim orde baru dan dengan bentuk lebih terang-terangan. Konteks waktulah yang menjadi pembeda dari kedua karya ini, di mana “Eksekusi” berlatar tiga tahun sebelum reformasi, yaitu tahun 1995.
Dua Karya yang Tak Pernah Pulang
Tepat di sebelah karya “Interogasi”, terdapat pintu menuju ruangan yang berisikan satu dari dua sajian utama pameran Worship to Power ini. Saya pun memasuki ruangan yang diterangi lampu bercahaya kuning sembari membaca keterangan pada dinding sebelah kiri saya. Ini adalah karya berjudul “Blooming in Arms” yang diciptakan pada tahun 1996. Karya aslinya pernah dipamerkan di Museum of Modern Art Oxford pada tahun 1996. Meski mendapat apresiasi di kancah internasional, karya asli “Blooming in Arms” sendiri tidak pernah pulang ke Indonesia karena mendapat penentangan dari pemerintah Orde Baru karena dinilai terlalu kritis. Ketika menoleh ke kanan, saya dapat melihat karya rekonstruksi dari enam figur humanoid setinggi empat meter yang berbalut kain loreng dilengkapi dengan helm selayaknya tentara Indonesia. Sekilas keenam figur dengan kepala tengkorak dan mata merah menyala ini memang terlihat sama saja. Namun, apabila diperhatikan ada detail yang berbeda seperti jumlah tangan dan kaki yang tidak dibaluti seragam pada beberapa figur. Karya ini merupakan kritik dari Heri Dono terhadap kampanye penghijauan yang digaungkan pemerintah kala itu di tengah merajalelanya perusakan hutan dengan dalih pembangunan ekonomi oleh perusahaan besar di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya.
Karya lain yang menjadi landasan utama narasi dalam pameran tunggal ini adalah karya instalasi mixed media dengan judul “Worship to Power” yang terletak di dekat tangga untuk turun. Karya ini pernah dipamerkan di Biennale Sydney pada tahun 1996. Bernasib sama dengan “Blooming in Arms”, karya asli “Worship to Power” tidak pernah pulang ke Indonesia, dan apa yang sedang saya saksikan saat ini merupakan rekonstruksi yang dibuat langsung oleh sang seniman. Instalasi ini berfokus kepada sebuah proyektor yang menyorot papan kayu berlapis kain putih dan menampilkan gambar-gambar yang berkaitan dengan atribut militer seperti senjata, jangkar, helm, dll. Di sekelilingnya terdapat beberapa instalasi lain yang mengeluarkan suara. Pada e-catalog pameran diterangkan bahwa karya ini merupakan kritik Heri Dono terhadap para pengusaha yang berhubungan erat dan berperan sebagai penguasa.
Secara keseluruhan pameran tunggal dari Heri Dono ini menampilkan 4 karya instalasi, 4 lukisan, dan 1 drawing yang dibuat pada tahun 1995 hingga 2020. Kohesi Initiatives dalam press release mereka juga menerangkan bahwa semua karya yang dimuat dalam pameran ini adalah respons dari Heri Dono terhadap masa-masa kritis demokrasi yang dihadirkan dengan konteks masa kini sebagai upaya aktif untuk melawan lupa. Heri Dono menggunakan medium penciptaan berbagai bentuk karyanya sebagai bentuk komentar sosial, pandangan, dan respons terhadap kejadian di sekitarnya. Rangkaian peristiwa sosial-politik di Indonesia telah membentuk praktik artistik Heri Dono dan hasilnya bisa disaksikan secara langsung di pameran tunggalnya ini.
Pameran tunggal Worship to Power dari Heri Dono ini telah dibuka untuk umum sejak 2 Juli 2023 dan akan berlangsung sampai 15 Oktober 2023. Pengunjung bisa datang pada hari Selasa–Minggu mulai pukul 12.00–19.00 WIB. Dalam press release, pihak galeri melukiskan Worship to Power sebagai pengingat bagi kita untuk menolak lupa, pengingat bagaimana sejarah bisa membentuk kita menjadi lebih baik, dan menghargai dampaknya pada masa depan. “Harapannya pameran ini bisa menjadi platform untuk berdiskusi dan membuka pandangan baru untuk teman-teman yang datang berkunjung terutama tentang kondisi politik Indonesia pada saat itu dan mungkin bisa direfleksikan untuk kondisi sekarang,” tutur Vattaya.
Penulis: Andi Muh. Ahsan Rizal
Editor: Lutfiyatul Khasanah