Sejumlah ratusan ibu, bapak, dan beserta anak muda bergerombol membunyikan kentongan ditangannya masing-masing. Beberapa lainnya sedang mengorasikan tuntutannya di atas mobil hitam di depan pabrik PT Rayon Utama Makmur (RUM). Mereka bergantian memegang pengeras suara, sedangkan di depannya berdiri puluhan polisi.
Bertepatan pada hari Hak Asasi Manusia internasional, warga Nguter, Sukoharjo kembali menyuarakan apa yang seharusnya didapatkan sebagai manusia. Sebagaimana yang tertera dalam pasal 28 H ayat 1, UUD 1945.
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Sudah lebih dari dua tahun warga kabupaten Sukoharjo, terutama warga kecamatan Nguter dipaksa menghirup bau busuk oleh PT. Rayon Utama Makmur (RUM). Warga sudah melewati semua usaha untuk menuntut haknya mendapatkan udara sehat, namun belum ada perhatian dari pihak PT.RUM maupun pemerintah. Berbagai macam laporan sudah diserahkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kabupaten Sukoharjo. Namun tetap saja kata “maaf”, “sabar”, dan “segera kami atasi” adalah tiga kata yang sering mereka dengar. Bahkan warga diminta untuk memaafkan kecerobohan PT. RUM dan sabar menunggu sampai PT. RUM dapat memperbaiki proses pengolahan limbah mereka.
Menghirup udara bersih merupakan hak manusia yang harus dipenuhi. Namun sejak PT. RUM beroperasi pada 2017 lalu, udara tercemar bau busuk dari limbah yang dikeluarkan. Pabrik yang memproduksi serat kain sintetis itu dinilai warga belum bisa mengolah limbahnya hingga mengganggu warga sekitar. Warga harus menghirup bau busuk setiap kali beraktivitas, bahkan juga tidur malamnya seringkali terganggu oleh baunya.
Aksi Tiga Hari Melawan PT. RUM
Tak kunjung mendapat respon dari kedua pihak (PT. RUM dan pemerintah), ratusan warga Sukoharjo kembali melakukan aksi pada 10-13 Desember 2019 dari pukul 13.00 WIB sampai sekitar 17.00 WIB. Aksi ini bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional pada tanggal 10 Desember. Forum Warga Terdampak PT. RUM menyatakan sikap mereka untuk terus meminta PT. RUM menghentikan produksinya. Hari pertama pihak PT. RUM maupun kepolisian Sukoharjo tidak menunjukkan akan memenuhi tuntutan warga. Hal ini adalah kembalinya mereka setelah aksi terakhir yaitu aksi bermalam di depan rumah dinas Bupati Sukoharjo saat PT. RUM mengeluarkan bau pada 26 Oktober 2019 lalu.
Siang itu warga tidak datang dengan tangan kosong, mereka membawa kentongan, spanduk, dan poster. Terlihat juga beberapa warga menggunakan masker untuk menghalangi bau limbah yang tercium. Beberapa spanduk tertulis ‘Setan PT. RUM Menghantui Warga’, ‘Koe Lereno Kene Damai’ dan ‘PT. RUM Kakean Dusta’. Kemudian ‘Bupati Wardoyo Kami Kecewa’ serta ‘Tutup PT. RUM!’. Sedangkan di seberang warga, yang dibatasi oleh garis polisi, berdiri tim pengamanan dari kepolisian dan tentara.
“Kentongan itu sebagai tanda bahwa bau busuk itu masih ada. Setiap bau busuk tercium, kami akan membunyikan kentongan, seperti sekarang,” kata Herman, anggota Forum Warga Terdampak PT. RUM (RATA PT. RUM)
Bau busuk dari PT. RUM tidak hanya tercium di daerah Sukoharjo, tetapi juga beberapa daerah di sekitarnya. Bahkan, bau busuk merebak hingga wilayah Polokarto yang jaraknya puluhan kilometer. Tidak hanya masalah bau yang dipermasalah oleh warga, tetapi juga pencemaran limbah cair yang selama ini dialirkan di sepanjang sungai Bengawan Solo. Salah satu warga juga mengatakan bahwa limbah PT. RUM tidak hanya menimbulkan bau, tetapi juga menyebabkan penyakit.
“Biasanya kalau udah di rumah baunya itu tidak bisa keluar. Kalau malam, sekitar jam 1 itu saya harus membuka rumah agar baunya bisa keluar. Kalau tidak begitu, saya enggak bisa tidur, Mbak,” ujar Tomo selaku warga terdampak limbah PT. RUM.
Dua Tahun Tak Kunjung Usai
Selama dua tahun ini, Forum Warga Terdampak telah menempuh berbagai cara untuk menyelesaikan masalah ini, antara lain mengajukan laporan ke lurah, camat, bupati, Kepolisian Daerah dinas lingkungan hidup, Komnas HAM, KPAI, sampai Komnas Perempuan. Namun respon yang diberikan kurang tegas. Dinas lingkungan hidup Sukoharjo sendiri belum mampu untuk memeriksa limbah karena kekurangan alat maupun teknologi.
“Sudah ada rekomendasi dari komnas HAM agar pihak pemerintah Sukoharjo untuk bertindak tegas. Sekarang kami pun masih menunggu,” ujar Tomo.
Menurut salah satu peserta aksi, Hirman Ganjar, pemerintah kabupaten dalam hal ini Bupati Sukoharjo tidak serius menangani persoalan PT. RUM. Limbah hanya dianggap percemaran air saja, padahal bau PT. RUM sudah meneror warga sejak dua tahun silam. Pihaknya juga menuntut agar Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Bupati Sukoharjo pada Februari 2018 dipenuhi. Yakni peningkatan sanksi PT. RUM jika masalah bau tidak teratasi.
Sedangkan dari Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, telah mengatakan warga harus menunggu satu tahun guna perbaikan sistem. Namun sampai dua tahun ini belum ada penyelesaian sama sekali. PT. RUM juga pernah berjanji memasang alat H2SO4 recovery untuk mengatasi pencemaran limbah, namun sampai dua tahun ini belum juga terpasang.
Tuntutan Warga Terdampak
Setidaknya terdapat tiga tuntutan warga terdampak, yakni:
- Hentikan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT. RUM
- Bupati Sukoharjo segera mencabut izin lingkungan PT. RUM
- Hentikan intimidasi oleh aparat TNI-Polri dan Satpol PP Sukoharjo terhadap mahasiswa dan warga luar Kecamatan Nguter yang mendukung perjuangan warga terdampak RUM.
Terkait tanggapan Bupati Kabupaten Sukoharjo, Wardoyo Wijaya di beberapa media massa. Dimana tak mau menutup PT. RUM dengan alasan “pekerja di PT. RUM juga warga, berhak untuk mendapatkan pekerjaan”. Mereka juga berdalih penutupan PT. RUM takutnya akan berdampak pada investasi dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Bagaimana mungkin pemerintah benar-benar peduli terhadap warganya, di satu sisi, memikirkan nasib pekerja RUM, tapi di sisi lainnya, justru membiarkan kami warga terdampak PT. RUM setiap hari menghirup bau busuk?” Dikutip dari pernyataan sikap Forum Warga Terdampak PT. RUM (RATA PT. RUM).
Reporter dan penulis: Hesty Safitri dan Lutfia Nurus Afifah