Sabtu (19/03), Laboratorium Seni Teater Delik kembali menggelar pementasan yang dilaksanakan dalam dua malam. Teater yang dikemas dalam tiga pementasan ditiap malamnya ini memberikan kesan tersendiri bagi penonton. Di hari kedua pementasan teater disajikan satu naskah drama, seni tari, dan naskah cerpen yang ramai dihadiri penonton dari berbagai kalangan. Satu naskah drama diadobsi dari karya Iwan Simatupang yang berjudul “Rt Nol Rw Nol”, karya cerpen Seno Gumira Ajidarma “Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi”, dan “Tari Warak Dugder”. Disisi lain, pementasan ini memberikan warna manakala wajah-wajah baru menghiasi panggung yang didominasi angkatan Delik’21.
Teater pada dasarnya merupakan sarana hiburan, tetapi ada hal yang lebih esensial dari seni pementasan teaterikal ini. Teater adalah sandirawa yang diperankan di atas panggung dan membawa sandiwara itu begitu dekat dengan realitas kehudupan masyarakat. Naskah Drama “Rt Nol Rw Nol” dipentaskan oleh lima aktor memperlihatkan kehidupan dalam kolong jembatan yang begitu terpinggir dan tertinggalkan. Kehidupan yang tidak bisa dianggap sebagai hidup, bukan karena tak ada pilihan, tetapi kehidupan itu yang harus mereka terima. Tak cukup sampai disitu, naskah ini juga mengisahkan tentang para penghuni kolong jembatan yang mulai jenuh dan kebosanan terhadap kenyataan yang meraka hadapi. Hidup sebagai wong cilik memang bukan kehidupan yang diinginkan mereka. Di benak mereka juga ingin merasakan makanan enak, makanan yang direbus dengan doa. Meskipun harus menyewakan martabatnya pada para lelaki yang mencari pemuas nafsunya.
Lain halnya dengan cerpen yang ditulis oleh SGA, cerpen ini dipentaskan oleh delapan aktor sebagai penutup pementasan oleh Teater Delik. Bersandar pada kenyataan sosial dikehidupan sehari-hari dengan menyanyi di kamar mandi memang bukan hal nisbi lagi. Sesuatu yang mengasyikan, tetapi malah dapat menggabarkan kenyataan sosial yang membuat kegadungan. Ketika seseorang perempuan cantik bersuara serak basah datang ke perkampungan yang semula tenang, para ibu merasa kehidupan di atas rajanganya terancam. Sejak para suami mengintip gadis itu mandi dan berimajinasi dengannya, para ibu menyalahkan gadis yang tak besalah itu karena mengotori imajinasi suaminya. Sampai gadis itu harus enyah dari kampung. Akan tetapi, para penonton terguncang ketika situasinya tetep sama, para suami dari ibu-ibu itu tetap berfantasi terhadap gandis yang sudah diusirnya. Panggung drama tetaplah drama, setiap tulisan memberikan pesan, dan setiap pementasan memberikan kesan.
Penulis: Wisnu Aji
Editor: Rizky Fadilah