Foto: Rozaq Nur Hidayat/ LPM Kentingan

Video Game Sebagai Produk Seni, Pantaskah?

Di banyak perbincangan mendalam pada abad 21 ini, tak dapat dipungkiri bahwa kita sering melibatkan produk budaya populer sebagai salah satu bahan pembicaraan di dalamnya. Misalnya pembahasan film atau musik tertentu kerap kali dikaitkan dengan isu-isu atau ide filosofis tertentu, yang entah memang sang pembuat sejak awal menyelipkan nilai itu atau si penikmat membuat kesimpulan sendiri berdasarkan interpretasi pribadi. Bahkan banyak media tulis yang mendedikasikan waktunya untuk pembahasan serius dalam lingkup budaya populer; sebut saja CinemaPoetica ataupun (almarhum) RumahFilm.

Namun, bila berbicara soal diskusi produk-produk populer itu, rasanya keterlibatan video game alias gim di dalamnya tidak begitu terdengar gaungnya.

Padahal secara popularitas, ia tak kalah pamor; secara pendapatan, industri video game nyatanya lebih sukses dibanding musik dan film; dan bila berbicara substansi yang disampaikan, sebenarnya telah banyak judul gim yang membawa tema-tema menarik, sebut saja Nier Automata dengan ide nihilisme atau Death Stranding yang membawa ide soal homo ludens dan extinction entity.

Penulis filsafat kondang, Martin Suryajaya pernah mempertanyakan hal yang sama, dalam tulisannya berjudul Marxisme dan Video Game. Beliau pun juga ikut menjelaskan argumennya sendiri mengenai kelayakan gim yang sudah seharusnya dilibatkan dalam diskusi khusus, bahkan dijadikan penyebaran pesan untuk ide-ide macam kritik ideologi.

Memang bukan berarti perbincangan soal video game itu sama sekali tidak ada, nyatanya media-media gim seperti IGN, Gamespot, hingga The Lazy Monday pun masih eksis. Namun, sekali lagi, bila berbicara diskusi yang coba membahas ide-ide filosofis, estetika, dan lain-lain pun jarang dibahas di media tadi. Paling kita hanya bakal berbicara soal peningkatan grafis atau hal-hal seputar aturan permainan.

Atas fenomena ini, saya memiliki anggapan kasar bahwa berbeda dengan produk budaya populer lain, barangkali “Video game tidak dianggap sebagai seni” oleh kebanyakan orang sehingga hanya layak dimasukkan dalam perbincangan bertema inovasi teknologi.

Akan tetapi apakah benar demikian? Bukankah, lagi-lagi, nyatanya sudah banyak judul gim yang membawa nilai-nilai seni baik secara visual maupun penceritaan?

Ada dua pendapat berbeda.

Dua Pendapat Berbeda

Pertama, kita ambil dulu dari pendapat mengenai “Video game adalah seni”. Saya rasa anggapan ini banyak berkembang di kalangan pemain gim sendiri. Coba lihat saja ketika George R. R. Martin, penulis novel Game of Thrones, memberi pernyataan bahwa gim bukanlah seni, sekonyong-konyong banyak orang coba membantah di kolom komentar video bersangkutan dengan alasan masing-masing.

Selain para anonim di Youtube, beberapa tokoh pun coba memvalidasi bahwa gim memang merupakan sebuah seni. Misal ada Martin Suryajaya pernah menjelaskan bahwa menurutnya gim merupakan gesamtkunstwerk yang sederhananya dapat diartikan sebagai sebuah bentuk seni lengkap. Hal ini didasarkan pada keterlibatan berbagai macam bentuk seni dalam gim itu sendiri, dari visual, sinematografi, bahkan hingga gameplay yang dikategorikannya sebagai bentuk seni. British Academy of Film and Television Arts (BAFTA) sebagai organisasi yang memiliki perhatian terhadap seni visual bergerak pun agaknya juga memiliki pemikiran yang sejalan dengan Martin Suryajaya. Dibuktikan dengan adanya BAFTA Game Awards yang dilaksanakan tiap tahunnya untuk merayakan eksistensi gim sebagai seni visual bergerak.

Pendapat kedua adalah yang menyatakan bahwa, “Gim bukanlah seni”. Uniknya, salah satu orang yang berada di kubu ini merupakan sosok yang lahir dari industri gim itu sendiri, Hideo Kojima. Agak mengejutkan memang, ketika Kojima yang dipuji sebagai video game auteur dan tampak sebagai orang yang paling berusaha terlihat nyeni di dunia gim ternyata beranggapan demikian. Menurutnya, karya seni harus mampu berdiri sendiri dan memancarkan hal yang hendak dibicarakan oleh sang seniman, sedangkan gim lebih mirip sebagai layanan layaknya sebuah mobil. Bahkan, dalam pernyataan lebih lengkapnya pria asal Jepang itu secara tidak langsung bersilang pendapat dengan Martin Suryajaya dalam pengklasifikasian unsur gameplay sebagai seni. Bagi Kojima, gameplay adalah bentuk interaktivitas, sedangkan Suryajaya berpendapat lebih dari sekedar itu.

Rangkuman, Pertanyaan, dan Beberapa Jawaban

 Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, tentu masih banyak lagi pihak dengan pendapatnya masing-masing, tetapi isi pendapatnya sedikit banyak sudah diwakilkan di atas. Barangkali kini pertanyaanya adalah pendapat mana yang lebih benar?

Mari kita rangkum, pada pendapat pertama, argumen-argumen yang dipakai kebanyakan berupa keterlibatan unsur-unsur identik seni di dalamnya dengan kualitas yang tidak kalah dibanding produk budaya populer lainnya. Gim-gim seperti Ori and the Will of the Wisps atau Gris berhasil menyajikan visual yang mengagumkan, Celeste dengan komposisi lagu dari Lena Raine mampu memberikan nuansa audio yang berkesan, dan banyak contoh lainnya. Bila hanya berhenti disini, seharusnya penyematan gim sebagai seni lengkap dapat disahkan, mengingat media lain pun mendapat predikat yang sama atas keterlibatan unsur-unsur tersebut.

Hanya saja, eksistensi gameplay di dalamnya kerap dipermasalahkan dan menghalangi penyematan gim sebagai sebuah karya seni. Sebab katanya hal itu dianggap justru melahirkan sebuah wahana permainan dengan rangkaian aturan untuk mencapai kepuasan si pemain, alih-alih sebuah media seni yang bertutur.

Lalu bagaimana dengan gim naratif yang juga melibatkan unsur cerita bersamaan dengan serangkaian gameplaynya? Ebert pernah berusaha menjawab hal ini dengan mengatakan bahwa apabila sebuah gim juga turut bertutur cerita, itu justru menjadikannya sebuah media narasi lain, bukan lagi video game. Tetapi hal ini juga akan menghasilkan pertanyaan berupa, “Bukankah narasi cerita itu sendiri menjadi objektif khusus yang disebutkan Ebert sebagai identitas dari video game?”.

Pendapat Kojima lainnya soal karya seni yang seharusnya menciptakan radiasi dari hasil cipta seniman tanpa harus memuaskan 100 orang yang memainkannya juga bisa dipertanyakan. Bahwa nyatanya ada banyak judul gim yang memberi impresi berbeda kepada pemainnya, bahkan beberapa judul memakai pendekatan eksperimental, ambil contoh Braid atau yang lebih avant garde lagi semacam The Graveyard. Dan hei, bukankah Death Stranding-nya Kojima juga akhirnya menjadi karya AAA yang mungkin rada avant garde, pasca membawa embel-embel genre Strand-Type dan sukses memecah dua kubu orang yang memainkannya.

Nah lho, bingung.

Resolusi Akhir, Menurut Saya

Kemudian kembali ke pertanyaan awal, apakah gim adalah seni? Hemat saya, jawaban yang paling tepat adalah “belum”. Sebab sebenarnya pendapat Kojima maupun Ebert tentang video game masihlah sangat relevan sampai sekarang. Alih-alih difokuskan sebagai karya seni dengan nilai estetika yang terpancar darinya, gim memang lebih sering diperlakukan sebagai mobil dengan dekorasi tertentu yang pada akhirnya dikendarai untuk bersenang-senang.

Namun begitu, seperti semestinya sebuah jawaban “belum”. Bahwa ada potensi bagi gim untuk menuju ke arah kategori seni. Ada banyak judul yang seolah menangguhkan sematan seni kepada video game secara keseluruhan, tetapi masih banyak lainnya yang memang sedari awal berusaha membawa pendekatan seni ke dalamnya dan tentu tidak bisa diabaikan begitu saja.

Bisa saja ke depannya apa yang menimpa fotografi juga menimpa gim di masa depan. Awalnya dianggap sebagai gimmick teknologi, kini diakui sebagai salah satu ranah seni. Namun, tentu diperlukan keterlibatan banyak pihak, terutama pemakai atau penikmat, untuk mendorongnya menuju ke arah sana.

Menyambung dengan beberapa paragraf awal di tulisan ini, barangkali kita perlu untuk mulai menyajikan fim dalam diskusi-diskusi yang lebih serius atau mengangkat nama-nama di belakangnya agar ia bisa beralih dari sekedar bagian kemajuan teknologi semata.

Itu pun kalau kita mau…

Penulis: Atif Kasful Haq

Editor: Sabila Soraya Dewi