Salah satu komponen dasar yang harus dimiliki oleh setiap individu adalah kesehatan. Kesehatan yang dimaksud bukan sekadar fisik, tetapi juga kesehatan jiwa. Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan jiwa adalah kondisi ketika seseorang merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup, menerima orang lain sebagaimana seharusnya, serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri maupun orang lain. Begitu istimewanya sehingga WHO menetapkan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia setiap tanggal 10 Oktober 2021. Penetapan hari tersebut tidak hanya sebatas peringatan, tetapi menjadi salah satu upaya untuk memberikan kampanye dan edukasi kepada masyarakat agar lebih peduli dengan kesehatan jiwa.
Tidak dapat dimungkiri, miliaran orang di seluruh dunia telah terpengaruh oleh pandemi Covid-19 yang berdampak lebih jauh pada kesehatan jiwa masyarakat. Masa pandemi ini memberikan banyak tantangan bagi para tenaga medis, pekerja yang terancan mata pencahariannya, siswa yang perlu beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh, seseorang yang kehilangan anggota keluarga, dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini memberikan kerentanan terhadap gangguan depresi dan kecemasan. Terlebih dipicu dengan adanya pembatasan sosial dan ketidakpastian masa depan.
Dalam sebuah studi Columbia University’s Mailman School of Public Health, angka prevalensi depresi global meningkat sebanyak 24 persen selama pandemi, sedangkan kecemasan meningkat sebanyak 21 persen. Sementara di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat jumlah penyandang gangguan kesehatan jiwa pada 2019 sebanyak 197 ribu orang, sedangkan saat ini sudah mencapai 277 ribu orang. Dengan jumlah sebanyak itu, kesehatan jiwa sepatutnya tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi pandemi, tetapi juga epidemi yang terjadi bersamaan.
Menurut WHO, kesehatan jiwa adalah salah satu kasus yang sering terabaikan. Tercatat hampir 1 miliar orang di dunia memiliki gangguan kesehatan jiwa. Tidak hanya itu, satu orang meninggal karena bunuh diri setiap 40 detik. Namun, hanya sedikit orang di dunia yang mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang baik. Bahkan di Indonesia, kesehatan jiwa menjadi stigma buruk baik bagi penderita maupun keluarga karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman.
Kendala lain yang menyebabkan minimnya penanganan terhadap kesehatan jiwa adalah terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Data Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia pada tahun 2019 mencatat tenaga kesehatan jiwa di seluruh Indonesia hanya 1.143 psikolog klinis dan 600-800 psikiater. Penderita gangguan kesehatan jiwa membutuhkan penanganan yang tepat, baik oleh tenaga kesehatan maupun orang-orang di sekitarnya. Jika tidak, justru akan memperburuk keadaan bagi penderitanya.
Jumlah kasus gangguan kesehatan jiwa yang meningkat selama pandemi Covid-19 hendaknya memberikan gertakan kepada setiap individu untuk lebih peduli terhadap isu kesehatan jiwa. Hal itu dikarenakan kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik yang sudah menjadi hal esensial dalam kehidupan. Maka dari itu, penting bagi setiap orang untuk memberikan edukasi kepada diri sendiri maupun orang lain untuk menghapus paradigma buruk mengenai kesehatan jiwa.
Penulis: Rudiyaningsih
Editor: M Wildan Fathurrohman