Sejenak tertegun melihat kilatan cerah masa depan negeri ini—pembaca pasti tau—lihatlah! Binar pada wajah pemimpin kita yang akan dilantik Oktober nanti. Wajah-wajah muda nan segar seolah memberikan harapan. Sudah saatnya mengubah sistem dari dalam.
Seseorang menyerobot barisan saat saya sedang antre soto kwali depan SPBU Pedaringan. Tidak heran, hanya saja ingin uring-uringan. Masyarakat kita punya banyak cara untuk memenuhi hasratnya, padahal sama-sama keroncongan perutnya. Bahkan, penyerobotan hak ulayat tidak sampai membuat hati pemerintah bernyat. Menghela napas pun terasa berat. Kita harus melatih diri untuk hidup dengan sedikit oksigen—karena orang kita sangat toleran. Membiarkan saya antre, membiarkan kalian menghirup metana, kecuali bertanya, “Mengapa?”. Serobot menyerobot? Itu kreatifitas dari jaman jebot!
Kuah panas soto kwali membuat kaca mata berembun. Pandangan saya kabur, tidak jelas. Setidaknya masih bisa menghirup harum berbagai rempah yang digodok bersama. Klunting … notifikasi gawai mengabarkan penerimaan bantuan biaya hidup. Klunting—sekali lagi—“Mohon kamu menemui Pak *** dan segera melakukan pembayaran UKT.” Baru saja bisa bernapas lega––setelah tragedi antrean—kini harus menghela napas lagi. Pendidikan adalah investasi terbaik, katanya. Sial. Pendidikan terasa mahal di tengah kegelapan finansial. Untungnya masih bisa bernapas.
Sambil melihat kepulan asap di mangkok soto waktu itu, saya mulai berandai-andai. Andai saja burung hantu yang memeluk gedung seram itu tidak dibangun. Andai saja kamerad bodoh tidak bermain kasino daring. Andai saja bukan jarak Jakarta-Bandung yang didekatkan. Niat hati diatur Jonan, tidak sanggup dengan Lahadalia. Pemimpin berwarna merah berdampingan dengan orang yang nilainya rendah. Fakta ini membuat saya bergidik. Memang masih bisa bernapas, tetapi … apa pembaca yakin bisa hidup?
“Suatu hari nanti mereka akan mulai mengenakan biaya kepada orang-orang untuk udara yang mereka hirup.”
Kutipan tersebut berasal dari artikel berjudul “When Breathing is Political” yang seolah menjadi peringatan untuk kita semua. Tiap tarikan napas kita, hembusan, dan helaan, dibarengi dengan pertanyaan, “Sampai kapan negeriku?”. Gejolak dunia pendidikan dengan kurikulum dan seabrek kebijakan yang menorehkan banyak kecaman. Belum lagi wacana kenaikan pajak dan sulitnya lapangan pekerjaan, membuat kita terus-menerus bertanya, “Sampai kapan negeriku?”. Beberapa dari kita terjebak dalam kemacetan kota dengan gaji yang tak seberapa, beberapa lagi harus hidup di samping galian batu bara, sebagian lagi duduk bersedekap dengan mata terpejam di dalam Senayan yang kedap udara. Lagi, “Sampai kapan negeriku?”
Secara teknik, bernapas memang kegiatan sederhana. Prosesnya terjadi secara otomatis oleh kehendak Yang Maha Kuasa. Namun, mengatur napas di tengah hiruk-pikuk dan situasi paceklik ini terasa mencekik. Ketika kita sibuk untuk hidup, penguasa negeri ini tidak mau redup. Mereka berlari mengeruk laba dan mempermainkan segalanya. Kali ini Sun Tzu benar, “Strategi bertahan terbaik adalah menyerang.” Haruskah kita mengulang era Reformasi 1998? Ah, demokrasi terlalu fancy. Harusnya kita mengadopsi Revolusi Bolshevik saja.
Kepulan asap yang semula berada di mangkok soto sepertinya sudah berpindah di atas kepalaku. Pengunjung silih berganti juga ingin mencicipi kuah hangat soto kwali. Sebagai orang yang toleran, saya harus mempersilakan mereka menggantikan saya duduk di meja paling depan. Hanya ini yang bisa saya sampaikan:
“Di mana pun kalian berada, sesulit apa pun keadaan, negeri ini butuh perubahan dan kalian adalah harapan. Terima kasih telah bertahan dan teruslah bernapas dengan konstan!”
Penulis: Rossa Putri Juliana
Editor : Aldini Pratiwi