LPM Kentingan/Ayra Adlina Mahanani Zahra

Uangku Habis Buat Bayar Parkir di Mana-Mana dengan Service yang Tak Seberapa

Dua ribu rupiah mungkin terdengar kecil bagi sebagian orang. Namun, bagaimana rasanya jika kita harus mengeluarkan nominal itu tiap kali mengunjungi warung makan, toko alat tulis, atau bahkan ATM? Apalagi bagi anak kos, setiap rupiah yang dikeluarkan terasa sangat berharga, dan biaya parkir yang terus menumpuk itu bisa jadi sangat menjengkelkan karena setiap jengkal tempat yang dilalui, mayoritas meminta imbalan berupa uang parkir. Lebih parah lagi, tukang parkir sering kali muncul hanya untuk meminta uang tanpa memberikan bantuan berarti. Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua tukang parkir bersikap demikian; banyak pula di antara mereka yang benar-benar menjalankan tugasnya dengan dedikasi tinggi.

Dari Tempat Fancy hingga Kaki Lima

Mungkin kita bisa memaklumi jika harus membayar parkir di tempat-tempat yang cukup fancy seperti coffee shop atau restoran mewah. Biasanya keberadaan tukang parkir ini juga berasal dari warga sekitar yang menjadi semacam CSR (Corporate Social Responsibility) dari tempat tersebut. Ditambah lagi, tempat-tempat ini umumnya menyediakan lahan parkir yang cukup luas, sehingga keamanan kendaraan pun terjamin.

Namun, tak hanya coffee shop, kamu akan menjumpai tukang parkir di tempat makan dengan harga terjangkau sekelas warmindo, burjo, atau warung kaki lima sekali pun. Lantas bagaimana perasaanmu? Pasti tidak habis pikir. Lha wong kita membeli di tempat yang murah untuk berhemat malah harus mengeluarkan uang ekstra lagi untuk bayar parkir. Padahal uang tersebut bisa digunakan untuk membeli dua sampai tiga gorengan. Keberadaan mereka di tempat itu pada hakikatnya bertujuan untuk membantu mengatur penataan dan menjaga keamanan kendaraan. Akan tetapi, sering kali kita justru harus mengurus semuanya sendiri, dari mencari tempat parkir tanpa diarahkan, mengeluarkan kendaraan, hingga menyeberang jalan. Belum lagi jika mereka meminta bayaran di muka tanpa pelayanan yang layak.

Mereka Untung, Kita Makin Buntung

Ketika mengecek dompet, kok, uang rasanya cepat habis padahal sudah berhemat? Setelah diingat-ingat lagi ternyata banyak terkuras untuk bayar biaya parkir. Uang yang awalnya adalah pecahan dengan nominal besar perlahan berubah menjadi pecahan dua ribuan atau recehan, lalu hilang begitu saja. Jika diperhatikan, profesi tukang parkir memang tampak sangat menguntungkan; mereka hanya perlu menunggu pelanggan datang, mengarahkan, dan mendapatkan uang. Itu baru satu kendaraan—bayangkan berapa banyak kendaraan yang datang setiap harinya dan seberapa besar penghasilannya. Sementara kita, mahasiswa, yang mungkin mendatangi beberapa warung makan dalam sehari, rata-rata bisa mengeluarkan hingga enam ribu rupiah hanya untuk parkir—padahal itu sangat cukup untuk melawan teriknya matahari di Solo dengan membeli dua es teh jumbo.

Lebih jengkel lagi kalau kita hanya mampir sebentar untuk membeli sesuatu yang harganya tak sampai sepuluh ribu, tetapi tetap harus bayar parkir dua ribu. Sering kali kita menyiasatinya dengan mengajak teman. Teman kita tak perlu turun dari kendaraan dan menunggu kita selesai membeli sesuatu. Setelah selesai berbelanja, langsung pergi dan tukang parkir tidak akan menarik uang. Kalau mau lebih berani lagi, kita bisa langsung pergi tanpa membayar parkir jika memang tukang parkirnya tidak bekerja. Atau, saat perlu, coba berkelakar kalau kita tidak mempunyai uang pecahan kecil, tetapi biasanya mereka tetap memiliki uang kembalian.

Terlepas dari semua itu, seringnya kita tetap menerima fakta bahwa biaya parkir dua ribu ini menjadi suatu “kewajiban”. Urusan ikhlas? Itu soal lain. Mungkin sudah saatnya biaya parkir masuk dalam list pengeluaran bulanan mahasiswa.

 

Penulis: Aji Nugroho 

Editor: Aldini Pratiwi