Ilustrasi oleh: Ari Arini/LPM Kentingan.

Tuhan di Semangkuk Kwetiaw

PUISI-PUISI RIZKA NUR LAILY MUALLIFA

 

 

 

Tuhan di Semangkuk Kwetiau

 

 

Waktu sarapan diburu jam makan siang

di sebuah warung di batas Mangkunegaran

Aku tak menemu sengat

sengit tatapan orang-orang memilih

masyuk dengan menu-menu moyangya

yang kata lidah Jawa: hemat rempah-rempah

 

 

Memang cuma aku yang hadir dengan kerudung dan

Celana panjang seperti dakwaan

busana para muslim

Juga parasku yang nampak timbul di antara

mata sempit dan kulit terang

 

 

Saat aku meniup mata air Tuhan yang penuh

di mangkuk di hadapanku sembari mengejar

laju pandangku

Sendiri aku aneh sebab jadi siksaan perkecualian

di lintas kwetiau

 

 

Adakah itu kekeliruan menafsir lapar?

Dan kuah dalam mangkukku terisi lagi dengan cecap rasa yang lebih nikmat

Begitu Tuhan memberi jawab diseduhan kuah yang kesekian.

(Warung Biru, 2017)

 

 

 

 

 

Setelah Tegak

 

 

Asu bisa merayu ayahnya

untuk menyepakati iman

di kasunyatan masing-masing

 

 

Kendati tegak pancang beliau menghidupi agama

toh bercelah juga

 

 

Di redup celah itu, Asu masuk

menebar benih-benih sepi

yang ia tuai dari ladang pencarian

 

 

Tapi bujuk rayu Asu nihil

bagi asu-asu lain yang dulu dididik bersamanya

di pondok pesantren.

(Sala, 2017)

 

 

Pondok Pesantren

 

 

Kami tak diajari picik menuding lerai

rambut para ibu dan memandang sakit

anak-anak yang memilih bercelana jins dan bukan mengenakan rok

apalagi sarung dengan motif batik Sala Yogya Hadiningrat.

 

 

Sebab sejak awal kami memang tak berkeinginan mendidik para santri jadi

hakim gadungan yang gemar melakukan penghakiman pada yang berlainan dengan dirinya.

Begitu kata Pak Ustaz.

(Sala, 2017)

 

 

 

Biodata Penulis

Rizka Nur Laily Muallifa. Berkebun di @menghijau. Ingin jadi humanis dan pluralis yang berperi ketuhanan dan kemanusiaan.