Aksi bunuh diri oleh mahasiswa kembali terjadi. Kamis (14/12/2023) seorang yang diduga mahasiswa mengakhiri hidupnya di Universitas Brawijaya dengan cara melompat dari lantai 12 Gedung Filkom (Fakultas Ilmu Komputer). Dugaan ini diperkuat dengan temuan barang korban yang berada di lantai 12 gedung tersebut.
Kejadian ini belum genap satu bulan semenjak mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga melakukan tindakan serupa di dalam mobil. Ditemukan dalam keadaan kepala terbungkus plastik, mahasiswa Universitas Airlangga tersebut diduga menggunakan gas berbahaya untuk bunuh diri.
Apabila ditarik lebih jauh ke belakang, terdapat pula kejadian bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa dari Universitas Negeri Semarang. Ia melompat dari lantai 4 Mall Paragon Semarang. Mahasiswa ini sempat mencurahkan isi hatinya di media sosial sebelum melakukan aksi bunuh diri.
Ketiga kejadian di atas hanyalah sebagian kecil dari peristiwa bunuh diri yang terjadi di Indonesia. Mirisnya, kejadian tersebut terjadi dalam waktu yang relatif berdekatan. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), terdapat 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang Januari hingga 18 Oktober 2023. Angka tersebut belum termasuk kasus bunuh diri yang terjadi di rentang waktu November hingga Desember.
Bunuh diri menempati urutan kedua penyebab kematian usia muda yang berkisar antara 15 tahun sampai 29 tahun di Indonesia. Selain itu, berdasarkan data studi ilmiah yang berjudul “Problem dan Ide Bunuh Diri Pada Mahasiswa” yang menguji 105 partisipan di suatu kampus swasta Surakarta, ditemukan bahwa sebanyak 81,9% mahasiswa memiliki ide bunuh diri.
Faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri bermacam-macam. Salah satu dari kemajemukan alasan seseorang untuk mengakhiri hidup adalah masalah sosial. Émile Durkheim dalam bukunya yang berjudul Suicide menjelaskan bahwa bunuh diri terjadi karena faktor tingkatan hubungan kedekatan diri individu terhadap suatu kelompok masyarakat (Durkheim:1897).
Hubungan Sosial dan Bunuh Diri
Manusia adalah makhluk sosial yang berarti mereka hidup bersama manusia lain. Dalam keberjalanannya terdapat interaksi dan hubungan yang terjalin. Dilansir dari laman resmi World Health Organization (WHO), banyak kasus bunuh diri terjadi secara impulsif ketika individu mengalami krisis sosial seperti ketidakmampuan menghadapi masalah kehidupan. WHO kemudian menguraikan masalah kehidupan tersebut menjadi konkret seperti masalah keuangan, putusnya hubungan, dan rasa terisolasi. Selain itu, mereka juga menyebutkan bahwa bunuh diri juga terpantau tinggi di kalangan kelompok rentan seperti pengungsi, migran, dan LGBTQ (WHO:2023).
Dalam buku Suicide sendiri, Émile Durkheim mengklasifikasikan bunuh diri menjadi beberapa kategori. Kategori pertama adalah bunuh diri egoistik yang diakibatkan karena integrasi yang rendah. Kemudian yang kedua adalah bunuh diri fatalistik yang diakibatkan karena peraturan yang tinggi. Ketiga adalah bunuh diri anomik yang dikarenakan peraturan yang rendah. Kemudian yang terakhir atau yang keempat adalah bunuh diri altruistik. Bunuh diri altruistik dilakukan untuk mengorbankan diri atau menyelamatkan orang lain.
Penelitian “Problem dan Ide Bunuh Diri Pada Mahasiswa UMS” pada 2020, menemukan beberapa penyebab orang-orang memiliki ide bunuh diri. Penyebab tersebut diantaranya masalah kesehatan, pertemanan, keluarga, ekonomi, akademik, percintaan, bullying, peristiwa yang menekan dan masalah sosial.
(Mukaromah:2020) Dari 8 penyebab yang dipetakan, terdapat 7 penyebab yang berkaitan dengan hubungan sosial di masyarakat.
Motif bunuh diri di kalangan mahasiswa menunjukkan kesesuaian dengan argumen WHO, teori Émile Durkheim, dan temuan studi ilmiah. Dari 3 kasus yang baru saja terjadi dan dijelaskan di awal, dua diantaranya diakibatkan karena masalah sosial. Kedua korban meninggalkan surat untuk keluarga terdekat yang berisi salam perpisahan kepada mereka. Selain itu, mereka juga menyampaikan permintaan maaf kepada orangtua mereka.
Hal tersebut menggambarkan betapa rapuhnya hubungan sosial. Pada nyatanya, manusia yang hidup secara komunal dalam sebuah sistem bernama masyarakat masih saja tenggelam dalam perasaan kesendirian. Perasaan terisolasi membuat beberapa individu menjadi buntu dan memilih jalan bunuh diri. Terutama terjadi pada mahasiswa. Mereka hidup sebatang kara tanpa adanya kehadiran keluarga secara langsung (terutama perantau). Resiliensi keluarga tidak bisa terbangun sehingga membuat mahasiswa berada pada kondisi yang rentan. Selain itu, ketidakdekatan institusi pendidikan (universitas) dengan isu ini juga menjadi salah satu penyebab kasus bunuh diri selalu terjadi berulang-ulang di lingkungan akademik bagaikan rekaman kaset yang rusak.
Efek Media
Bunuh diri bisa menjadi sebuah perilaku yang menular. Raditya Kenzo dalam artikelnya yang berjudul “Dunia Terlalu Berantakan dan Aku Tak Mau Mati di Hari yang Buruk” menyebutkan bahwa ada efek kontagius tiap media menyebarkan berita mengenai peristiwa bunuh diri.
Peristiwa tersebut bisa kita lihat melalui sudut pandang Donald F. Robert dengan teorinya, Efek Media. Teori ini menyatakan bahwa terdapat perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa (Schramm dan Roberts: 1990).
Pemberitaan yang masif dan cepat mengenai peristiwa bunuh diri acapkali men-trigger orang lain untuk melakukan tindakan serupa.
Dewan pers, lembaga independen yang dibentuk untuk melindungi kemerdekaan dan meningkatkan kualitas pers, telah membuat pedoman atau regulasi sebagai tindak preventif pemberitaan bunuh diri yang liar. Adapun pedoman tersebut berisi 20 poin yang pada intinya berguna untuk mengurangi dan mencegah tindakan bunuh diri.
Lantas apakah upaya yang telah dilakukan Dewan Pers tersebut sudah cukup untuk mempertumpul berita yang memicu bunuh diri? Tentu saja tidak. Pada kenyataanya, masih banyak jurnalis yang memproduksi berita dan informasi bunuh diri secara liar. Kronologi diceritakan, identitas korban diumbar, foto dan video kejadian dilampirkan dalam berita dan masih banyak yang lain. Ketidaketisan itu menimbulkan efek domino ke individu-individu yang sama-sama terjebak dalam ketidakberdayaan upaya bunuh diri.
Hubungan sosial dan efek media hanya secuil dari penyebab frekuensi bunuh diri yang menjadi semakin sering dan semakin rutin. Sejatinya, bunuh diri adalah sebuah peristiwa yang kompleks. Ada banyak faktor dan penyebab yang mempengaruhi bunuh diri dan salah dua nya telah penulis bahas di artikel ini.
Ingatlah untuk selalu memeriksa keadaan teman, saudara, anak, keluarga dan semua orang terkasih baik mereka yang jauh ataupun berada di dekat kita. Sudah cukup tahun 2023 menjadi tahun yang pilu karena kepergian saudara-saudara kita. Keputusasaan dan ketidakberdayaan adalah musuh dan senjata yang kuat untuk melemahkan resiliensi hubungan sosial. Bagaimanapun jalannya, hidup adalah sebaik baiknya jalan. Bunuh diri bukan pledoi atas kehidupan. Meminjam lirik dari salah satu lagu di Album Purpose milik Justin Bieber maka penulis akan tutup tulisan ini dengan live is worth living so live another day.
Penulis: Julia Nita Prabani
Editor: Julia Tri Kusumawati