Tahun 2021, bagiku adalah tahun yang penuh dengan kejutan, dipertemukan dengan berbagai pengalaman hingga orang-orang yang mengejutkan. Ya, mungkin hampir sama dengan tahun lalu ketika seisi dunia masih direpotkan oleh pandemi. Awal tahunku diawali dengan mengukur jalan dari timur hingga ke barat layaknya siluman kera yang mencari kitab suci ke barat. Rasa lelah yang ku rasa telah terbayar lunas dan tuntas saat itu juga. Tak ada bingkisan yang terlalu mewah yang ku bawa setelah perjalanan panjang kala itu selain sejumlah pengalaman di luar nalar yang semakin memberontak di pikiran untuk segera diceritakan dengan sebotol minuman lokal untuk ditenggak bersama kawan-kawan di kampung halaman nantinya.
“Piye nek awakdewe sinau nabuh gamelan, daripada gabut ya to?” Ajakan dari seorang kawan dengan logat khas Jawa Timur sontak membuat kami yang baru saja melepas penat setelah perjalanan jauh merasa kaget sekaligus penasaran, karena kebanyakan dari kami hanya selalu mendengar tabuhan gamelan tanpa ikut memainkannya.
Hari itu pun tiba, malam pertamaku dan para kawan kawan memainkan gamelan yang sudah dinantikan semenjak ajakan pertama itu terlontarkan. Aku memang sengaja datang terlambat karena ada pertemuan formal yang telah terjadwal. Dalam perjalanan kesana teringat pembicaraan temanku beberapa hari yang lalu, “opo sing pertama kali dekne cekel ning alat gamelan, kuwi wis ketok karakter bocahe koyo piye”. Hal itulah yang selalu ku ingat dalam perjalanan menuju tempat latihan.
Aku pun teringat alat pertama yang ku pegang ialah gong, namun kemudian aku disuruh pindah ke demung hingga sekarang oleh mas-mas yang sudah berpengalaman melanglang buana di dunia kesenian. Pertemuan demi pertemuan kami adakan setiap 2 kali seminggu. Perlahan-lahan emosional kami dipermainkan oleh tempo yang berbubah-ubah setiap kali menabuh. Secara tidak langsung jiwa dan hati kami pun terpoles lebih halus.
Setiap selesai latihan, kami selalu melingkar dan memulai obrolan dengan topik ngalor ngidul sekenanya. Sampai timbul candaan seperti ini, “Eh lha yo, wong-wong luar negeri podo wis pinter main gamelan kok ya awakdewe lagi sinau”. Kami pun hanya bisa tertawa lepas diatas ironi, kadang kami juga berpikir mungkin belajar seperti ini tiada yang bisa diharapkan secara material. Belajar sebuah hal yang dikira orang pada umumnya hal yang sangat erat dengan kemistisan dan kekunoan, ya biarlah tak apa kami pun menabuh gamelan juga tak mencari apa-apa dan hanya karena rasa gabut saja.
Semakin kesini, ku rasa pendahulu kami yang menciptakan gamelan ini sedikit bajingan. Efek setelah menabuh gamelan begitu terasa di dalam kehidupan sehari hari. Ya, mungkin semudah emosi lebih stabil dan tenang ketika menghadapi sebuah perkara sampai dengan “peran” di dalam kehidupan yang diberikan oleh Tuhan. Musik macam apa ini, aku belum pernah menemukan hal-hal seperti ini sebelumnya, musik yang bisa menyehatkan mental sekaligus sebagai pendekatan spiritualitas.
Berbagai filosofis atau makna dalam setiap alat gamelan, alunan melodi hingga naik turunnya tempo yang tidak biasa aku pahami selalu mengisi pikiran, hati, dan jiwa setiap minggunya. Lantas aku bertanya kepada golongan yang sering melarang-larang sesuatu hal, lalu bagaimana dengan orang-orang seperti ku yang merasa dekat dengan Tuhan, merasa dan menemukan ketenangan serta menemukan peran dalam kehidupan yang fana di dalam alunan musik berbahan logam ini?. Kerinduan akan bermain alat itu dengan alunan dan notasi angkanya terus merebak di dalam jiwa layaknya seseorang yang sedang kasmaran.
Namun, apakah semua yang aku tulis itu benar? Entahlah, kadang rasa “kemeruh” mendominasi setiap insan manusia ketika dihadapkan sebuah tragedi. Ya sudahlah biarlah itu berjalan, kadang ada pertanyaan yang bisa dijawab sekarang, besok, nanti atau bahkan memang tiada jawabannya.
Penulis: Muhammad Achmad Afifuddin
Editor: Aulia Anjani