LPM Kentingan/Refinda Marzuq

Tolak Pembungkaman Pers oleh RUU Penyiaran, Jurnalis Solo Gelar Aksi di Plasa Manahan

0

Selasa (21/5/2024), LPM, asosiasi jurnalis, dan sejumlah content creator se-Kota Solo menggelar aksi tolak RUU Penyiaran yang bertempat di Plasa Manahan Solo. Aksi ini dipenuhi dengan orasi, puisi, hingga aksi pengumpulan kartu pers sebagai bentuk penolakan terhadap Rancangan Undang-undang Penyiaran (Versi 2024). Adapun hal-hal yang dituntut adalah draf RUU Penyiaran dapat ditunda atau bahkan dibatalkan tanpa syarat.

Aksi penolakan RUU Penyiaran ini dimulai dengan aksi drama teatrikal yang diperankan oleh dua peserta orasi. Salah satu dari mereka tampil dengan tubuh penuh cat putih dan tulisan “PERS” di lengan, punggung, serta bagian dadanya. Lehernya terbelenggu rantai yang ditarik oleh sosok berpakaian jas dan pantofel, menciptakan gambaran yang kuat dan mengesankan.

Perwakilan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ronald Seger Prabowo menyebutkan demonstrasi digelar sebagai bentuk keprihatinan dari jurnalis. Ia juga menyoroti adanya campur tangan KPI dalam menangani sengketa pers. Diketahui masalah ini bersumber dari Pasal 8A Ayat (1) Huruf k dan q dalam draf Revisi UU Penyiaran yang memberikan wewenang KPI untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Padahal, selama ini sengketa jurnalistik ditangani oleh Dewan Pers.

“Saat ini di RUU Penyiaran yang baru (masalah sengketa pers) ditangani oleh KPI dan itu berpotensi dilanjutkan ke ranah hukum, dan ini cukup membahayakan bagi kita,” sebutnya.

Ronald menyayangkan, RUU Penyiaran juga melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi kendati produk jurnalistik investigasi terbukti telah berhasil dalam mengungkap beberapa kasus dan membantu aparat penegak hukum.

“Beberapa tahun lalu ada kasusnya Gayus Tambunan, berawal dari foto teman teman Kompas, akhirnya Gayus Tambunan terungkap sedang berada di Bali, dan akhirnya bisa diproses hukum, itu, kan, membantu pemerintah dan aparat penegak hukum,” imbuhnya.

Hal yang sama juga digarisbawahi oleh Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo, Mariyana Ricky Prihatina Dewi. Ia mencurigai pelarangan jurnalisme investigasi merupakan produk oligarki yang khawatir jika mereka terjerat dalam tindak pidana, maka kasus tersebut dapat dibongkar oleh para jurnalis.

“Kemungkinan ini adalah salah satu ketakutan oligarki atau konglomerasi yang memang takut kalau mereka terjerat suatu kasus atau tindak pidana mereka bisa dibongkar oleh jurnalisme investigasi. Kami curiganya begitu,” sebutnya.

Ia juga mencontohkan keberhasilan jurnalisme investigasi dalam membongkar kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat oleh Ferdy Sambo yang menghilangkan bukti CCTV beberapa waktu lalu.

“Kalau jurnalisme investigasi dilarang penayangannya, siapa yang akan jadi mata dan telinga rakyat?” tambahnya.

Lebih lanjut, Mariyana juga menyampaikan harapannya terhadap RUU Penyiaran, “Harapannya aksi seperti ini tidak hanya dilakukan secara langsung, namun juga melalui media sosial. Demo-demo yang digelar di beberapa daerah itu didengar dan kita berharap bisa jegal sampai gagal.”

Sastrawan sekaligus penyair, Peri Sandi Sanchez mengatakan bahwa aksi tolak RUU ini adalah bentuk kekecewaan media pers terhadap RUU Penyiaran yang dinilai mengerdilkan peran media pers. Ia menambahkan bahwa hal tersebut mengekang pers sebagai ujung tombak suara dan aspirasi rakyat.

“Periksa lagi demokrasi kita, apakah sudah sampai seperti yang kita tuntutkan pada tahun 98,” ucapnya.

Peri menilai, RUU Penyiaran mesti menyajikan berita kepada masyarakat dengan sejujur-jujurnya dan terhindar dari berita bohong dan misinformasi yang semakin menjamur, dengan tanpa mengamputasi kebebasan pers. Menurutnya, masyarakat juga berhak untuk mendapatkan akses terhadap informasi seluas-luasnya.

”Pers ini adalah salah satu bentuk dari reformasi dan demokrasi itu sendiri. Jadi kalau pers dikekang dan dihalangi, yang terjadi adalah suara rakyat tidak dapat didengar,” pungkasnya.

Penulis: Dioziando Wirabuana Pratama & Farid Adi Wijaya

Editor: Aldini Pratiwi