Sabtu (04/05/2024), Tim Pencari “Orang Pintar” (TPOP) dari Universitas Sebelas Maret (UNS) melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) melakukan kunjungan ke salah satu “orang pintar” di Wonogiri sebagai survei awal dalam menyelami pengalaman masyarakat Wonogiri dalam golek pitulungan (baca: mencari bantuan) kepada “orang pintar”. Mencari bantuan kepada “orang pintar” (kerap kali dipanggil kyai atau dukun) sendiri merupakan salah satu perwujudan tradisi dari nilai-nilai kebudayaan Jawa yang masih kental tertanam dan dilakukan oleh sebagian masyarakat Wonogiri. Lebih dari sekedar tradisi, golek pitulungan mencerminkan realita kehidupan masyarakat Wonogiri sebagai solusi atas berbagai persoalan, mulai dari kesehatan, ekonomi, hingga keluarga.
Terpilihnya Wonogiri sebagai lokasi penelitian Tim Pencari “orang pintar” bukan tanpa alasan. Daerah ini memiliki kaitan historis yang erat dengan tradisi “orang pintar” dan Islam Kejawen. Wonogiri dikenal sebagai tempat bertapa bagi dua tokoh penting dalam sejarah Jawa, yaitu Mangkunegara Pertama atau yang kerap dikenal dengan Pangeran Sambernyawa yang bertapa di Sendang Siwani dan menjadikan Wonogiri sebagai basis perlawanannya terhadap VOC. Selain itu, tokoh pendiri wangsa Mataram Islam yaitu Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati juga bertapa di daerah Wonogiri dimana tempat tersebut sekarang dikenal dengan Kahyangan Dlepih. Kedua tokoh penguasa ini diyakini memperkuat eksistensi Islam Kejawen dimana salah satu manifestasi dari keyakinan tersebut yaitu ilmu-ilmu spiritual yang kemudian melandasi praktik “orang pintar” di wilayah tersebut.
Istilah “orang pintar” pastinya sudah sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia karena dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Namun, masih minimnya penelitian mengenai pengalaman individu yang mencari bantuan kepada “orang pintar” serta faktor pendorong perilaku mencari bantuan menjadi salah satu alasan penelitian kualitatif ini dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pengalaman subjek, mulai dari apa yang memotivasi mereka pergi ke “orang pintar” hingga dampak yang dirasakan setelahnya.
“Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena ‘orang pintar’ yang masih melekat di masyarakat Jawa, salah satunya dalam hal pengobatan di saat berkembang pesatnya pelayanan kesehatan saat ini”, ungkap Assyifa, ketua PKM-RSH Tim Pencari ‘Orang Pintar’ (TPOP). . Lebih lanjut, Assyifa juga mengungkapkan bahwa, upaya ini dilakukan untuk meneliti bagaimana masyarakat memandang “orang pintar”, hal apa saja yang mereka cari dari konsultasi tersebut, dan bagaimana hasil pengalaman mereka dalam mencari bantuan kepada “orang pintar”.
“Tema ini penting untuk dikembang lebih lanjut mengingat Indonesia kaya akan budaya yang tidak dimiliki negara lain.” ungkap Ibu Fadjri Kirana Anggarani, S.Psi, M.A selaku dosen pembimbing Tim Pencari “orang pintar” (TPOP). Lebih lanjut Assyifa menjelaskan bahwa penelitian ini tidak bermaksud untuk menghakimi orang yang pergi mencari bantuan kepada “orang pintar” maupun mempropagandakan praktik konsultasi dengan “orang pintar”.
Tim PKM-RSH sendiri terdiri dari 5 personil yang diketuai oleh Assyifa Idnu Rahmah dengan anggota Anisa Rahma Ayu Berlianti dan Annisa Nurul Azizah yang berasal dari Program Studi Psikologi serta Muhammad Ryan Iqbal dan Rasyid Husain Alman Nuha dari Program Studi Ilmu Sejarah di bawah bimbingan Fadjri Kirana Anggarani S.Psi, M.A., selaku Dosen Fakultas Psikologi UNS.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pengetahuan baru dalam memahami teori mencari bantuan serta memberikan gambaran fenomena mencari bantuan kepada “orang pintar” yang dapat digunakan sebagai refleksi masyarakat dan evaluasi asosiasi pelayanan kesehatan di Wonogiri.
“Fokus kami ingin mengeksplorasi pengalaman fenomena budaya Indonesia yang kita semua tahu eksistensinya tapi masih minim penelitiannya, ya seperti ‘orang pintar’ ini,” pungkas Assyifa.
Penulis : Tim Pencari ‘Orang Pintar’ PKM-RSH UNS
Editor : Dhiazwara Yusuf Dirga A