Ternyata Solo Punya Bahasa Slang, Prokem Semanggi

 

Oleh: Hanputro Widyono

 

Setelah mendengar cerita dari teman saya, Dewanta (20), mahasiswa Fakultas Ekonomi UNS, saya mulai mencari tahu mengenai bahasa prokem semanggi. Bahasa Prokem Semanggi merupakan bahasa yang diciptakan sendiri oleh komunitas atau perkumpulan yang hidup di daerah Semanggi. Akan tetapi, masyarakat pemakainya menyebut prokem semanggi sebagai bahasa walikan (dhapikan). Jika dilihat jenisnya bahasa ini tergolong dalam bahasa slang, ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman (KBI pdf, 2008:1365).

 

Sesuai dengan sebutannya, kata kunci aturan main bahasa ini terletak pada kata walikan yang berarti membalik. Lebih jelasnya, bahasa Walikan merupakan bahasa yang menggunakan sistem atau tata cara membalik urutan Aksara Jawa—ha na ca ra ka menjadi nga tha ba ga ma dst. Oleh karena itu, nama walikan pun juga dibalik menjadi Dhapikan—sebagai wujud penerapan bahasa ini—sehingga orang-orang di Semanggi lebih mengenal bahasa ini dengan nama bahasa dhapikan.

 

Menurut Slamet Yusdianto (51), seorang guru bahasa Jawa yang tinggal di Semanggi, bahasa dhapikan ini berkembang pada tahun 1970-an. Akan tetapi, awal terbentuknya jauh sebelum tahun itu. Pada era-nya, bahasa itu digunakan oleh para sesepuh untuk mengelabuhi Belanda yang saat itu sedang melakukan agresi militer. Bahkan menurut cerita, waktu itu ada pribumi yang ditangkap oleh Belanda karena menggunakan bahasa dhapikan ini. Belanda tidak tahu apa maksudnya dan mengira bahwa orang pribumi itu telah melecehkannya.

 

Selain itu, bahasa dhapikan ini juga digunakan untuk bahasa tulis. Dahulu dalam penulisan surat, kurir-kurir surat menuliskan nama orang pun dengan bahasa dhapikan ini. Misalnya saja Waluya menjadi Daputa, Slamet menjadi Jlaket.

 

Pada tahun 1970-an, Semanggi kondang dengan Silir-nya. Waktu itu Silir merupakan sebuah tempat prostitusi sehingga banyak orang maupun komunitas keluar masuk. Entah itu preman, copet, jambret, orang baik-baik, maupun orang jahat. Banyaknya komunitas itu membuat Semanggi sering rusuh sehingga waktu itu Semanggi disebut ‘Kampung Hitam’. Berawal dari hal itulah bahasa Prokem Semanggi atau bahasa walikan (dhapikan) ini berkembang pesat. Bahasa dhapikan ini digunakan oleh para preman untuk menyamarkan ucapan-ucapannya agar tidak diketahui oleh orang lain. Adapun rumusan bahasa dhapikan tersebut adalah:Bahasa ini berasal dari Aksara Jawa yang dibalik penempatannya.

 

hanacaraka

 

 

 

setelah dibalik

 

  • Pembalikan huruf berlaku tiap suku kata

 

Contoh: kreteg                        mreyek

 

  • Huruf mati di belakang kata tidak dibalik.

 

Contoh: mangan                     kahan

 

Contoh kata beserta artinya.tabel han

 

Contoh kalimat           : Modhe ngagep klamu-klamu thengnyi?

 

Artinya          : kowe arep mlaku-mlaku neng ndi? (Kamu mau jalan-jalan ke mana?)

 

Seiring perkembangan zaman, bahasa Dhapikan ini mulai dikenal luas penduduk Semanggi. Tidak hanya para preman yang dapat menggunakan bahasa ini. Orang-orang yang lama menetap di Semanggi pun juga bisa berkomunikasi menggunakan bahasa ini di era tahun 80-an.

 

Sampai saat ini pun bahasa itu masih digunakan meskipun intensitas penggunaannya tidak begitu sering seperti dulu dan digunakan hanya oleh orang-orang tertentu yang memahaminya.

 

Proses regenerasinya bukanlah suatu hal yang disengaja. Misalnya di saat sekelompok orang yang telah lancar menggunakan bahasa Dhapikan ini sedang berkumpul dan berbicara satu sama lain. Namun di satu sisi ada orang yang usianya lebih muda tidak paham dengan yang orang-orang bicarakan. Dengan begitu pemuda ini akan bertanya dan memancing rasa keingintahuannya. Lalu ketika pemuda ini tahu dia akan menyebarkan pada teman-temannya yang seumuran. Jadi, tidak ada keinginan dari pihak yang tua untuk menurunkan bahasa ini pada orang-orang yang lebih muda.[]