Foto: Dhiazwara Yusuf Dirga A/LPM Kentingan

Tentang “Celana” dan Sebuah Katarsis yang Menggelitik

 

Sumber foto : Dokumentasi pribadi

 

Judul Buku : Celana

Penulis : Joko Pinurbo

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit : Cetakan pertama Februari 2018

Tebal : 72 halaman

 

“Puisi bukan ditulis oleh seorang robot, melainkan ditulis oleh pribadi yang kaya akan sejarah hidup. Puisi harus akrab  dengan bahasa yang hidup dan tumbuh di masyarakat bukan yang dibekukan dalam kamus belaka”. Begitulah kiranya yang dituturkan oleh sastrawan masyhur asal kota pelajar, Joko Pinurbo. 

Tak bisa dimungkiri, segala ucapan beliau yang akrab disapa Jokpin ini tak mampu terelakkan. Musabab segala macam bentuk karya yang dikarang Jokpin, menetas dari kerja keras dan jerih payah atas dirinya sendiri. Jokpin telah malang melintang di bidang kesusastraan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Ia telah mengabadikan sebagian besar hidup sebagai seorang penyair ulung. Bisa dibilang, Jokpin adalah seorang makrifat dalam kehidupan sastra. Segala sesuatu dari berbagai pergolakan batin, kegetiran hidup, dan asam garam dunia telah berhasil dilaluinya hingga dapat berada di titik saat ini. 

Dengan segala bentuk pedih perih yang ia lalui semasa hidupnya, Jokpin mengejawantahkan hal tersebut menjadi bahan kontemplasi untuknya berkarya. Semacam katarsis, dengan puisi, Jokpin dapat menyalurkan segala keluh kesah dan penderitaan dalam bentuk tulisan yang jenaka dan menghibur yang dibalut dengan diksi satire yang khas. Jokpin beranggapan gaya bahasa yang ia gunakan dalam meramu kata selayaknya orang Jogja pada umumnya; slengean, tangkas, trengginas. 

Segala buah karangan Jokpin tertuang di dalam setiap buku-bukunya. Kiprah dalam dunia kepenyairan mulai mencuat ke publik setelah ia menerbitkan Antologi Puisi Celana (1999), meski sebelumnya tulisan Jokpin sempat dimuat pada Antologi bersama Tonggak (1987), namun tak banyak mendapat exposure

Jokpin menyusuri jati diri kepenulisan

Antologi Celana menjadi titik balik Jokpin dalam geliat kesusastraan, terkhusus puisi. Bagaimana ia mulai melakukan perubahan radikal terhadap gayanya menulis, dengan sepenuhnya meninggalkan karya-karya yang terdahulu. Pada pertengahan tahun 90-an, Jokpin mulai lebih taktis dalam berkarya. Dengan merombak pendekatan kontemplasi dari yang semula hanya mengandalkan logika semata, pada penulisan Antologi Celana ia mulai menerapkan pengamatan terhadap fenomena sosial yang tengah tumbuh subur dalam kehidupan bermasyarakat.  

Ia ingin membeli celana baru// Buat pergi ke pesta// Supaya tampak lebih tampan// Dan menarik// Ia telah mencoba seratus model celana//Di berbagai toko busana// namun tak menemukan satu pun// yang cocok untuknya.// Bahkan di depan pramuniaga// Yang merubung dan membujuk-bujuknya// Ia malah mencopot celananya sendiri// Dan mencampakkannya.// “Kalian tidak tahu ya, aku sedang mencari celana yang paling pas dan pantas buat nampang di kuburan.”// Lalu ia ngacir// tanpa celana// dan berkelana// mencari kubur ibunya// hanya untuk menanyakan,// “Ibu, kau simpan dimana celana lucu yang kupakai waktu bayi dulu?”// (Puisi “Celana 1”, hlm 29).

Diksi yang digunakan oleh Jokpin dalam menulis “Celana 1”, merupakan bahasa yang berangkat dari peristiwa dalam kehidupan bermasyarakat. Tak pelak apabila karya Jokpin yang satu ini sepenuhnya punya tempat sendiri di hati penikmat sastra. Alih-alih dengan gaya menulis yang lalu, pada Antologi Celana Jokpin mencoba menghayati realitas, yang nantinya akan ia transfusi menjadi gugusan ide guna bahan mencipta puisi.

Bagaimana Jokpin mencurahkan kegelisahan di awal tahun 90-an dalam bentuk kata-kata yang menggelitik, seluruhnya terangkum dalam Antologi Celana. Kesederhanaan dalam menyajikan setiap bait melalui frasa yang ringan namun sarat akan makna. Dipadukan pula dengan absurditas diksi yang memecah pikiran pembacanya. 

Seperti halnya pada sepenggal puisi bertajuk “Kisah Senja”. //…Lelaki itu pun berdandan, mencukur// jenggot dan kumis, mencukur nyeri dan ngilu,// mengenakan busana baru, lalu merokok,// minum kopi, ongkang-ongkang, baca koran.// “Aku minggat dulu mencari hidup.// Tolong siapkan ransel, jaket, dan sepatu. (hlm 7). Jokpin secara gamblang memadukan kata umum dengan frasa yang absurd, dan menimbulkan banyak interpretasi dari setiap pembacanya. Umum dalam artian kata tersebut hidup dan ada dalam proses berkomunikasi masyarakat. Misalnya ia memakai kata mencukur, merokok, minum kopi, baca koran hingga ongkang-ongkang yang diantara kata-kata di atas sejatinya bersinggungan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari.

Ini yang menjadi pembeda Jokpin daripada penyair yang lain. Ia tak menyentuh topik-topik yang berat, namun hanya berkutat pada permasalahan yang ringan dan mudah ditemukan dalam keseharian. Berbeda dengan Sapardi Djoko Damono yang lebih mengangkat isu mengenai mahligai alam semesta, atau gaya penulisan Chairil Anwar yang lebih ekspresionis dan lugas. 

Celana sebagai awal kebangkitan “nyawa” sang penyair

Dengan lahirnya Celana, Jokpin membuktikan bahwasanya seni menulis puisi tak hanya berkutat pada topik seputar perihal melankolis, ataupun pemberontakan. Melainkan dengan topik pembahasan yang ringan dan mudah dijumpai. Hadirnya Celana secara tidak langsung juga  memunculkan pasar dengan umat militan yang selalu setia menanti karya-karyanya tersendiri. 

Dengan penciptaan Celana, pun membuktikan bahwa Jokpin berani bertarung dalam perhelatan sastra baik nusantara maupun dunia, melalui gebrakan yang mengejutkan seluruh insan penghayat sastra. Pasalnya yang semula ia putus asa dan terus mempertanyakan eksistensi dalam dunia kesusastraan, namun ia mengalahkan pergolakan batin hingga dapat mendedahkan karya yang teramat indah, yakni Celana

Yang terakhir, penulis memberikan catatan kecil mengenai lika-liku penciptaan Antologi Celana. Bahwasanya sastra akan menjadi lebih substansial ketika topik bahasan benar dapat dirasakan baik secara religius maupun psikologis oleh khalayak pembaca. Terkhusus puisi. Bagaimana Jokpin meluapkan segala kegundahan hatinya ke dalam bentuk yang sarat akan nilai-nilai inspirasi melalui berbait-bait puisi, berlarik-larik sajak, beribu-ribu kata dalam Antologi Celana. Ia menggunakan sebagian besar bahasa serapan yang hidup dalam lingkungan terdekat. Sehingga menimbulkan bahasa puisi terasa lebih egaliter. Batas antara prosa dan puisi tidak lagi jauh. 

Lantas spirit yang terkandung dalam diri Antologi Celana sudah seharusnya akan selalu hidup di tengah gempuran budaya pop masa kini. Dengan terus menggali kekayaan kata dalam bahasa Indonesia yang selama ini masih banyak terkubur. Begitu pula menciptakan diksi, gaya penulisan, dan topik bahasan yang baru menjadi tugas utama kita sebagai generasi penerus. Jokpin sendiri juga menitipkan pesan kepada para sastrawan muda untuk terus merawat napas panjang kesusastraan di tanah air, melalui konsistensi dan produktivitas dalam berkarya. 

Senantiasa terjaga. 

Tabik!.

Penulis : Dhiazwara Yusuf Dirga A

Editor: Julia Tri Kusumawati