Aku terbentuk atas kerangka, aku pernah terbakar, tersulut, aku ternodai, aku yang pernah tersobek-sobek, aku yang pernah terlukai, aku tergores, aku berlubang dan diperbaiki, aku yang tertambal dari luka-luka. Aku adalah aku yang tercipta dari seluruh luka-luka yang telah aku lewati. Dan ini lah “aku” dengan diriku. – Tercipta, karya Mohammad Fahmi Dwi Novanto.
SUARA MESIN KETIK di pojok ruangan terdengar lirih, tenggelam dalam bising molekuler di sekitarnya. Sang penulis, Toyib Nurcahyo, pencetus Puisiseketika tetap bergumul dengan puisinya dalam bilik “Memori Fisik”, merangkai puisi dari celoteh pengunjung. Sementara itu, gerombolan orang silih berganti memasuki galeri seni di Taman Budaya Jawa Tengah. Ada yang sibuk membidik kamera, asik berswafoto, bercengkrama, atau sekedar menikmati lukisan-lukisan yang berjejer di sepanjang tembok putih galeri.
Sementara di satu sisi puisi-puisi dengan gamblang menampakan dirinya, pada sisi yang lain, kata-kata menutupi rupanya. Di sisi itu ada satu instalasi karya Nurhasna Ghaisani berupa bilik kecil berukuran sekira 2×2 meter yang tertutup kain putih. “Dare to Tell the Truth?” begitulah ucap bilik itu. Di dalamnya, kata-kata tanpa tuan berserakan, seperti tuannya sudah rela meninggalkannya di sana.
“Aku korban broken home, but I’m not broken, yet.”
“Actually, I’m thinking about killing myself right now.”
“Kapan aku menjadi diriku sendiri? Lelah slalu berbohong.”
“Discomfort endlessly has pulled itself upon me!”
“Shit, I sometimes want to give up.”
Juga ratusan kata-kata, yang mesti telah ditinggalkan di sana, barang jadi belum selesai untuk diucapkan.
SEKILAS, TAK ADA yang membedakan pameran seni tersebut dengan pameran lain. Namun ketika melihat lukisan yang ada, semua mengikuti satu tema yaitu bercerita tentang apresiasi diri.
Pameran seni tersebut merupakan acara dari mahasiswa Psikologi UNS. Dalam rangka memperingati World Mental Health Day, mahasiswa Psikologi UNS menggelar kembali acara tahunan Archetype (A Real Action of Mental Health with Psychology Euphoria). Acara ini berlangsung selama tiga hari, yaitu mulai dari 10 Oktober – 13 Oktober 2019. Archetype 3.0 mengusung tema yang unik dan berbeda dari acara psikologi pada umumnya, yaitu pameran seni. Tidak hanya dari mahasiswa UNS, panitia membuka submission untuk seniman yang ingin mendaftarkan karya seninya yang ditutup sejak 21 September lalu. Dengan kolaborasi bersama Ruang Atas, Sahabat Kapas, Puisiseketika, The Remon, Drakula Grafis, dan seniman lainnya, Archetype berhasil menggelar pameran seni bertajuk psikologi yang tidak hanya dikunjungi oleh mahasiswa UNS, tetapi juga masyarakat luar.
“Untuk konsep pameran seninya sendiri, kami memang terinspirasi dari Artjog. Kami ingin merangkai sebuah acara yang tidak hanya memberikan edukasi mengenai kesehatan mental, namun juga memberikan hiburan, kenikmatan, juga wadah bagi pengunjung untuk mengungkapkan isi hatinya, terutama anak-anak muda yang mudah terkena depresi dan kurang apresiasi diri. Tapi tak disangka banyak masyarakat luar yang datang,” jelas Araz Arza Zera Wijaya, selaku Project Officer Archetype 3.0.
Pameran psikologi sudah menjadi konsep Archetype sejak setahun yang lalu meskipun dengan judul tema yang berbeda. Archetype 2.0 mengangkat tema “The Mental Health Agent in Digital Era”, berbeda dengan tahun ini yang berangkat dari tema “UPreciation: Endless Possibilities”. Perbedaan juga kentara dalam rangkaian acara dimana pada Archetype 3.0, selain pameran seni, juga mengadakan workshop “Heal Note: Write Your Feeling!” dan “Personal Branding Hack: Be the Real You!” pada hari kedua, lalu ada seminar “Financial Fitness: Make Your Wallet in Shape” pada hari ketiga. Archetype 3.0 juga mengadakan lomba mulai dari Cover Dance K-Pop hingga Acoustic Competition.
Archetype menyiasati pengunjung tak hanya datang untuk apresiasi seni, tapi menelisik proses psikologis diri sendiri dan menyadari bahwa setiap manusia itu unik. Keunikan itu dapat ditinjau dari kecerdasan, kepribadian, dan peran yang manusia miliki. Melalui keunikan tersebut, manusia mampu mengembangkan dan menjadikannya “senjata” untuk terhindar dari gangguan mental. Pengunjung diharap bisa merenungkan hal-hal di sekitar mereka yang patut diapresiasi dan disyukuri. Hal itu meliputi teman, keluarga, komunitas, bahkan negara tercinta Indonesia yang diibaratkan sebagai atmosfer yang diberkati.
Usai mengapresiasi seni melalui lukisan, pengunjung ditarik ke bilik “Memori Fisik” yang merupakan kenang-kenangan dimana setiap orang bisa membuat karyanya sendiri. Ndilalah Ruang Seni malam itu tampak ramai oleh beberapa pengunjung yang asik menggunting dan menempel gambar dan tulisan dari majalah bekas yang disediakan panitia. Begitu juga dengan bilik Puisiseketika, The Remon, Drakula Grafis, Ruang Atas, dan Sahabat Kapas.
HARI KESEHATAN MENTAL Dunia sendiri diperingati setiap 10 Oktober. Tahun ini, WHO mengajak semua orang untuk turut berkontribusi terhadap masalah kesehatan mental atau kesehatan jiwa melalui tantangan bertajuk “40 Second of Action”. Dikutip dari laman resmi WHO, setiap orang bisa berperan dan berkontribusi mencegah terjadinya kasus bunuh diri yang berdasarkan data terjadi setiap 40 detik sekali di seluruh dunia.
Malam itu – di malam terakhir Archetype, kertas-kertas kecil bergelantung di bawah langit, bertuliskan curahan hati dari puluhan diri pengunjung yang berlalu-lalang. Sekilas terbaca gumamam hati mereka di antara sesama. Saling membaca meskipun tak pernah menyapa.
Ejanya,
“Kamu cantik hari ini”
“Karena kalian pasti bisa menjadi alasan di balik senyuman seseorang”
“Aku lahir bukan untuk membuat senang semua orang”
“Aku adalah aku, bukan orang lain”
“Siapapun yang membaca ini, kamu hebat kok!”
“Terima kasih!”[]
Reporter: Hesty Safitri, Adhy Nugroho