Banyak hal yang berubah sejak diumumkannya tanggap darurat Covid-19 pada Maret lalu. Larangan keluar rumah untuk hal yang tidak penting, WFH (Work form Home), hingga program belajar di rumah membuat kita lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Salah satu aktivitas yang meningkat selama pandemi ini adalah menonton televisi.
Tampaknya televisi masih menjadi pelarian bagi masyarakat yang ingin mencari hiburan di tengah pandemi. Pasalnya, di tahun 2020 ini hampir semua kalangan masyarakat mempunyai televisi di rumahnya. Aksesnya yang mudah dan gratis membuat jumlah penonton televisi meningkat akhir-akhir ini.
Riset yang dilakukan oleh Nielsen Television Audience Measurement (TAM) menunjukkan bahwa kondisi saat ini telah meningkatkan kepemirsaan televisi, khususnya program berita dan acara anak-anak. Program anak untuk usia 5-9 tahun, melonjak dari rata-rata rating 12 persen pada 11 Maret menjadi 15.8 persen pada 18 Maret. Bahkan di Jakarta, kepemirsaan di segmen anak mencapai rating tertinggi, yaitu 16,2 persen.
Meningkatnya jumlah dan durasi anak-anak menonton televisi menjadi persoalan baru di tengah pandemi. Pada dasarnya, tidak semua tayangan televisi mengedukasi karena memang setiap kategori tayangan televisi memiliki tujuannya sendiri. Program anak tentu bertujuan untuk mengedukasi anak dengan cara-cara tertentu. Menurut KPI, ada beberapa aspek kualitas program anak diantaranya program anak harus informatif dan menstimulasi kognisni anak, meningkatkan empati sosial, saling menghargai dan menghormati, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun, untuk saat ini di beberapa program anak masih sering ditemukan hal-hal yang tidak sesuai indikator aspek kualitas yang telah ditentukan KPI. Pada hasil riset indeks kualitas program siaran TV periode II tahun 2019 oleh KPI, aspek memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa memiliki nilai paling buruk dengan angka 2,70. Aspek dengan nilai terburuk kedua dengan angka 2,87 adalah tidak bermuatan kekerasan. Padahal dua hal tersebut sangat penting untuk diedukasi sejak kecil.
Kemudian, permasalahan selanjutnya adalah berkurangnya jumlah program televisi untuk anak. Data KPI dan yayasan pengembangan media anak mengatakan, telah terjadi penurunan hingga 40% jumlah program anak sejak 2009 hingga 2018. Dengan berkurangnya program anak, akhirnya anak menonton program-progam yang bukan untuk anak. Bisa jadi mereka menonton program infotaimen, sinetron dewasa, atau variety show dengan banyak adegan yang tidak sesuai untuk anak-anak. Hal tersebut tentunya tidak baik jika dilihat oleh anak-anak, karena mereka memiliki sifat peniru dan imitatif yang berpotensi menirukan adegan negatif atau berbahaya. Adegan kekerasan, kejahatan, dan juga adegan dewasa di televisi mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan perilaku anak dalam bersosialisasi. Hal tersebut diperkuat oleh riset Carrie Shrier dari Universitas Michigan yang menunjukkan bahwa media visual berpengaruh besar terhadap perkembangan perilaku anak-anak. Bahkan dalam percobaannya, paparan televisi selama 20 detik saja dapat mempengaruhi perilaku balita.
Orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam mengatur pola menonton TV anak. Cara paling sederhana adalah mendampingi anak ketika menonton televisi. Dengan demikian orang tua dapat mengedukasi anaknya jika terdapat adegan-adegan yang tidak pantas. Para orang tua juga bisa melakukan Gerakan 3B yang selalu digalakkan oleh Kak Seto. Gerakan 3B adalah gerakan dimana orang tua mengajak anak meninggalkan TV pukul 6-8 malam dan menggantinya dengan kegiatan beribadah, bercerita, atau bergembira bersama.
KPI perlu bekerja sama dengan lembaga sosial terkait dalam memperbanyak program televisi untuk anak-anak. Selaku lembaga pengawasan penyiaran, KPI juga harus tegas terhadap stasiun televisi yang masih menayangkan adegan tidak pantas di jam anak menonton televisi.
Berdasarkan Pasal 72 ayat 5 Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014 tentang hak anak dalam media menyatakan, media berperan melakukan penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan anak, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Untuk itu, KPI, lembaga sosial, orang tua, dan seluruh pihak harus berkontribusi untuk memenuhi hak anak tersebut. Bagai pandemi di tengah pandemi, kebiasaan anak menonton televisi berlebihan adalah “virus” baru yang jarang disadari banyak orang namun sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa.
Penulis dan Ilustrator: Nuha Maulana Ahsan