Oleh: Fatih Abdulbari
Saat kau bicara pada manusia pilihan yang suci, di telinganya, apapun celotehanmu adalah kegilaan. Memicingkan mata menghadap kakbah, apa kau tahu kiranya bangunan suci itu? Bahkan seandainya sang kakbah mampu membuka diri, tak satu katapun bisa kau sampaikan kepada orang lain. Setiap perwujudannya senantiasa unik dan benar-benar asing bagimu. Sebab, jika ia biasa saja dan langsung bisa dikenali, niscaya ia sama sekali bukan perwujudan suci. Jika kata sampai mampu mengekspresikannya, maka sesungguhnya kau belum menemukannya (Daud bin Ibrahim Al Shawni, 2007:12).
DALAM BUKU Iblis Menggugat Tuhan (2007), Daud bin Ibrahim Al Shawni punya definisi tersendiri mengenai kesucian. Kesucian, menurut Shawni, tidak bisa digambarkan melalui sesuatu yang kasat mata. Bahkan jika kesucian itu membuka dirinya sendiri, kita takkan bisa memahaminya. Jika kita masih mendefinisikannya dalam kata-kata, artinya kita belum menemukannya. Kesucian tidak terdefinisi, seberapapun suci seseorang, ia tidak akan pernah bisa memahami kesuciannya sendiri. Itulah kutukan bagi orang-orang suci.
Suci dalam agama bermakna sakral, selalu dikaitkan dengan keadaan tanpa dosa, membersihkan diri, tempat-tempat ibadah, atau orang-orang pilihan yang diberkati. Dalam pemaknaan agama, seorang yang suci selalu punya sifat-sifat baik. Ia haruslah berhati bersih, berfikir jernih, lurus, dan berhati lapang. Menjadi suci itu mudah. Setiap orang bisa jadi orang suci. Ibu rumah tangga, karyawan, supir, atau berbagai profesi lainnya.
Hanya satu yang tidak bisa jadi orang suci: Mahasiswa.
Bagaimana caranya mahasiswa jadi suci sedangkan mereka dituntut mempelajari segala hal? Mahasiswa kan biasa membacai semua hal, segala hal, mengetahui berbagai macam sudut pandang dan teori. Mahasiswa bisa saja menjadi penengah bagi berbagai permasalahan yang terjadi, karena mahasiswa itu terkenal objektif. Ketika diskusi, mahasiswa mempunyai pandangan yang lua … eh, aduh, aku lupa, mohon maaf. Mahasiswa mana punya pandangan seperti itu? Persetan dengan hal-hal macam begini. Wong enggak ada di ujian, enggak ditanya pas masuk kampus. Diskusi di kelas juga enggak pakai beginian, apalagi dosen juga tidak pernah membahas.
Mahasiswa sekarang kan terlalu suci, mana mau membaca apalagi memahami hal-hal diluar tugas kuliah, kepentingan pribadi, dan golongannya. Yang penting kan nugas, nilai bagus, lulus, diterima kerja, pensiun, dan… mati. Mahasiswa terlalu takut berdosa dalam ranah intelektualitas. Terlalu banyak bergelut dalam ranah politik praktis yang Mahapenting itu, tapi lupa akan kewajiban intelektualnya.
Universitas saat ini lebih seperti ajang pergulatan politik mini oleh orang-orang yang merasa suci. Kalau kata Efek Rumah Kaca, “karena mereka paling suci, lalu mereka bilang kami jalang.” Siapa yang dibilang jalang? Ya para mahasiswa yang dicap apatis itu. Padahal mereka bukan apatis. Cuma beda misi dan tak mau merasa suci saja.
Sebab itu pula, kampus menjadi gerbang bagi masuknya kepentingan dari luar. Kurasa sudah saatnya universitas difungsikan kembali sesuai fungsinya, sebuah tempat dimana jiwa muda yang intelek dan objektif sama-sama berdiskusi dan memecahkan berbagai masalah dari sisi akademis. Tetapi daripada diskusi, mahasiswa malah lebih senang menyelesaikan masalah dengan unjuk rasa yang malah menambah masalah. Sejujurnya, aku rindu dengan suasana kampus seperti yang ditulis Benedict Anderson dalam bukunya, Hidup di Luar Tempurung (2016).
Ah, kurasa kusudahi saja tulisanku ini. Aku malu bicara banyak-banyak soal hal yang sama sekali tidak suci dihadapan kalian, mahasiswa-mahasiswa suci. Lagipula aku yakin tulisanku ini akan kalian anggap lalu. Seperti kata Shawni, omonganku di hadapan kalian adalah omongan orang gila. Lebih baik kalian abaikan saja tulisanku ini dan jangan lupa pilih salah satu dari dua calon presiden BEM kita yang bahkan tidak punya satupun misi akademik dalam visi-misinya. Biarlah segelintir saja yang mengemban beban intelektualitas ini, toh kalian tidak akan membutuhkannya.[]
Fatih Abdulbari. Mahasiswa tanpa tanda jasa. Bisa dihubungi via surel fatihabdoelbari@gmail.com