Alkisah, pada malam yang cukup dingin, seorang mahasiswa dari sebuah kampus yang hobi pencitraan melayangkan sebuah pesan pada temannya. “Udah ada info KKN belum, sih?” tidak terlalu lama–tidak selama menunggu pembangunan kampus Ngoresan–temannya membalas kalau dia juga belum dapat informasi lanjutan.
Dengan menggerutu, mahasiswa itu mengetikkan pesan lagi ke temannya, “Ini udah tinggal seminggu lagi. Kampus X aja persiapannya sebulan, lho. Katanya mau maju jadi kampus internasional.” Oh, kampus si mahasiswa bermimpi jadi kampus internasional, tho? Apa gak diketawain rombongan bus kampus yang parkir melulu itu, ya?
Pesan masuk datang lagi dari temannya, “Soalnya kampus internasional ngga pakai KKN.” seloroh temannya. Pesan yang datang tidak dia balas lagi. Di tempat yang lain, temannya yang berseloroh itu, kini tengah serius menyusun protesnya.
KKN–ngga perlu tak tulis, ya, kepanjangannya, suka tiba-tiba ganti soalnya–sudah lama digunakan institusi universitas sebagai wadah untuk “menjerumuskan” mahasiswanya dengan kedok kegiatan pengabdian masyarakat. Mahasiswa yang berangkat KKN biasanya mahasiswa semester-semester akhir karena dianggap telah siap mengimplementasikan ilmunya di tengah masyarakat. Hal ini berangkat dari tridarma perguruan tinggi yang salah satu poinnya adalah pengabdian masyarakat. Menjadikan kegiatan ini seolah menjadi kegiatan yang fardhu ‘ain dilakukan mahasiswa.
Tidak ada yang salah dengan pengabdian masyarakat. Kampus dan mahasiswa di dalamnya sebagai elite intelektual memang sudah sepatutnya tidak boleh menjaga jarak dengan masyarakat. Sebagai kaum cerdik cendekia yang berasal dari altar ilmu mengharuskan civitas academica hadir di tengah-tengah persoalan yang merundung masyarakat, memperjuangkan keadilan untuk kaum terpinggirkan, dan menjadi perpanjangan lidah dari protes-protes wong cilik.
Lantas, kenapa saya tulis KKN tak ubahnya kegiatan yang “menjerumuskan”? Dalam KBBI arti menjerumuskan adalah menyesatkan atau mencelakakan. Telak, kampus telah menyesatkan mahasiswa-mahasiswanya dalam kesesatan yang benar-benar. Amanat suci tridarma perguruan tinggi itu tak ubahnya formalitas belaka di mata mereka. Bagaimana tidak? Sudah menjadi rahasia umum, di kampus ini, KKN merupakan momok karena terkenal dengan ketidakjelasannya. Informasi yang tersendat-sendat, kepastian yang selalu saja mendadak, dan dana yang seret menjadi keluhan-keluhan yang seperti didaur ulang tiap periode KKN tiba. Evaluasi saja tidak dilakukan, lantas apa namanya kalau bukan sekadar formalitas? KKN jadi macam anak baru gede yang sedang mencari jati dirinya, tersesat oh tersesat.
Seperti banyak kebijakan kampus lainnya, lagi-lagi mahasiswa yang menjadi korban. Ketidakpastian pelaksanaan KKN ini merembet ke banyak hal: orang tua yang jadi buru-buru menyiapkan sangu, kekhawatiran memengaruhi jadwal sidang skripsi, menentukan waktu penelitian, membuat pilihan antara mengambil kerja part-time atau KKN, dan segudang masalah lainnya. Kemudian, satu-satunya solusi yang ditawarkan kampus hanya sabar, sabar, dan sabar. Ah, andai si sabar berubah jadi lembaran uang, mahasiswa kampus ini pasti sudah berurutan menjadi konglomerat.
Mahasiswa sudah kadung malas dan jadi meyakini kalau kegiatan ini hanya akal-akalan kampus untuk menyerap anggaran. Linimasa yang berubah-ubah dan tidak ada pemberitahuan dari jauh-jauh hari jadi menimbulkan rasan-rasan. Biarlah saya dianggap berburuk sangka. Lagian, mana ada berburuk sangka yang tidak diawali dari bisik-bisik. Kalau kampus cukup terbuka dengan menjelaskan apa yang terjadi, apa yang menjadi kesulitan mereka dalam mengurus ini semua, apa yang membuat kuliah-kerja-ngilang ini terus-menerus tersendat, saya rasa mahasiswa-mahasiswa yang gak niat-niat amat buat KKN ini bakal memahami. Serius. Masak iya di hari saya menulis ini, di saat pelaksanaan KKN seharusnya tinggal empat hari lagi, tapi kelompok saja belum dibentuk?
Kalau memang kampus merasa keberatan dalam mengurus KKN, saya menyarankan KKN dihapus saja. Kalau nanti menteri bertanya, jawab saja ‘Malas, Pak!’ atau ‘Ngga ada duitnya, Pak!’ Mungkin terdengar radikal, tapi ini jauh lebih mudah daripada kampus repot-repot menangani ribuan mahasiswa dan menurunkannya ke pelosok-pelosok, mengurus perizinan ke desa-desa, atau membuat rancangan anggaran. Ribet. Lagi pula, sekarang mahasiswa tidak susah, kok, mencari saluran lain untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat. Mengikuti program-program dari LSM di luar kampus, membentuk kelompok sendiri dengan skema hibah, bergabung dengan komunitas, atau banyak lainnya. Mahasiswa dan sejuta energinya justru akan mandek kalau terus berkubang dalam situasi yang menjemukan seperti ini. Dan pada akhirnya KKN benar-benar menjadi wahana yang menyesatkan mahasiswa, alih-alih menggapai tujuan sebenarnya yang mulia.
Akhir kata untuk menutup narasi protes ini, kepada saya sendiri dan teman-teman seangkatan yang mengambil mata kuliah KKN periode ini, saya hanya mau bilang: mampus kau dikoyak-koyak KKN!
Penulis: Mardhiah Nurul Lathifah
Editor: Lutfiyatul Khasanah