Seiring bertambahnya usia bumi, isu-isu lingkungan yang menjadi perhatian dunia kian menunjukkan eksistensinya. Salah satu isu populer saat ini yaitu pemanasan global. Aktivitas manusia yang melibatkan penggunaan bahan bakar fosil dan Chloro Fluoro Carbon (CFC), penebangan pohon, hingga pembakaran hutan dan lahan dapat menciptakan perubahan iklim serta pemanasan global yang pada kenyataannya mampu meningkatkan suhu rata-rata permukaan bumi. Berdasarkan laporan dari Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada tahun 2022 terjadi peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi sebesar 1,15 derajat celcius yang artinya peningkatan suhu tersebut menjadi yang terpanas sejak 2015 dan diperkirakan akan terus berkelanjutan. Tak kalah penting, polusi udara mulai dipertimbangkan menjadi salah satu ancaman lingkungan terbesar selain perubahan iklim. Menurut artikel yang diterbitkan oleh WHO, bahwa setiap tahunnya, penurunan kualitas udara yang terjadi telah menyebabkan 7 juta kematian dini serta terampasnya jutaan tahun hidup sehat.
Kedua isu di atas nyatanya memiliki hubungan yang sangat erat, lantaran pemeliharaan udara bersih merupakan satu langkah awal untuk memitigasi terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Melihat bermacam fenomena tersebut, sadarkah bahwa semakin memburuknya kesehatan bumi adalah buah dari keegoisan manusia? Setiap interaksi antar makhluk hidup dapat menimbulkan suatu kausalitas, seperti halnya hubungan antara manusia dengan alam. Pernahkan sekalipun terbesit sebuah pemikiran tentang keadilan ekologi? dan apakah ada hak asasi untuk alam? Atau mungkin selama ini berpikiran bahwa alam hanyalah sebatas “makhluk” yang diciptakan Tuhan untuk dieksploitasi keberadaannya?
Mereka Tidak Dapat Berbicara
Alam tidak pernah menyuarakan kemarahannya terhadap manusia, yang mereka tunjukkan hanyalah akibat daripada perbuatan manusia itu sendiri. Ketika alam mulai menunjukkan kegelisahannya, manusia akan menyadari bahwa eksploitasi yang dilakukan dengan dalih “demi kesejahteraan” itu sesungguhnya telah menyakiti alam. Kemudian, dengan bangganya manusia mengoarkan gerakan peduli lingkungan yang diwujudkan melalui program penghijauan. Begitu seterusnya hingga menjadi sebuah siklus yang tak terputus. Lantas, apa tujuan manusia sebenarnya? Mengapa harus menunggu rusaknya alam untuk menyadarkan manusia?
Cinta atau peduli?
Cinta dan peduli, dalam konteks lingkungan, dua kata tersebut sering kali dianggap sama. Padahal, cinta yang sesungguhnya bersifat abadi tumbuh dari hati, tanpa paksaan meski tiada tujuan yang pasti. Lalu, apa bedanya dengan peduli? Peduli bersifat sementara karena banyak faktor yang dapat memicu timbulnya rasa peduli seseorang. Seperti halnya alam, manusia peduli lingkungan bukan tanpa alasan, banyak tujuan yang ingin dicapai, misalnya ketersediaan pangan, oksigen, dan kebutuhan air di masa mendatang, hingga keuntungan lainnya seperti ladang cuan yang dapat diperoleh dari investasi lingkungan. Seakan manusia melakukan gerakan cinta lingkungan itu semata-mata hanya untuk kepentingan kaumnya sendiri, bukan karena murni mencintai lingkungan. Alam memberi manusia segudang manfaat, bahkan tanpa keberadaan manusia pun alam dapat merawat dirinya sendiri. Namun, apabila tidak ada alam, manusia tidak dapat bertahan hidup, bahkan hewan pun sangat bergantung kepada alam. Kemudian, dengan maraknya isu lingkungan saat ini, apakah manusia dapat disebut telah bersikap adil terhadap alam? Atau tetap pada keegoisan yang hanya memikirkan kesejahteraan kaumnya sendiri?
Kontradiksi antara Das Sollen dengan Das Sein
Sering kali perusahaan mengklaim bahwa mereka ramah lingkungan, melalui slogan green economy atau blue economy yang mana keduanya sama-sama bertujuan untuk kegiatan perekonomian ramah lingkungan. Namun faktanya, pernyataan tersebut justru bertentangan dengan tujuan utama berdirinya sebuah perusahaan yaitu keuntungan, terlebih bagi mereka yang menganut ajaran kapitalisme. Mengapa bertentangan? Tidak dapat dipungkiri bahwa biaya perawatan lingkungan itu mahal, sedangkan daya dukung lingkungan itu sangat penting untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk menerapkan konservasi lingkungan, bagi sebuah perusahaan itu adalah hal yang sulit. Kemudian, pada akhirnya perusahaan yang berfokus kepada perolehan profit akan cenderung untuk mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan dampak jangka panjang dari kegiatan usaha yang dilakukan.
Implikasi HAM terhadap Keadilan Ekologi
Keadilan ekologi merupakan sebuah upaya memahami nilai-nilai intrinsik dari sebuah logika ekologi. Menurut KBBI, ekologi sendiri merupakan sebuah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungan). Sehingga, keadilan ekologi dapat didefinisikan sebagai bentuk kesadaran untuk melestarikan dan menjaga keberlangsungan dari lingkungan hidup agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga.
Dalam buku A Theory of Ecological Justice karya Brian Baxter, dijelaskan bahwa salah satu aspek yang paling penting terkait keadilan ekologi adalah keberadaan kewajiban moral. Secara umum, kewajiban moral dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan memberikan hak kepada orang lain secara etis dan layak, di mana perbuatan tersebut merupakan sebuah kesadaran yang tergerak dari diri sendiri. Dalam halnya hubungan antara manusia dengan alam, menganggap alam memiliki nilai lebih dari sebatas nilai instrumental seharusnya telah lama disadari oleh manusia sebagai bentuk kewajiban moral yang harus dipenuhi.
Di sisi lain, manusia pada dasarnya memiliki hak asasi yang tidak boleh dicabut karena merupakan hak dasar yang ada dalam diri manusia sejak lahir. Salah satu jenis hak asasi manusia yaitu hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Artinya, akses terhadap lingkungan hidup yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan merupakan bagian integral dari penikmatan hak asasi itu sendiri, termasuk hak untuk hidup, kelayakan makanan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi. Mengambil keuntungan dari alam bukanlah sebuah kejahatan apabila tidak dilakukan secara berlebihan serta diimbangi dengan pemeliharaan keseimbangan ekosistem. Dikarenakan antara manusia dengan alam memiliki haknya masing-masing sebagai sesama makhluk hidup, maka manusia sebagai makhluk berakal, harus memenuhi kewajiban moral atas lingkungan hidup, sebagai bagian dari keadilan ekologi dan pemenuhan hak-hak lingkungan. Jadi, tanpa harus menunggu rusaknya alam, diharapkan kesadaran merawat serta melestarikan lingkungan hidup dapat timbul secara konsisten dan berkelanjutan. Sehingga, keadilan dapat tercapai dengan pemenuhan hak serta kewajiban antara manusia dengan alam sekitarnya.
Penulis: Siwi Widiyanti
Editor: Revy Anestasia