Ilustrasi: Nabila Febriyani/LPM Kentingan

Skenario Tuhan

Katanya, Tuhan selalu punya skenario untuk umatnya. Entah itu baik atau buruk, entah itu sebagai pengingat atau penghibur, entah itu pertemuan ataupun perpisahan dua insan. Apapun yang terjadi, semua ada tujuannya. Pada kali ini, aku ingin bercerita mengenai pertemuanku dengan seseorang di dunia maya. Lucu, karena skenario ini seperti petunjuk dari Tuhan untuk selalu percaya pada alurNya.

It all started from a story though.  

I wrote a story about a man who’s struggling to deal with his parent’s divorce. Someone who acts tough, yet suffers from insecurities. Everything around him seems grey and blurry. Then, one day, he meets someone, and the colors return once more. Sempurna, batinku.

Namun nyatanya tidak.

Seketika aku mempertanyakan akan kualitas tulisan yang aku buat, ketika aku menjumpai banyak penulis yang bisa melahirkan sebuah karya dengan ciamik. Seperti karya Silver yang mengisahkan sepasang suami istri dengan dua anaknya. Alurnya? tidak usah ditanya, kompleks namun dijelaskan dengan sederhana. Aku ingat sekali, semua orang menunggu tulisannya sampai tengah malam.

Hal itu cukup membut pondasi keyakinan bahwa menulis demi diri sendiri dan bukan untuk menarik perhatian orang lain runtuh. Cerita yang setengah mati kubangun dengan latar belakang perceraian seperti tidak memiliki nyawa lagi, di hadapan karya Silver. Perasaan berwarna kehijauan menyeruak dan menggerogoti pikiran, merendahkan kemampuanku dalam menulis.

Jelek, katanya. Kamu tidak bisa menulis, ejeknya.

Sejak saat itu, aku terlalu malu untuk mempromosikan tulisanku di sosial media (Twitter, lebih tepatnya). Butuh waktu lama untuk setidaknya menulis lagi. Yah, sampai sekitaran pertengahan Mei. Menggunakan bahasa semi baku dan cenderung menye, setidaknya aku cukup puas dengan cerita yang kubuat. (Beberapa waktu kemudian aku menyesal pernah membuatnya, HAHA). Judulnya Aksara, berisi cerita pendek tentang percintaan dua individu.

5 hari berselang, ada seseorang yang mengetuk direct message akun Twitterku.

Katanya, ia menyukai playlist lagu yang kubuat, ia temukan melalui tweets pada satu akun besar yang aku reply.  Dan ia ingin berteman denganku karenanya.  Tidak ingin ambil pusing, aku iyakan saja permintaannya, lagipula permintaannya tidak muluk muluk.

“Eh sorry! Aku harusnya follow kamu pake akunku yang lain. Sebentar.” Katanya

“Okay.”

Beberapa menit kemudian, request direct message muncul di profilku.

Iya, ternyata yang mengirim pesan itu dia, si penulis cerita keluarga pasangan suami istri dengan anaknya itu. Silver.

“Halo” katanya.

Butuh waktu sekiranya 20 menit untuk menjawab pesannya, 20 menit yang dipenuhi dengan wejangan panjang dari dua kawan kuliahku, Rachel dan Caca mengenai pentingnya memikirkan hal hal yang tidak penting.

But in the end, everything’s up to you, sweetie. You are the only one who knows what’s best for yourself.” Begitu ucap Caca sebagai penutup wejangan tengah malam itu.

Aku menghela nafas, tidak yakin dengan keputusan impulsif yang biasa diambil kala sedang kemelut. Entah apa yang membuat kuberani, entah sifat impulsif (dengan motto hidup: udah basah, mandi saja sekalian) atau… entahlah, dorongan batin mungkin? Jujur, aku lupa dengan isi balasan pesan yang kukirimkan padanya.

Obrolan yang pada awalnya kusangka akan berjalan canggung, ternyata berjalan mengalir layaknya air. Meskipun baru kusadari belakangan bahwa personality kami berdua berbeda. Ia cenderung realistis, sedangkan aku idealis. Kendati demikian, kami berdua punya permasalahan yang sama. Ya, sama sama iri dengan karya orang lain.

Isn’t it normal Dir?” tanyanya malam itu. Dan lagi-lagi aku lupa isi balasasannya apa, Namun ketika memberi nasihat padanya, aku tersadar. Ternyata perasaan yang kupikir konyol, valid adanya. Bahkan penulis sepertinya bisa merasakan hal yang sama. Membuatnya lupa dengan satu-dua pujian yang terlontar ketika mengomentari ceritanya. Terlena dengan kurangnya, hingga lupa dengan kekuatan dalam diri.

Mungkin hal yang sama terjadi padaku. Ya, terlalu terlena dengan ketakutan, hingga lupa dengan kekuatanku sendiri.

It takes time to be ready

Percakapan panjang itu membuatku menyadari banyak hal, salah satunya untuk tidak tunduk pada ketakutan. Akhirnya aku memberanikan diri menunjukkan ceritaku ke dunia maya. Meskipun ada setitik rasa khawatir kalau karyaku dilirik oleh mereka yang mempunya jam terbang menulis lebih tinggi, dan yah diolok-olok dalam hati.

Obrolan ini akhirnya kulemparkan kepada satu kawan karib, yang mempunyai otak jauh lebih logis dibanding aku yang mudah cemas.

“Gue gak nulis cerita sih jadi gue gapaham…” balasnya melalui direct message di Twitter. “Tapi the one time I did asal-asalan, itu kayak gue lebih konsenin aja ke buat nya, ke kayak ‘wow gue bisa lho bikin!’

Pernyataan khasnya menyadarkanku, bahwa aku melupakan proses menyenangkan dari menulis. Aku terlalu terpaku pada alur cerita yang muluk, dan ekspektasi orang lain. Hingga lupa poin utamanya, menulislah untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain.

Walaupun begitu, masih ada rasa khawatir yang membuat diriku tidak nyaman. Apalagi ketika aku mengunggah sinopsis cerita, ditambah ketika mendapatkan respon yang terlalu positif membuatku khawatir. Entah mengapa. Namun lagi lagi, aku tersadar untuk tidak boleh hidup dalam ketakutan. Jika pun iya, aku harus menyiasati rasa takut itu menjadi sesuatu yang bisa untuk dihadapi. Selain itu juga, rasa khawatir juga menghampiri ketika beberapa teman mengunggah ceritanya di sosial media. Namun aku sadar bahwa itu hak mereka juga, toh mereka tidak tahu perasaanku. Buat apa peduli? Sudah seharusnya aku yang memastikan diriku untuk tidak mudah khawatir atau iri atas hal hal itu.

Hingga kini, guna mengatasi rasa khawatir, setidaknya kini aku sudah menemukan beberapa cara untuk mengatasinya. Salah satunya dengan memutuskan untuk mengunggah cerita menggunakan akun anonim. Jadi, tidak ada yang tahu siapa penulis sebenarnya.

Namun, pada akhirnya rencana tersebut sedikit sia-sia karena beberpa teman dapat menemukannya. Beberapa ada yang tertarik, sementara lainnya ada yang acuh. Aku menghela nafas panjang. Syukurlah.

Setidaknya, aku sadar bahwa manusia dan rasa khawatirnya ialah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Namun setidaknya, tulisan ini menjadi pengingat kecil di pikiran, bahwa tiap insan punya kekuatannya masing-masing. Ya, termasuk kamu yang membaca cerita ini. Lakukanlah, apa yang hatimu mau. []

Meidira Amalia Putri W
Surel: widiartodira@gmail.com