Ilustrasi: Nadhifa Fauzia Rahmawati/LPM Kentingan

SITI NURBAYA TAK PERNAH DIMERDEKAKAN

3

Sore itu, masih dengan seragam putih biru yang melekat, aku bergegas menuju deretan ruko yang tak jauh dari sekolahku. Kudapati kabar bahwa saudara sepupu sekaligus teman baikku sedang dilanda resah dan gelisah. Entah seberapa cepat langkahku kemari, hingga toko kecil itu ada di seberang jalan dalam sekejap. Dari kejauhan saja sudah dapat kulihat raut wajahnya yang meredup. Sangat terlihat jika ia sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

 

“Aku dijodohkan,” ujarnya saat aku baru saja menarik kursi di toko tempatnya bekerja. Rasa terkejut melandaku seketika. Kemudian diikuti perasaan bingung dan bimbang secara bersamaan. 

 

“Ah, yang benar saja!” Aku menolak mempercayainya. Saat itu, kupikir ia sedang meniru salah satu adegan novel. Sesaat kemudian aku melihat matanya yang berkaca-kaca. “Serius, kamu pandai sekali bermain peran.”

 

Ia menggelengkan kepalanya tegas, “Aku serius! Pernikahannya tiga bulan lagi.” Suaranya jelas sekali terdengar bergetar.

Tangis yang diiringi dengan isakan pelan mulai tertangkap indera pendengaranku. Wajah pucatnya kini memerah seakan sedang menahan amarah. Jemarinya terkepal dan sesekali menyeka air mata. Saat itulah, aku menyadari keadaannya yang rapuh. Meratapi mimpi-mimpinya yang baru saja tumbuh, namun kini satu per satu mulai runtuh.

 

Aku mengenalnya sebagai Mbak Ayu, usianya baru saja memasuki kepala dua. Ia saudara sepupu sekaligus teman yang berkenan menampung cerita-ceritaku. Kami berdua sesama penyuka novel. Sesekali kami bertukar buku bacaan dan seringkali sengaja kubawakan buku-buku novel dari perpustakaan sekolahku. Dari sekian banyak kesamaan di antara kami, perbedaannya hanya satu: genre novel yang kami suka. 

 

Aku pernah bertanya, “Mengapa Mbak Ayu lebih menyukai novel romansa?”

 

“Sama, seperti alasan mengapa kamu menyukai novel fantasi.”

 

Selalu begitu jawabannya.

 

Saat itu, aku tidak benar-benar paham alasan dibalik ia yang lebih menyukai novel romansa. Aku menyukai genre fantasi karena adanya dunia yang sangat ingin kujadikan tempat tinggal, dimana aku bisa melakukan apapun yang tidak bisa kulakukan di dunia ini. Apa mungkin Mbak Ayu memiliki alasan yang sama? 

 

Entahlah, menurut diriku yang baru saja naik ke kelas delapan, novel romansa sangatlah membosankan. Aku memang tidak pernah benar-benar mengerti alasan sebenarnya orang dewasa menyukai genre itu. Meski begitu, aku tetap membawakan buku-buku bergenre romansa untuk menemaninya menjaga toko. 

 

Sore hari selalu menjadi waktu dimana kami bertemu di salah satu deretan ruko itu. Menemaninya menjaga toko dan bersama-sama membaca novel di saat tidak ada pembeli yang datang. Saat kami sama-sama tenggelam dalam imajinasi, terkadang ia bergumam pelan menanggapi dialog pada novel yang digenggamnya. Sesekali juga ia membacakan dialog-dialog untuk mendalami karakter, hingga merasa seolah-olah ia sendiri yang mengalaminya.

 

“Mengapa dia memilih untuk menikah dan mengorbankankan dirinya sendiri?” Salah satu pertanyaan yang ia gumamkan untuk menanggapi karakter di dalam novel.

 

Dengan gerakan cepat ia menutup novelnya, “Dia memilih menikah dengan Datuk Maringgih demi melunasi utang orang tuanya.”

 

Aku mengangkat pandangan dari buku yang sedang kubaca, “Apa salahnya?”

 

Ia menghela napas berat, tepat setelah aku menyampaikan pertanyaan, “Dengan begitu, ia akan kehilangan banyak hal; keluarga, pemuda sebaik Samsul Bahri, mimpi-mimpinya, dan juga dirinya sendiri.” 

 

Begitulah Mbak Ayu ketika asik mendalami peran dalam novel terkenal berjudul Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai. Buku yang ia baca beberapa bulan lalu, sebelum mendapati kabar mengenai perjodohannya.

 

Ah, perjodohan itu. 

 

Istilah yang lebih tepat jika disebut sebagai pernikahan paksa ini adalah perjodohan atas dasar keinginan Pakde dan Budeku—yang merupakan orangtua Mbak Ayu. Besar sekali impian mereka untuk menggelar pesta. Dengan tujuan mendapat uang sumbangan, melunasi utang, dan menutup mulut penggosip yang menyebut Mbak Ayu sebagai ‘perawan tua’. Kultur desa yang harusnya lenyap sejak lima dekade lalu. 

 

Kini, aku mencoba kembali memaknai kisah Siti Nurbaya. Ingatanku terbawa kembali ke masa dimana Mbak Ayu bertanya-tanya mengenai sikap Siti Nurbaya yang terpaksa menikahi Datuk Maringgih. Ah, kisah Mbak Ayu bahkan lebih menyedihkan dari dongeng Siti Nurbaya. 

 

“Aku tidak mau mengulang kisah Siti Nurbaya,” ungkapnya masih dengan tangisan yang pedih.

 

“Namun, aku benar-benar tidak mampu melawan kehendak Bapak dan Ibuku.” 

 

Siti Nurbaya bahkan masih beruntung sempat dicintai oleh laki-laki pujaannya. Berbeda dengan Mbak Ayu yang tidak pernah sekalipun merasakan indahnya jatuh cinta. Tidak juga diberi kesempatan untuk memilih. 

 

Namun, kisah antara Siti Nurbaya dan Mbak Ayu tetap memiliki kesamaan. Mereka tidak pernah dimerdekakan, hanya semakin dimodernkan, dan pernikahan paksa justru diromantisasi dengan istilah perjodohan.

 

Penulis: Marshamada Harvenya. Mahasiswa Ilmu Teknologi Pangan yang mencoba menulis.

Editor: Jasmine Aura Arinda