Bangun pagi-pagi buta, pakai seragam yang itu-itu aja, dan patuh sama peraturan yang kadang bikin geleng-geleng kepala. Mungkin adik-adik siswa sekolah menengah sering sambat, kenapa sih harus begini?
Kalau memakai (filsafat) aliran strukturalisme-nya Ferdinand de Saussure, ada beberapa hal yang menjadi alasan atas diri kita yang selama ini diminta untuk disiplin dan “tunduk” pada sistem. Manusia itu hakikatnya makhluk yang bebas dan tidak terikat oleh aturan maupun struktur yang ada. Namun, si paham strukturalis menyebut struktur atau sistem memiliki prioritas atas bagian yang membentuk sistem itu sendiri.
“Seragam adalah Simbol Ketertindasan”
Mungkin benar, tapi bayangkan kalau tidak ada seragam: si anak dari keluarga mampu bisa datang dengan pakaian yang necis, wangi, dan modis. Sedangkan, si anak yang kurang mampu terpaksa memakai baju seadanya. Tanpa disadari, ini menciptakan kelas sosial yang kentara di lingkungan sekolah—yang jelas nggak baik buat perkembangan psikologis anak-anak.
Begitu juga dengan rambut. Konvensi sosial menyebutkan bahwa rambut shaggy ala-ala Kento Yamazaki itu buat si wibu atau si culun, sementara rambut gondrong itu buat si onverschillig dan pencopet. Perbedaan ini bisa menciptakan kasta dalam lingkungan. Akhirnya, beberapa sekolah, perusahaan, dan (hampir) seluruh instansi menerapkan aturan bahwa laki-laki harus memiliki rambut dengan panjang tidak lebih dari tiga sentimeter.
Sistem Ranking di Sekolah: Apresiasi atau Overkompetitif?
Nah, masuk ke soal ranking. Sistem ranking di sekolah sering dianggap memicu kompetisi tidak sehat. Memang sangat disayangkan banyak guru dan wali murid mendewakan ranking di atas segalanya. Namun, jika kita tengok ke belakang, sistem ini sebenarnya dimulai sebagai bentuk apresiasi. Ketika semua sudah dijunjung tinggi dalam kesetaraan, ranking diciptakan untuk mengapresiasi murid yang unggul dalam akademis. Sayangnya, sistem ini kerap kali disalahgunakan, membuat lingkungan menjadi overkompetitif dan memaksa anak harus jago di semua bidang.
Banyak yang berpendapat kalau sistem hadiah (apresiasi) dan hukuman menciptakan pelajar yang hanya patuh karena takut hukuman, bukannya karena kesadaran diri. Benar, kita butuh generasi kritis, bukan generasi yang manut karena takut dihukum. Hm, tapi gimana caranya mengatasi anak-anak yang merokok di WC belakang sekolah, cabut mata pelajaran untuk tiduran di kursi kantin, atau lompat pagar untuk kabur dari sekolah?
Dibiarkan? Itu namanya ignorant. Dikeluarkan? Wali murid pasti protes. Kita perlu solusi yang lebih dari sekadar hukuman dan hadiah. Mungkin perlu pendekatan yang lebih humanis dengan memahami alasan mereka bertingkah seperti itu. Jawaban mereka sering kali terpusat pada “kesenangan sesaat” dan “nggak tahu arah.” Artinya, tingkat kesadaran mereka rendah.
Kedisiplinan harus berasal dari kesadaran, bukan ketakutan. Namun, anak-anak yang tidak tahu arah, minat, atau tujuan kerap kesulitan untuk mencapai kesadaran ini. Maka, peran sekolah adalah membantu mereka menemukan arah dan tujuan, bukan hanya menghukum mereka atas ketidaktahuan.
Lantas, Kenapa Mahasiswa Lebih Bebas dalam Berpenampilan?
Kami (mahasiswa) ini sebenarnya nggak bebas-bebas banget. Memang kami terlihat bisa memakai outfit bebas ke kampus, tapi sebenarnya kami masih terikat peraturan. Beberapa kampus melarang mahasiswanya memakai jeans, memakai kaos oblong, dan wajib memakai sepatu. Bahkan kami juga terikat seragam seperti almamater dan pakaian organisasi ketika melakukan kegiatan terkait. Silakan tanya ke abang-abang gondrong, apakah rambut mereka tetap bertahan kalau waktu magang sudah memanggil?
***
Penganut strukturalisme itu secara sederhana menganggap, “sesuatu hal itu ada karena ada penyebabnya.” Kalau kita melihat kedisiplinan sekolah, kita harus paham bahwa konsep ini punya maksud baik dalam konteksnya. Kalau cara menegakkannya salah, maka itulah yang harus diubah, bukan konsep kedisiplinannya.
Penulis: Dioziando Wirabuana Pratama, gondrong tapi pengen lulus 3,5 tahun.
Editor: Jasmine Aura Arinda