Sinetron

Oleh: Hanputro Widyono

 

“Nek ora ning sinetron, ora enek!”

 

ORANG SERING MERASA kesal, bosan, atau bahkan jijik dengan sinetron-sinetron di Indonesia. Kualitas penggarapan tontonan yang tayang tiap hari dan hampir sepanjang malam itu dinilai jelek, asal, tanpa banyak pertimbangan. Alur cerita yang dibawakan seringnya juga mirip-mirip dan bisa ditebak. Bermula dari cinta tak dianggap, berakhir hidup bahagia bersama.

 

Orang-orang yang telanjur biasa menikmati film-film, jadi emoh menonton film. Tapi bagi yang gandrung sinetron, mereka tidak terganggu dengan segala kekurangan sinetron-sinetron di depan matanya. Mereka bisa ikhlas lillahitaala mengosongkan jadwal buat menonton sinetron kesayangan.

 

Di rumah, setiap malam saya dan bapak hampir selalu kalah sama ibu dalam urusan menguasai televisi. Ibu adalah penonton sinetron tulen. Tak bisa saya hitung lagi berapa judul sinetron yang sudah ditonton ibu: Surga yang Kedua, Anugerah Cinta, Dunia Terbalik, dan sekarang Berkah Cinta.

 

Sinetron-sinetron tampaknya memang tak mumpuni buat dijadikan suri teladan bagi para penontonnya. Rata-rata mereka menampilkan kehidupan masyarakat kelas menengah ke atas. Tokoh-tokoh sering tak “serius” bekerja, tapi bisa hidup bergelimang harta. Satu-satunya yang tampak serius mereka perjuangkan, cinta! Tiada hari dan episode tanpa perjuangan meraih cinta.

 

Haru biru jadi pemandangan biasa, bahkan tak sungkan meneteskan air mata jika cerita keterlaluan mengiris hati. Emosi penonton dipermainkan dari kejauhan. Penonton terkadang juga ikut kesal saat melihat tokoh antagonis tampil dan tak berhenti menyiksa si tokoh utama yang lugu, baik hati, berparas rupawan.

 

Lewat interaksi yang dijalin lewat akun media sosial, penonton yang tersebar di pelbagai daerah di Indonesia bisa saling menumpahkan perasaan, juga memberikan dukungan pada para tokoh dalam cerita. Penonton di rumah pun tak segan memuntahkan sumpah serapah pada si antagonis. Kita sadar, sinetron hanyalah suatu karya fiktif. Namun dampak emosi yang terasakan bisa merambat ke dalam rumah-rumah penontonnya.

 

Beberapa bulan silam, ada berita mencengangkan di Jawapos terkait dengan sinetron. Seorang ibu dibunuh oleh suaminya lantaran terlalu asyik menonton sinetron dan tak menggubris panggilan telepon suaminya. Telepon penting. Hingga si suami pulang ke rumah, istrinya masih duduk tenang di depan televisi seakan tak ingin ketinggalan episode penting. Terjadilah kejadian nahas itu.

 

Selama ini, kita mungkin tak membayangkan, sinetron bisa jadi penyebab kasus pembunuhan. Tapi hidup kan juga “panggung sandiwara”. Kita pun berhak mengatakan, “Nek ora ning donya, ya ora enek!” []

 


Hanputro Widyono. Penonton sinetron.