Mereka memperkenalkannya dengan nama “KINE Gelar Layar”. Sebuah program kerja baru dari klub film KINE KLUB FISIP UNS berupa pemutaran karya-karya lokal yang dilanjutkan dengan sesi diskusi bersama pelaku terkait. Ini menjadi kali pertama KINE dalam menghadirkan pagelaran apresiasi istimewa berskala umum setelah sebelumnya sempat dilanda ombak pandemi dan terombang-ambing dalam nasib yang tak pasti. Mengusung tema utama “Ragam Budaya dalam Bingkai Sinema”, KINE Gelar Layar dicitakan mampu menjadi ajang untuk menjalin lebih banyak relasi dan memberikan inspirasi kepada para sineas-sineas muda tanah air dalam melanjutkan rantai estafet pelestarian budaya melalui perspektif yang kreatif.
Tiga Potret yang Berbeda
Volume pertama dari KINE Gelar Layar ini menggandeng tiga sutradara muda yang karyanya sudah kerap wira-wiri di berbagai program penghargaan film. Bara Api Sriwedari dipilih sebagai pembuka. Ide cerita yang lahir dari kepala Aldo Fredo dan kawan-kawan berhasil membuat para penonton malam itu (30/9) menghadiahi dokumenter tersebut dengan tepuk tangan yang meriah. Suasana pilu dan trenyuh sempat menyisipi hati penonton pula kala film sampai pada fragmen yang menyuratkan isi hati Billy (sebagai aktor utama) perihal seni dan seluruh dinamika tradisi wayang orang Sriwedari selama ini.
“Aku setuju kalau film itu merupakan bentuk keresahan dari sutradaranya. Bara Api Sriwedari ini juga lahir karena aku wondering: emang ada ya yang mau nonton pertunjukan budaya setiap hari? Itulah kenapa akhirnya aku dateng ke sana, riset, dan sebagainya. Sekarang akhirnya keresahanku itu terjawab. Buktinya Sriwedari selalu penuh terus. Penontonnya selalu ada, bahkan pemainnya juga muda-muda,” tutur Aldo.
Ketika Maramba menjadi film kedua yang diputar, atmosfer sekitar berganti lebih sakral, hawa yang tercipta jauh lebih ‘serius’ dari sebelumnya. Entah karena cerita yang diangkat memang memuat tradisi yang sangat kental atau, saking menariknya, semesta juga ingin ikut ambil bagian dalam penayangan malam itu. Mengisahkan tentang ritual Marapu atau pemakaman Raja Sumba, Maramba sukses memperlihatkan setiap detail dari upacara suci tersebut kepada para penonton. Suara latar belakang yang riuh turut menyihir kami untuk terus memasang mata pada adegan demi adegan yang tersaji.
Kepada penonton, Riandhani Yudha, selaku sutradara, membagikan pula cerita-cerita unik di balik proses produksi film yang telah melalang buana hingga ke Festival Film Cannes, Perancis itu.
“Sebenernya, ketika pertama kali datang ke sana saya nggak diperbolehkan untuk syuting karena upacara ini sangat sakral. Coba cari deh dokumen, bahkan jurnal sekalipun, nggak ada yang sekomplit film ini,” ucapannya terjeda sejenak. “Waktu syuting, kru saya hanya empat orang dan itu petani semua, orang Sumba asli. Dua minggu sebelum syuting saya terbang dulu ke sana dan bikin workshop untuk mereka. Ketika syuting, saya juga menggaji mereka per hari. Bedanya mereka nggak nyangkul, tapi bawain kamera, bawain barang-barang saya, buka-tutup lensa, bahkan ketika saya minta tolong ambilin lensa sekian, dia udah tau.”
Laki-laki dengan balutan kaos hitam dan light jeans itu tidak mampu menyembunyikan ekspresi bahagianya kala memorinya kembali mengingat-ingat banyak hal yang ia lalui selama proses produksi Maramba.
“Kalau ngomongin proses, panjang banget ya. Karena awalnya ini nggak boleh didokumentasikan, jadinya ada 13 dukun di desa tersebut yang membacakan doa apakah saya bisa diterima atau nggak (di sana). Doanya itu dari jam 9 malem sampai jam 5 pagi, nggak boleh tidur, nggak boleh ke toilet. Saya juga diminta untuk beli sendiri antara babi atau ayam. Dan akhirnya, malam itu ketiga belas dukun yang mendoakan tadi mengizinkan saya. Saya diangkat menjadi kasta Maramba, udah dianggap selevel raja, kalau di sini ya sultan atau ningrat,” ungkap Rian yang langsung dibalas dengan gema tepuk tangan dan kalimat pujian yang saling bersahutan. Menyadarkan kami bahwa totalitas memang selalu hadir dalam setiap karya yang luar biasa dan semesta akan selalu berpihak pada mereka yang memiliki ketulusan dalam hatinya.
Di urutan terakhir, Basiyat hadir sebagai penutup yang apik. Film yang diangkat dari cerita pendek berjudul ‘Mandikan Mayatku dengan Tuak’ ciptaan M. Shoim ini memiliki perbedaan dari dua sebelumnya yang bernotabene dokumenter. Budaya Madura sangat lekat dengan karya yang berhasil menerobos gerbang nominasi Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) kategori film cerita pendek terbaik 2022 ini. Dapat dilihat dari pemakaian bahasa Madura dalam dialog sejak awal hingga akhir, kesenian yang dimainkan, hingga rumah adat Madura yang dijadikan sebagai latar tempat, memberikan kesan tersendiri yang sangat kuat.
“Latar belakang dari film Basiyat ini diciptakan karena saya lahir dari daerah Kabupaten Sumenep, Madura. Saya pengen eksperimen, coba ah orang Madura bikin film Madura. Saya ingin memotret Madura ini dari kacamata seorang filmmaker,” ungkap Ahmad Faiz, sang sutradara, ketika ditanya terkait alasan di balik penciptaan Basiyat.
Tafsir Budaya dalam Kacamata Mereka
Kian malam, kian menyenangkan. Gelar wicara sukses menarik penonton untuk larut dalam obrolan seru antar pelaku sinema. Satu per satu dari mereka menyuarakan perspektifnya mengenai tema besar yang dibicarakan malam ini. Mencoba memberi jawaban atas pertanyaan perihal letak perbedaan produksi film bertemakan budaya dengan yang tidak, antara film dokumenter dengan yang tidak. Kali ini, Faiz menjadi orang pertama yang menyampaikan.
“Tentu ada pembedanya. Bagiku, perspektif itu ada karena hasil dari pikiran kita. Kebudayaan terjadi karena kepercayaan dan peristiwa yang diulang.”
Ia kemudian menyajikan contoh singkat yang mudah dipahami oleh seluruh penonton. Mengandaikan terdapat sebuah film dengan latar ibukota dan satu lagi film yang mengangkat kebudayaan Jawa. Faiz percaya bahwa dua hal itu pasti akan diambil dengan cara yang berbeda, proses yang berbeda, dan sudah barang tentu perspektif yang berbeda pula. Baginya, perbedaan-perbedaan tersebut lahir dari si manusianya sendiri, bagaimana ia meletakkan kacamata dan membaca makna-makna di sana.
Masih dengan gaya bicaranya yang komikal, Faiz juga menambahkan mengenai hadirnya faktor eksternal yang turut berperan dalam menciptakan perbedaan di tiap-tiap proses produksi film.
“Kalau kendala, cuaca, gitu normal sih, itu malah tantangan. Entah kenapa aku mempercayai bahwa film yang diproduksi ketika hujan itu akan laris. Contohnya Laskar Pelangi yang harus molor berbulan-bulan karena hujan, tapi buktinya dia jadi legenda sampai sekarang.”
Lain halnya dengan Faiz, penuturan Aldo lebih menekankan pada perbedaan dalam segi non-teknis. Ia mengatakan ketika seorang pembuat film sudah memutuskan untuk membuat dokumenter, maka itu artinya mereka siap mendedikasikan waktu untuk meliput manusia, meliput apapun kegiatannya.
“Yang paling membedakan adalah timeline sih, seperti di film ini. Kita meliput satu subjek alias Mas Billy dan kita nggak bisa dong minta ‘mas, nanti begini ya’, ‘mas hari ini tolong gini ya’. Apalagi waktu itu ada saat dimana istrinya Mas Billy lahiran, kita nggak bisa nge-set juga kan. Jadi, yang awalnya shooting cuma buat workshop dan mikirnya satu minggu bisa kelar, eh malah jadi satu bulan.”
Selanjutnya, moderator juga meminta tiga sutradara ini untuk memberikan pandangan mereka mengenai konektivitas antara budaya dan sinema. Faiz menjawab bahwa dua hal tersebut tidak ada hubungannya sama sekali. Kalau ada, mungkin sebatas dikait-kaitkan, sebab budaya itu berdiri sendiri, sedangkan film hanya sebagai media saja. Begitu pula dengan Rian. Baginya, sinema hanyalah medium yang membalut budaya agar terlihat lebih cantik dari sebelumnya.
Jangan Takut Bersinema
Dua setengah jam berlalu sangat cepat. Perbincangan—yang kalau kata anak muda zaman sekarang dilabeli dengan istilah sangat daging—ini terpaksa harus berakhir setelah diskusi interaktif dengan para penonton selesai dilakukan. Membuktikan bahwa mereka yang duduk di tribun sejak pukul tujuh tadi juga sangat menikmati dan tertarik untuk mengulik lebih dalam perihal sinema dan budaya.
“Setelah mendengar hasil diskusi, jujur sebenarnya aku ada sih keinginan bikin film,” ujar Bintang, salah satu penonton, dengan disusul tawa renyahnya. “Karena diskusinya seru, bisa tahu behind story film mereka seperti apa, bisa membandingkan dari ketiga latar belakang, tingkat kesulitannya, terus aku bisa menilai juga bahwa bikin film ternyata ada yang mudah, susah, dan sangat susah,” sambung seorang mahasiswa program studi Sosiologi itu. Ia turut mengungkapkan bahwa acara ini sukses mendulang rasa penasaran ke dalam dirinya untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi mengenai budaya-budaya di Indonesia.
Hal ini selaras dengan harapan yang dilambungkan oleh para panitia. Petrus Pandu, selaku ketua pelaksana dari acara KINE Gelar Layar, mengaku menyemogakan para penonton mampu memahami alasan di balik pemilihan tema budaya kali ini.
“Harapannya semoga audiens bisa paham kenapa kita memilih tema (yang intinya sinema bisa mempromosikan beragam budaya yang ada di Indonesia) ini. Semoga temen-temen juga jadi lebih mengapresiasi karya-karya Indonesia, terutama yang memiliki tema budaya.”
Sebelum benar-benar disudahi, ketiga sutradara muda tersebut menyampaikan sebuah pernyataan penutup mereka secara bergantian. Para penonton ikut membenarkan posisi duduk, merapihkan penampilan, dan kembali memasang telinga untuk mengabadikan momen-momen terakhir. Aldo memulainya dengan diselingi kata-kata berupa candaan, tapi tetap tidak menghilangkan esensi dari kalimat sebenarnya.
“Bikin film menyenangkan. Aku selalu mengampanyekan itu. Selama ini bikin film juga nggak pernah kapok. Kadang rugi, kadang berhasil, beragam lah.” Ia menambahkan pula bahwa proses produksi film akan membawa kita pada cerita-cerita baru. Mulai dari banyaknya kru yang ditemui, talenta-talenta berbeda di setiap proyek, hingga akhirnya masuk ke dalam suatu lingkungan baru yang sangat seru. “Jadi, kalau di pengalamanku, film sangat membuat hidupku lebih berwarna.”
Seperti yang sudah-sudah, nasihat Faiz untuk para pelaku sinema kembali disajikan dalam balutan analogi. Dua kata kunci yang kemudian menjadi sorotan adalah ramuan dan etalase. Baginya, membuat film itu ada ramuannya, tidak asal. Ketika ramuan pertama belum berhasil, coba buat ide cerita yang kedua. Ketika masih belum berhasil juga, olah lagi. Tulis ide cerita sebanyak mungkin. Ibaratkan ia sebagai etalase yang memamerkan beragam proses menarik kepada banyak orang untuk selanjutnya dibenahi bersama.
“Jangan kapok dan terus belajar. Kalau nggak belajar, kamu akan jadi manusia yang membosankan. Omongan kamu cuma monoton di situ aja. Pun, jangan pernah merasa film buatanmu paling bagus, karena kalau wes mentok, koe gak gelem sinau meneh.”
Rian menjadi yang terakhir berbicara. Meskipun kalimat penutupnya tidak sebanyak Aldo ataupun Faiz, tapi perkataannya cukup membuat penonton lagi-lagi merekahkan senyum mereka dan mengangguk setuju. Ia mempersuasi penonton untuk membuat film berdasarkan keresahan mereka sehingga nantinya akan tercipta perspektif-perspektif yang berbeda. Faiz dan dirinya dijadikan sebagai contoh nyata. Faiz dengan potret budaya Madura dan Rian yang lebih berfokus pada tradisi-tradisi timur. Keinginannya untuk menggaungkan suara orang-orang di sana lantas menjadikan laki-laki kelahiran Jogja itu melahirkan sebuah dokumenter yang diberi nama Etanan.
“Terus berkarya dengan jujur. Bisa jadi karya itu nanti yang akan menuntun kalian untuk melangkah ke arah mana.”
Penulis: Jasmine Aura Arinda
Editor: Diah Puspaningrum