“MUNDUR KALIAN, jangan berani-berani mendekat”
Dia mengacungkan moncong pisaunya dan mengarahkan ke segala penjuru dengan membabi buta. Tangannya yang basah menggenggam pisau dengan erat, dahinya mulai berkeringat, dan kakinya bergemetar. Mirip sekali dengan penjahat yang kulihat di film kemarin. Mungkin bedanya ini, dia tidak berjaket kulit hitam dan tidak dengan noda darah pada pisaunya melainkan hanya bekas selai stroberi.
“Kamu sudah benar-benar gila ya?”
“Kubilang mundur!!”
Mungkin sekarang otaknya benar-benar sudah tidak waras atau otaknya sudah kemasukan kecoa saat dia tidur sehingga bagian otaknya sudah tidak lengkap. Sejak satu minggu yang lalu dia bersikap seperti orang tidak waras. Meskipun dari wajahnya memang berpotensi untuk menjadi orang tidak waras, namun ini di luar kebiasaannya yang selalu duduk sendiri di pojok belakang kelas dan hemat bicara.
Memang kadang seseorang seperti dia bisa dicurigai tidak waras, namun selama ini kurasa dia baik-baik saja. Dia tidak pernah mengobrol dengan sampul buku atau dengan penggaris dan benda mati lainnya. Dia juga tak pernah berbicara sendiri lalu tertawa lalu menangis lalu berbicara sendiri lagi.
Dia masih normal setidaknya sampai senin minggu lalu. Setelah bel tanda masuk dibunyikan, dia terus berjalan menyamping ke kanan lalu ke kiri tanpa pernah berjalan ke depan ataupun ke belakang. Dia juga mulai berbicara aneh saat pelajaran Bu Jenni.
“Ya anak-anak semua sudah paham tentang rumus segitiga?”
“Pahaaaammm” jawab serentak murid-murid kecuali Anton
“Anton kamu sudah paham?”
“Uang, uang, uang, uang” sontak seluruh isi kelas penuh dengan suara gelak tawa
“Kamu tidak memperhatikan ya?”
“Uang, uang, uang?”
Seperti halnya radio rusak yang selalu mengulang kata yang diucapkan. Anton hanya dapat mengatakan “uang” hingga jam sekolah berakhir. Aku jadi teringat tokoh kartun berbentuk kepiting dan selalu mengatakan uang. Aku lupa nama tokohnya, namun aku sering melihatnya di TV. Ngomong-ngomong soal kepiting, aku jadi teringat sesuatu.
*
“Hallo bi, seperti biasa ya”
“Eh kamu, siap dong”
Ayah memang sering mengajak makan di warung crab milik Bi Sri apalagi tiap hari libur. Aku juga sering melihat Anton membantu membersihkan meja atau mengantarkan makanan ke meja pelanggan. Tak jarang aku menyapanya, namun dia memang hemat bicara. Aku merasa tak beda halnya dengan kacang. Tidak penting untuk di tanggapi.
“Sudah ketemu Anton?”
“Sudah bi barusan”
“Sering-sering diajak main ya, bibi takut Anton nggak punya teman”
“Siiaapp bi”
“Makasih ya sayang” sambil tangannya mengusap-usap kepalaku.
Bibi yang bertubuh tambun, rambutnya selalu diikat, dan selalu memakai celemek coklat bertuliskan i love crab. Memang terlihat ramah dengan simpul senyum di pipinya. Sungguh sosok bibi dan ibu yang baik hati.
Akhir-akhir ini bibi jarang terlihat. Biasanya bibi akan lewat depan rumahku dengan membawa setumpuk kepiting dari arah pasar. Warungnya juga tutup akhir-akhir ini, padahal warungnya selalu sesak dipenuhi orang tiap malam. Menyantap kepiting di sana memang selalu menyenangkan kecuali saat ada pria besar hitam yang datang marah-marah merusak selera makan.
***
“Aaaaaaaaaagggh” teriakan melengking yang hampir buat gendang telingaku pecah
“Mundurr!!!” Semua mundur secara teratur menjauhi si gila
Anton mengarahkan moncong pisaunya ke bawah hingga menempel tepat pada perutnya. Sepertinya dia ingin merobek bagian perutnya lalu melakukan operasi usus buntu dengan pisau rotinya. Sebenarnya kejadian seperti ini bukanlah yang pertama. Tepatnya sudah yang kedua kalinya dalam seminggu ini.
*
“Laaaarrriiiiiii ada vampirrr” semua berlari membubarkan diri berhamburan
Waktu itu matahari sedang tersenyum riang kepada kami. Banyak sampah plastik bekas es teh menumpuk di tempat sampah. Saat istirahat ke dua setelah pelajaran Pak Romli, saat itu Anton yang jadi vampir.
“Lompat dong, jangan curang” celetuk Radit
“Hrrrggghhhh” tanda bahwa dia mengiyakan apa kata Radit.
Radit berlari menuju lorong. Dahinya berkeringat. Nafasnya sudah terengah-engah.
Radit terus berlari, sesekali menyeka keringat di dahi.
Anton mengikutinya dengan melompat.
Rdit menoleh ke belakang.
Anton tertinggal cukup jauh.
Radit memelankan larinya lalu mengatur nafasnya
Anton terus melompat mengikuti, semakin panjang lompatannya.
Radit harus berlari lagi, tapi sudah tak sanggup lagi. Dia putuskan untuk berjalan. Berbelok ke kanan
Anton mengikuti dan ikut berbelok
Ruangan berukuran 4 x 4. Hanya ada berkas cahaya dari ventilasi. Sesak, dipenuhi kursi dan meja tak tepakai. Tidak ada celah untuk kabur. Radit terpojok.
Anton menemukan Radit. Kedua tangannya teracungkan kedepan. Siap memangsa buruannya.
“Aku menyerah, aku ganti yang jadi”
Anton semakin dekat dengan Radit. Kedua tangannya sudah menempel pada leher Radit. Tanganya mencengkeram degan kuat. Radit hampir kehabisan nafas.
Anton mengahadap wali kelas ditemani Mang Rusdin dan juga Radit. Mang Rusdin menceritakan kejadiannya. Mang Rusdin datang tepat waktu sebelum satu nyawa hilang.
*
Bel tanda masuk kelas belum juga berdering. Situasi semakin genting. Semua mata memperhatikan Anton. Menunggu apa selanjutnya. Dari arah pintu kelas Doni masuk. Wajahnya santai dan terlihat tenang. Dia mengambil ancang-ancang.
“Dubrakkkkkkk” Anton terjatuh dan pisaunya terlempar.
“Perfectoo” Doni membalikan badan seperti pahlawan yang baru saja menyelesaikan misinya. Penonton terpukau. Tepuk tangan yang meriah untuk menyambut sang pahalawan.
*
MAYAT WANITA DITEMUKAN DI HALAMAN RUMAH
Senin (22/1) di Jawa barat. Sesosok mayat wanita ditemukan di halaman rumahya sendiri, Banyumili, Kabupaten Cirebon. Kejadian ini mengagetkan warga sekitar.
Mayat wanita tersebut diketahui bernama Sri Puspita (43). Saat ditemukan mayat memakai pakian lengkap. Adanya bekas luka pada leher dan ditemukannya pisau yang ikut terkubur. Mengidentifikasikan bahwa mayat adalah korban pembunuhan.
Menurut warga sekitar korban tidak terlihat sejak seminggu sebelumnya. Diduga adanya KDRT yang dilakukan oleh suaminya lantaran desakan ekonomi. Berikut kronologi kejadian pembunuhan menurut kepolisian . . . bersambung hal 8 kolom 4