LPM Kentingan/Alifia Nur Aziza

Sesederhana Joli-Jolan Melawan Arus Konsumerisme

1

Wanita dewasa berkaos kuning dan bercelana jeans, serta pria seumuran mengenakan batik usai kondangan. Sederhana. Selaras dengan usaha yang mereka ikhtiarkan melalui Joli-Jolan. Gerakan kolektif melawan konsumerisme yang saya temukan tanpa sengaja saat sibuk pindah rumah dan memilah barang-barang.

Berangkat dari Keprihatinan

Sabtu (3/8), saya berkunjung ke Ruang Solidaritas Joli-Jolan yang buka satu minggu sekali di sebuah teras rumah yang sudah disulap menjadi galeri. Cukup mudah menemukan rumah tersebut di Jalan Siwalan, sebab tepat berada di deretan belakang RS Panti Waluyo, Solo. Meskipun saya datang dua jam setelah dibuka mulai pukul 10 pagi, masih banyak sekumpulan orang yang berkeliling memilah barang.

Sempat saya menelusuri barang-barang yang ada di penjuru galeri, sebelum akhirnya duduk dan berbincang dengan dua inisiator komunitas. Bermacam-macam pajangan memanjakan mata, mulai dari pakaian, peralatan sekolah, peralatan rumah tangga, mainan, hingga buku bacaan. Barang-barang tersebut adalah barang limited edition yang sengaja diperpanjang usianya oleh Joli-Jolan.

Banyak pertanyaan yang nangkring di benak saya saat pertama kali menemukan Joli-Jolan ini. Sebab sebagai suatu komunitas charity, mereka tak memiliki sponsor pribadi. Kemudian kalau mau dibilang jualan, uang yang dikumpulkan bukan untuk mendapuk keuntungan.

“Joli-Jolan, satu ruang gerak solidaritas. Satu ruang, menampung banyak orang, bukan arti shelter, itu bukan. Akan tetapi, kita mengakomodir kegiatan sosial di sini, utamanya dalam hal barter barang,” jawaban pembuka yang dilontarkan oleh Septina Setyaningrum, salah satu inisiator Joli-Jolan. 

Kami duduk di depan gerbang rumah yang sebelumnya sempat digunakan untuk membagikan sembako. Saat saya datang, sih, sudah ludes. Katanya memang sudah ramai orang menunggu sebelum waktunya dibuka, sehingga sembako yang dipajang terbatas itu acapkali jadi rayahan para warga.

“Jadi memang awal mula Joli-Jolan didirikan itu berangkat dari rasa keprihatinan kami atas konsumerisme. Konsumerisme sudah menjadi budaya di diri kita, tanpa kita sadari,” ucap Mbak Septi, “Sebenarnya kita nggak butuh, kita ingin aja, kita beli dan selalu seperti itu. Sehingga banyak barang yang pada akhirnya, kan, masih dalam kondisi baik dan sebagainya, malah dibuang. Seharusnya kita masih bisa memperpanjang usia barang, usia manfaatnya, supaya tidak cepat menimbulkan adanya timbunan sampah,” lanjutnya.

Perbincangan kami sempat tertunda, saat Mbak Septi harus membantu salah satu pengunjung bule yang entah bagaimana mampir ke galeri. “Biar nggak dikira thrifting,” tuturnya. Melalui berbagai pengalaman dan kiprahnya, tentu ia sudah tidak asing dengan bahasa Inggris. Obrolan mengedukasi dengan mahasiswi bule asal Spanyol tersebut tak disangka malah mampu menggaetnya masuk menjadi anggota Joli-Jolan.

Chrisna Chanis Cara, salah satu inisiator lainnya, kemudian mengajak saya duduk lesehan di bawah pohon yang setelahnya disusul Mbak Septi. Ternyata, keduanya bertemu saat Mas Chrisna masih bekerja sebagai wartawan Solopos dan Mbak Septi yang sudah lama bergerak sebagai pemerhati lingkungan, menjadi narasumbernya. Mereka akhirnya memutuskan membentuk Joli-Jolan setelah diskusi panjang atas kepedulian mereka terhadap lingkungan.

Gerakan ini diadopsi dari gerakan di Yunani bernama Skoros. Mas Chrisna dan kawan-kawan kemudian menjadikan nama “Joli-Jolan” sebagai konsep awal. Diambil dari bahasa jawa, ijol-ijolan berarti tukar-menukar. Dari situlah, terbentuk ruang solidaritas yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan barter dan berbagi barang secara gratis.

 

Bukan Sembarang Barter

Joli-Jolan bukan hanya ruang untuk melakukan barter, tetapi juga melakukan gerakan kecil untuk membantu mereduksi perubahan iklim. Saya pun dibuat setuju dengan pernyataan di atas. Melihat keadaan lingkungan yang bisa dibilang sudah cukup jauh dari kata stabil, setidaknya harus ada yang berani memulai untuk melawan.

Baik Mbak Septi maupun Mas Chrisna, keduanya sama-sama bersemangat kalau sudah menyangkut lingkungan. Selama mengobrol, saya seperti tengah mengikuti kuliah 2 sks, banyak ilmu yang saya simpan untuk diindahkan.

“Sebenarnya kita sasarannya bukan masyarakat kalangan bawah, ya. Kita, tuh, pengennya menyasar minimal kalangan menengah bisa mempraktikkan gerakan ini juga,” jelas Mas Chrisna, “jadi dalam artian, orang nggak perlu beli, apa pun itu, pakaian, tas, selama kita masih bisa mengambil, bertukar barang dengan teman, lingkungan sekitar, ya, lakukanlah itu. Karena selain secara ekonomi lebih hemat, itu gerakan sederhana untuk menyelamatkan tadi, lingkungan,” lanjutnya.

Tentu, sudah banyak masyarakat yang berkunjung ke galeri mereka, bahkan tidak hanya sekali dua kali. Mbak Septi sampai menyebutnya sebagai efek “ketergantungan” untuk sebagian orang. Menurut ceritanya, kadang ada yang setiap bulan datang, ada yang satu keluarga datang semua supaya bisa mengambil lebih banyak, ada juga yang datang saat sedang membutuhkan barang. Mereka mencoba menekan dengan aturan mengambil satu orang maksimal tiga barang dan satu orang maksimal mengambil satu makanan. Dengan catatan, sebaiknya mengambil secukupnya saja.

Namun, alih-alih menganggapnya negatif, Mbak Septi justru melihat hal tersebut sebagai bonus. Bagaimanapun juga, barang-barang yang terkadang sampai berkelimpahan itu bisa segera diputar melalui mereka yang kerap berkunjung. Tak jarang, Joli-Jolan membawa barang-barang yang ada ke berbagai rusunawa.

Lagi pula, sedikit demi sedikit visi yang mereka bawa semakin menunjukkan titik terang. Dimulai dengan munculnya orang-orang yang ikut menduplikasi gerakan mereka dengan nama pribadi masing-masing. Sebut saja yang sudah ikut membuka galeri di Pengging, Jaten, sampai di Jogja, dan Samarinda. 

“Dengan memperpanjang usia barang itu, menurutku sangat penting, ya. Kalau satu orang mungkin nggak terasa, tapi kalau kolektif itu pasti terasa. Apalagi kalau ada influencer yang menangkap ide ini, bakal jadi gerakan yang masif,” kata Mas Chrisna.

 

Sepak Terjang Aksi Sosial

Asik berbincang, Mbak Septi membeberkan bahwa dirinya sempat “ngamuk” pagi tadi ke salah satu pengunjung. Bukan tanpa sebab, dirinya geram saat melihat pengunjung yang kurang prihatin. Selain ada yang serakah, ada pula yang enggan merapikan kembali barang-barang yang sempat diambil.

“Ambil baju, bar-bar, ora dibalekke neh, bajune koyok nang Matahari, diudal-udal itu loh. Tadi, kan, saking riweh-nya, relawan belum banyak yang datang, terus aku ngamuk. Yo saiki wes ngguyu, wes akeh relawane,” ujarnya dibarengi gelak tawa menunjukkan amarahnya telah sirna.

Kejadian tersebut tidak hanya terjadi hari itu saja, bisa dibilang sudah menjadi rutinitas mereka pula menghadapi pengunjung yang bermacam-macam setiap minggunya. Tak sampai di situ, mau tidak mau mereka juga masih harus bersinggungan dengan kendala barang-barang yang disumbangkan.

“Kalau saya sekarang satu ton lebih per bulan. Lebih dari satu ton,” tegas Mbak Septi saat saya tanya soal banyaknya barang yang diterima oleh Joli-Jolan. Tentu saja, saya dibuat kaget dengan angka yang cukup fantastis yang harus diurus oleh sekumpulan orang untuk didistribusikan, belum lagi masalah kelayakan.

Mas Chrisna sendiri ikut menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki persyaratan tertulis secara rinci. Intinya hanyalah bahwa donasi yang disalurkan harus dalam kondisi bagus dan layak pakai. Aturan ini dibuat sesederhana mungkin untuk mengedukasi masyarakat agar lebih aware terhadap barang yang hendak mereka kirimkan. Meskipun memang pada pengaplikasiannya masih banyak yang luput, terutama yang mengirimkan barang dalam jumlah yang banyak.

“Nah, yang luput-luput itu, kita ada Tim Rabu namanya. Jadi, Tim Rabu ini khusus sortir. Misalnya, kita buka Sabtu ini, hari Rabu udah disiapkan,” terangnya. Dari sinilah, kesabaran dan ketegaran mereka harus dilapangkan. Mau bagaimana lagi, barang-barang yang tidak layak pun juga cukup banyak. Seperti ada yang mengirimkan pakaian dalam, celana yang sudah sobek, sampai pakaian yang sudah lapuk.

Meskipun cukup menguras tenaga dan kesabaran mereka, barang-barang yang sudah tidak layak pakai ini mereka kumpulkan kembali. Setelah itu mereka kirimkan ke TPA Putri Cempo untuk kemudian dijadikan sumber tenaga listrik. Mbak Septi merekahkan senyumannya sembari menjelaskan rasa bangga bahwa setidaknya pemerintah kota sudah memiliki PLTSa. Sedangkan barang-barang yang layak akan mereka bagikan secara gratis maupun tebus murah di galeri. Tebus murah ini dibanderol hanya sekitar 10-30 ribu rupiah bagi pakaian-pakaian yang masih baru. Bagaimanapun, mereka masih memerlukan pemasukan untuk menunjang biaya operasional.

 

Menghidupi Komunitas

Menjadi komunitas mandiri membuat para relawan Joli-Jolan harus terus memutar otak untuk dapat menghidupi kegiatan mereka. Di samping memilah pakaian baru untuk dijual dengan konsep tebus murah, mereka juga menyediakan “umplung” atau kotak sumbangan bagi yang ingin membayar barang yang diambilnya. Adapun satu kotak lainnya ditaruh di area parkir. Namun, mereka tidak mematok harga, siapapun bebas memberi berapa, tak memberi pun juga tak menjadi masalah.

“Semacam kayak solidaritas, orang yang ngambil itu orang yang seperti apa, sih? Kegiatan ini biar bisa tetap berjalan, ya, dari mereka. Karena kita nggak ada sponsor, dana dari pemerintah itu juga nggak ada, murni dari mereka,” kata Mas Chrisna seraya menyodorkan es teh jumbo jualan warga di depan rumah.

Menggantungkan keuangan mereka hanya melalui kotak sumbangan tentu tidak cukup membantu. Seperti awal tahun ini saat mereka dihadapkan dengan tenggat pembayaran domain website sebesar dua juta Rupiah. Wajahnya sedikit merenung mengingat momen tersebut. Namun, dituntut untuk terus kreatif, Joli-Jolan kemudian berinisiatif untuk menjual merchandise berupa kaos.

“Setidaknya buat tahun ini, tahun depan, ya, nggak tahu,” ujar Mas Chrisna tertawa miris membayangkan nasib website-nya setahun ke depan.

Kerap mengadakan workshop, dulunya terdapat Peken Joli-Jolan yang memungkinkan relawan untuk berjualan. Namun, produk-produk ini bukan sembarangan, sebisa mungkin mereka menjual produk-produk UMKM atau produk buatan sendiri. Sayang, lini usaha ini sudah lama tidak terlaksana, sebab anggota yang menjadi inisiator utamanya tengah berada jauh di negeri orang.

Sejak membahas keuangan, Mas Chrisna dan Mbak Septi selayaknya orang yang tengah menelan pil pahit membangun komunitas sosial. “Kita pengennya punya lini usaha sendiri untuk menopang kegiatan ini. Kalau sekarang kita, kan, masih pakai umplung, seikhlasnya. Nah, ke depannya kita pengen punya usaha sendiri, untuk berkembang,” kata Mas Chrisna penuh harap.

Di balik pahitnya, mereka juga terkadang diberi senyum manis melalui orang-orang yang berdatangan ke galeri mereka. Pernah Mas Chrisna dibuat terenyuh dengan tukang becak yang disodorkan tiga barang, tetapi akhirnya hanya mengambil satu celana panjang saja. Bahwa ia merasa puas, ada orang-orang yang sudah mengimani kata “secukupnya”.

Mbak Septi pun juga mengamini dengan beberapa pengalaman haru mereka selama membangun komunitas. “Itu harapannya, membuat bumi lebih baik. Bukan secara physically, tapi sebagai manusia yang itu tadi, memiliki rasa cukup, manusia yang tidak konsumtif, yang nantinya bisa memicu persoalan baru yang lebih besar,” ujarnya.

Mas Chrisna dan Mbak Septi masih memiliki segudang harap, tetapi yang pasti bagi keduanya, Joli-Jolan akan indah pada waktunya. Tinggal menunggu waktu yang tepat saat masyarakat bisa semakin menyadari betapa berpengaruhnya perubahan iklim. Ia juga berpesan untuk selalu ambil sesuai kebutuhan, berikan sesuai kemampuan. Bahwa gerakan melawan konsumerisme ini tidak hanya bisa dilakukan oleh Joli-Jolan saja, tetapi dapat mengalir ke jiwa-jiwa yang mau berkesadaran lingkungan.

 

Penulis: Alifia Nur Aziza

Editor: Aldini Pratiwi