Seruan Aksi Menjadi Fahri

 

Kampus hidup di antara dua Fahri. Fahri Hamzah dan “Nikahi aku, Fahri.” Keduanya sama-sama tenar, dan kadang saling bahu membahu.

 

Mari kita jelaskan ketenaran yang (Insya Allah) tidak akan lekang oleh waktu itu.

 

Fahri Hamzah ini alumni aktivis 1998. Sudah terbayang, kan, bagaimana ganteng dan menawannya si Fahri. Mengingatkan kita pada Dilan: nakal-sangar menggemaskan. Ceritanya, si Fahri ini adalah ketua pertama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), organisasi ekstra paling muda yang semakin jos.

 

Jika sudah alumni, lalu mau jadi apa? Setelah reformasi 1998 lalu mau berbuat apa? Sudah keren di era revolusi sampai reformasi, lalu di era milenial mau berbuat apa? Setelah lulus, mungkin itulah pertanyaan-pertanyaan yang bercokol di pikiran Fahri.

 

Memang ia akan tetap ganteng sepuluh hingga dua puluh tahun lagi. Tapi zaman akan terus berubah. Ia tidak bisa menggerakkan teman-teman kuliah dan masyarakat untuk turun ke jalan lagi atau berorasi di depan rezim Soeharto lagi. Selain Soeharto yang memang telah tiada, satu-satunya jalan membantu rakyat, menurutnya, adalah dengan menduduki kursi dewan.

 

Caranya cukup dengan mengulang cara meraih jabatan semasa kuliah. Pokoknya yang praktis-praktis saja. Namanya juga politik.

 

Fahri juga harus pakai Twitter. Susah kalau mau ikut demonstrasi di jalan. Lha wong dia dan teman-temannya yang sekarang didemo. Mungkin memang siklusnya begitu. Lewat sindirian di Indonesian Lawyer Club dan media sosial miliknya, Fahri seperti ingin menumbangkan rezim pemerintahan yang sekarang.

 

Itu salah satu ilmu yang ia dapatkan di kampus. Ingin mengulang sejarah, mungkin.

 

Sejalan dengan semakin seringnya Fahri Hamzah muncul di televisi. Kuasa KAMMI di kampus-kampus juga kian meninggi. Memang tidak ada hubungannya, sih. Ya, anggap saja ini kebetulan. Sama kebetulannya dengan agenda Jayakan Indonesia 2045 di tampilan aplikasi KAMMI yang mirip Program Menuju Indonesia Emas di Tahun 2045-nya Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

 

Fahri mahsyur jadi politisi skala nasional – menuju internasional – sedangkan KAMMI juga mahsyur jadi penguasa kampus. Sekira lima tahun berturut-turut kader KAMMI menduduki posisi tertinggi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Mahasiswa (DEMA, dan tak jarang Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Universitas Sebelas Maret.

 

Di tengah kepungan Presiden dan Wakil Presiden RI yang dzalim, kafeer, dan antek zionis, mahasiswa harus rajin bersyukur dan bangga karena memiliki presiden dan wakil presiden yang bersikap mulia dan rela berkorban. Terutama dalam hal berkorban waktu kuliah, Uang Kuliah Tunggal (UKT), hingga menunda Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan kelulusan.

 

Siapa yang sudi begitu? Kalau bukan presiden dan wakil presiden kita, ya, sudah pasti tidak ada.

 

Sikap kepemimpinan yang tegar dan mulia itu pasti berasal dari banyak faktor. Salah satunya, dari ajaran organisasi ekstra yang tengah mereka jalani. Dalam kasus ini, asumsi kami tertuju pada KAMMI. Apa saja yang diajarkan KAMMI pada anggotanya? Apa yang mereka lakukan di kampus? Kultur apakah yang dibangun? Harapan-harapan apa saja yang ditanamkan? Dan siapa saja anggotanya?

 

Pada pertanyaan terakhir, kami sering sulit mendapatkan jawaban. Mungkin mereka rendah hati, sadar kalau sombong cuma bikin dosa. Malu-malu untuk mengaku apalagi kalau sudah ditanyai bagaimana caranya dapat kursi.

 

Memang tidak ada politisi yang mengaku dari kubu A atau B jika sudah dekat dengan pemilihan umum. “Kami mewakili kepentingan rakyat,” lebih merdu jika berkata begitu kan? Begitu pula calon presiden dan wakil presiden kami – bukan KAMMI. Pasti kamu akan lebih sering menemui ujaran mereka, “kami mewakili kepentingan mahasiswa.”

 

Itu soal KAMMI. Lalu apa kabar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)? Mereka tak ingin kursi eksekutif mahasiswa? Ingin, tapi belum menemukan jurus yang pas. Keberadaan mereka saja – terutama ideologinya – hampir terhapus oleh zaman.

 

Pasalnya, jika tidak berkiprah di eksekutif, kemudian mau berbuat apa? Diskusi kan hanya program kerja sampingan. Agenda sebelum pemilihan umum, ya, melatih kader. Mendekati pemilihan umum, ya, pasang kader di partai.

 

Toh, sebelum 1998, mereka sudah besar duluan daripada KAMMI. Pertarungan-pertarungan dalam politik kampus adalah hal yang lumrah. Sejak 1947, HMI sering perlu menyesuaikan ideologi mereka dengan pemerintahan yang ada. Agar tetap aman dan dianggap ada, pastinya. Kemudian GMNI, susah payah bertahan dengan Marhaenisme-nya. Begitupula PMII yang – apakah benar – masih bersama Islam tardisional ala Nadlatul Ulama.

 

Romansa pertarungan beberapa organisasi ekstra di kampus ini membuat kami jadi sering mengada-ada. Andaikan benar, demi demokrasi, kisah cinta dan benci mereka kurang lebih akan seperti ini:

 

Dalam satu hari, sudah ada dua perempuan yang menyatakan cintanya kepada Fahri. Satu perempuan GMNI, satu perempuan HMI. Itu terjadi sehari setelah Fahri diprediksi menang jadi Presiden BEM UNS 2017. Kedua perempuan itu sama-sama berkata, “nikahi aku, Fahri.”

 

Ia pun bingung, di hatinya masih ada Aisyah – anak KAMMI yang harus dijatah ranjang dan kursi. Jasa Maria juga tak ingin ia lupakan. Tapi ia juga tak enak dengan dua perempuan cantik ini. Walaupun ia tak begitu suka dengan mereka, apalagi yang tidak satu Tuhan dengannya. Tapi mau bagaimana, Fahri harus tetap gagah, romantis, mulia, dan tampan. Pokoknya, ia tak ingin kehilangan muka.

 

Akhirnya, dengan mengucap, “bismillah.” Fahri memantapkan hati untuk bersikap adil kepada semua perempuan yang meminangnya. “Atas nama demokrasi, Insya Allah aku ikhlas.”

 

Redaksi.[]

 

Edisi Khusus III/Desember/2017 Organisasi Ekstra Kampus (Belum) Mampus

Editorial   : Seruan Aksi untuk Fahri

Laporan 1 : Organisasi Ekstra Kampus Enggan Mampus

Laporan 2 : Banyak KAM(M)I di Kampus Kita

Laporan 3:  “Kalau Mau Jadi Rektor, Masuk HMI Saja!”

Opini        : Masuk Itu Enak

Opini        : Mahasiswa-mahasiswi Kurang Apresiasi