Sengkarut Ilmu di Kelasku

 

Buat Putih Sejati, kawan pelikku.

 

Di mula bulan penuh sukacinta.

 

 

Terimakasih telah meminjamiku Buku Bersepeda ke Neraka karangan Triyanto Triwikromo waktu itu. Maaf, saking fokusnya menonton Yoo Seung Hoo yang ketampanannya di luar batas nalar dalam Drama Im Not a Robot itu, aku tak sadar jika kau telah berangkat ke Solo sampai aku lupa berterimakasih.

 

Tentang bukunya, aku baru tahu jika ada gaya penulisan fiksi yang seseksi itu. Begitu padat, ringkas dan bercerita. Sebagian cerpennya hanya terdiri dari bebrapa kalimat saja. Semacam telik sandi. Sayang sekali guru-guruku di SMA tidak pernah mengenalkan kami dengan gaya penulisan semacam itu.

 

Kau harus tahu, akhir-akhir ini otak bahasaku cuma penuh dengan bagaimana menyimpulkan sebuah soal bacaan, menyusun kalimat-kalimat acak menjadi paragraf yang benar, melanjutkan kalimat yang bolong serta mengamati kata-kata berimbuhan dan segala macamya. Itu yang saban hari disuapkan pada kami dalam persiapan menghadapi UN nanti. Jadi bagiku, buku ini sebagai pembasah tenggorokan sastraku. Sebuah istirahat minum yang menyegarkan.

 

Buku itu, dalam penamaan terkasarku kusebut sebagai pedoman ringkas berplesir ke neraka. Bukan cuma bentuknya saja yang nyentrik dan menyemai dosa. Tapi dalam membacanya pun kurasa memang harus dengan “kepala panjang”. Coba kukutipkan sedikit;

 

Sejak dulu nama saya Tuhan. Jangan paksa saya mengubah, menambah, atau mengurangi nama saya. Mengapa soal nama saja kalian ributkan? Kalau saya bernama Hantu, apakah dunia akan berubah indah? Kalau saya bukan Tuhan, apakah surga lebih mudah dijamah? Saya Tuhan. Saya tidak mau berganti nama (Cerpen berjudul Identitas).

 

Nah, Putih, apa kau bisa menebak apa yang dikatakan teman-temanku saat mereka membaca cerpen ini? “Gelar-gelar” baru disematkan padaku. “Jingga Kelana S.Ka”, kata mereka.  Maksudnya “Jingga Kelana Si Kafir” (Heh, apa kau sedang terpingkal?). Aku sih tidak peduli. Toh, sebulan lagi aku lulus dari sekolah ini (aku memang sombong, sih!).

 

Padahal kan mudah sekali menebak “sandi” dari cerpen itu. Tentu maksudnya adalah Tuhan, pria asal Banyuwangi yang sempat terkenal karena namanya yang berani. Asal kau tahu saja, karena para tetangganya segan memanggilnya Tuhan, maka banyak warga desanya memanggilnya dengan nama Toha. Sekarang kau tahu kan harus ke mana jika kau merasa kecewa dengan hidup ini? Ke Banyuwangi, Put, Banyuwangi!

 

Namun, setelah kurasa-rasa, rupanya cukup mengerikan juga tentang apa yang terjadi padaku, kelasku dan buku itu. Menurutmu bagaimana, Putih? Apakah pendidikan di sekolahku begitu bantat dan terlalu merasa jadi anteseden sehingga hal ini terjadi? Cobalah kau ceritakan padaku sebagai mahasiswa. Jangan pacaran melulu!

 

Aku jadi sedikit ingat, saat pelajaran IPA di kelas sebelas lalu, ketika kami sampai pada bab evolusi manusianya Charles Darwin, guruku bilang, “udah itu dilewatin saja ya! Itu enggak usah dipelajari. Itu Musyrik!”.

 

Seluruh temanku mengangguk. Aku merasa remuk. Aku kecewa sekali, mengapa seorang guru yang menempuh jalan pendidikan cukup panjang bisa kehilangan rasionalitas dan netralitasnya? Maaf, Putih, aku terlalu banyak menebar tanda tanya. Tapi aku benar-benar habis memikirkannya. Andai itu tidak sesuai dengan ajaran Tuhan (bukan Tuhan Banyuwangi~), haruskah kami tidak tahu sama sekali?

 

Saat membaca Franz Magnis, aku dipaksa mengerti bahwa masalah yang ditubrukkan antara ilmu pengetahuan dan agama bukan pada bagaimana mengartikan sabda Tuhan yang diturunkan dalam wahyu. Manusia secara hakiki terbatas pngetahuannya. Sehingga tentu tidak pernah mendapat kepastian seratus persen apakah ia memahami maksud Tuhan dalam wahyu tersebut. Nah, karena kerangka pikirnya terbatas, maka ia dapat keliru dalam membaca wahyu. Dalam usahanya itu, dipakailah etika.

 

Di sanalah kita dirangsang untuk mempertanyakan kembali pandangan moral agama kita. “Tidak jarang kita akan menemukan bahwa sesuatau yang tadinya kita anggap sebagai ajaran agama kita ternyata hanyalah pendapat satu aliran mazhab tertentu. Sedangkan di kitab suci mengizinkan interpretasi lain” (1989: 17). Kira-kira sih begitu.

 

Setan itu (katanya) jahat, tapi Tuhan tetap membiarkan kita mengetahuinya. Bayangkan saja jika tidak ada setan, apakah manusia bakal masih rajin berdoa minta perlindungan-Nya? Maaf, aku benar-benar boros tanda baca. Tapi jika tidak ada setan, mungkin tak masalah jika kau dan pacarmu yang jangkung itu terus berduaan di kamar kos. Tak ada yang cemburu pada setan yang muncul di antara kalian berdua. Dan kemungkinan kalian bakal digrebek lalu diarak keliling kompleks pun jadi tipis.

 

Begitu saja, Putih. Aku harus belajar buat menghadapi UN. Aku sangat senang jika kau mau meminjami aku buku lagi. Tentang persiapanku masuk universitas, biarlah kuceritakan lain waktu. Lekas balas suratku!

 

 

Temanmu, si Peminjam Buku

 

Jingga Kelana []

 

 

Vera Safitri. Penyendiri tangguh. Surel: verasafitri602@gmail.com