PERS MAHASISWA kembali menjadi korban. Beberapa waktu lalu, awak redaksi Suara USU, Lembaga Pers Mahasiswa di Universitas Sumatra Utara, dipecat secara sepihak oleh pihak rektorat. Pemecatan itu didasari pada penerbitan sebuah cerpen yang dianggap tidak pantas dan dapat mencemarkan nama baik kampus. Cerpen tersebut, sederhananya, menceritakan kisah lesbian yang oleh pihak rektorat dianggap tidak pantas untuk dipublikasikan di media kampus (atau paling tidak yang membawa nama kampus).
Pers Mahasiswa (persma) selama ini bergerak dalam kedilemaan antara kerja profesional dan amatir. Dalam proses kerja, fungsi, persyaratan dan produk yang dihasilkan, persma hampir tidak ada bedanya dengan pers secara umum. Hamdan Dulay (2016) menuliskan bahwa antara persma dan pers pada umumnya hanya berbeda dalam isi dan pengolahannya saja; yakni menyesuaikan kebutuhan mahasiswa.
Kendati demikian, persma tidak memiliki daya sekuat media pers umum. Dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers, kata ‘Pers Mahasiswa’ tidak disebut. Meski persma menjalankan proses kerja, fungsi, persyaratan, dan produk yang sama dengan pers pada umumnya, ia tidak memiliki perlindungan hukum yang sama. Persma hanya dilindungi oleh rektor karena kedudukannya (yang biasanya) sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Batas hukum kinerja persma sepenuhnya ditentukan oleh pihak kampus.
Ini yang menjadi persoalan. Hari ini, ketika pemerintah tidak lagi memberi surat izin terbit, menyensor, maupun membredel penerbitan berita sebagai bentuk jaminan kebebasan pers, persma justru masih terkungkung dalam kegelapan tersebut. Persma hanya bekerja di balik SK Rektor, dan oleh sebab itu, kampus sering bertindak sewenang-wenang untuk menyensor bahkan memberedel penerbitan persma. Ini karena media yang dikelola oleh persma inheren dengan kampus dan oleh sebab itu mereka dilarang memberitakan sesuatu yang “mencemarkan nama baik” kampus.
Persma kembali mempraktikan kerja asal bapak senang.
Contoh masalah terbaru yang terjadi pada Suara USU merupakan salah satu bukti kesewenang-wenangan pihak kampus yang menunjukan sikap kontra-produktif terhadap kebebasan pers sekaligus ilmu pengetahuan secara umum. Ironisnya, hal ini justru dilakukan oleh pihak yang semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan tersebut.
Alasan yang dikemukakan pihak kampus sederhana saja: tidak layak diterbitkan di media kampus yang berpotensi mencemarkan nama baik. Padahal salah satu fungsi pers adalah fungsi interpretatif-direktif. Pers membaca suatu fenomena dan menceritakan kepada masyarakat arti dari fenomena tersebut. Selain itu, pers juga bisa menganjurkan tindakan yang seharusnya diambil oleh masyarakat.
Cerpen yang diterbitkan oleh Suara USU merupakan salah satu penggambaran fenomena di mana masyarakat minoritas dan lemah, dalam hal ini kelompok LGBTQ+, kerap mendapatkan diskriminasi. Sehingga pada tahapan berikutnya, cerpen itu secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk tidak melakukan diskriminasi; sebuah tindakan yang mencemari kemanusiaan kita.
Persma adalah pers getho-gethoan alias non profesional. Namun dalam praktiknya, segala bentuk kerawanan yang mungkin menimpa pers profesional dapat pula terjadi pada persma.
Dewan Pers sebagai lembaga yang menjadi penengah atas masalah dan sengketa terkait produk jurnalistik tidak menjangkau persma. Seperti yang terjadi pada LPM Kentingan beberapa waktu lalu, Dewan Pers memberi rekomendasi penghapusan terbitan di saluransebelas.com namun dengan “menitipkan” pesan pada redaksi media yang sudah terverifikasi Dewan Pers.
Dalam masalah yang dihadapi Suara USU, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga “diusir” oleh rektor. AJI dianggap tak punya wewenang apapun untuk melakukan advokasi dan ikut campur dalam penyelesaian masalah ini. Dalam hal ini Suara USU terlihat seperti ayam yang sedang dipukuli di dalam kandang dan tidak ada satu pun yang boleh menolong, sayangnya, yang memukuli adalah ayahnya sendiri, si rektor.
Hal-hal seperti ini yang mesti ditakar ulang. Meski persma tidak didefinisikan sebagai pers profesional, namun pada kenyataannya produk-produk yang dihasilkan tetap bergerak di masyarakat dengan realitas sosialnya.
Kini, ketika persma terus dilemahkan oleh tindakan sewenang-wenang kampus, diminta untuk memberitakan prestasi dan kebaikan kampus saja, maka buat saja tim humas kampus dan bayar para pekerjanya secara layak. Dijamin bapak pasti senang.[*]