Rosa muncul dari kamarnya. Mengisap cerutu. Memandang foto di atas kain hitam, lalu mengambilnya. Menghempaskan asap cerutu ke wajah berpici itu.
“Perempuan orang hukuman, Tapi jangan samakan kesedihan dengan air mata, nangis itu kerjaan kerdil, kamu cuma melacur dengan perasaan, laki-laki lima puluh tahun masuk ke rumah ini, dua belas tahun jadi sandaran hidup kalian, dua belas tahun aku keluar masuk jalanan, karena rumah ini tidak lagi melindungi. Sekarang aku sanggup mengurus rumah tangga ini. Jangan ucapkan kata ayah lagi di depanku!”
Demikian salah satu adegan dalam Pentas Kelompok Kerja Teater Tesa bertajuk Pertja di Sanggar Teater Tesa FIB UNS, Senin (28/03).
Pertja adalah sepenggal lakon yang terdiri atas lima bagian, yaitu: Mendung; Saat Baik Memetik Tomat; Penyakit Itu Sehat; Meniti Karet Gelang; Gita; dan Kunang-kunang di Jalan Layang. Naskah benjon yang satu ini dilakoni oleh lima tokoh, diantaranya Rosa, perempuan 28 tahun; Pupu, perempuan 20 tahun; Selasih, perempuan 16 tahun, Brojo, lelaki 50 tahun; dan Rian, lelaki 24 tahun.
Pertja bercerita tentang tiga wanita bernama Rosa, Pupu, dan Selasih. Cerita hidup mereka ialah ciri khas masyarakat urban, yang penuh perselisihan di antara perbudakan tata cara dan keinginan berkehendak bebas. Rangkaian masalah terus menghantui mereka: kemiskinan, mimpi akan kekayaan, kebangkrutan, patah semangat, ketidakadilan. Walaupun masing-masing figur berlainan pendapat, mereka pada akhirnya berusaha mencari jalan penyelamatan—demi keutuhan keluarga.
Hal yang menarik dari Pertja adalah adanya isu ketidakadilan gender, dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam cerita Pertja tersebut mengalami ketidakadilan gender. Selasih mendapatkan pelecehan seksual dari tokoh Brojo. Kelicikan dan kelihaian Brojo dalam membujuk akhirnya berhasil menjerumuskan Selasih dalam pemikiran yang liar sehingga ia terus melakukan petualangan menikmati pergaulan bebas dengan banyak orang. Akibatnya, Selasih hamil di luar nikah tanpa ada yang bertanggung jawab. Ia dikucilkan akibat perbuatannya hamil di luar nikah. Selasih dikurung di dalam kamar. Tidak boleh keluar dari sana apalagi keluar rumah karena telah membawa aib bagi keluarga, Selasih telah dicap negatif (stereotip), termarginalisasi, tersubordinasi, dan juga terdiskriminasi. Akibat dari manifestasi tersebut Selasih mengalami gangguan psikis.
“Buka! Pupu! Buka! Aku tidak hamil. Bukan bayi dalam perutku. Ini penyakit!”
Kemudian tokoh Pupu juga mengalami kekerasan fisik dan psikis. Keperawanannya terenggut oleh Rian yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya, Pupu merasa hina lebih dari sampah, sampai ia ingin bunuh diri karena adanya stereotip atau pelabelan negatif yang berasal dari norma yang berlaku di masyarakat.
Rosa mengalami kekerasan fisik dan psikis, ia diperkosa oleh lelaki yang mengaku ayah. Akibatnya, Rosa menanggung beban psikis yang berat sehingga ia besar di jalanan dan memilih bekerja menjadi “Mami”.
Hingga akhirnya ketiga perempuan itu melakukan pemberontakan atas absurditas dalam hidup mereka. Di mana Selasih sejak awal ingin menggugurkan kandungannya, akan tetapi gagal. Namun, Selasih puas karena berhasil menghabisi nyawa Brojo. Kemudian Pupu, ia berusaha ingin bunuh diri karena sudah tidak tahan dengan hidupnya, tetapi pada akhirnya usaha bunuh diri Pupu digagalkan Selasih. Yang terakhir adalah tokoh Rosa yang melawan absurditas hidupnya dengan menjadi seorang “Mami” demi menghidupi keluarga. Perjuangan mereka pun pada akhirnya tidak sia-sia. Kemenangan pun mereka raih.
Sepintas, akhir cerita Pertja juga berkaca pada konsep absurdisme Albert Camus, di mana pahlawan absurdisme yang sejati adalah mereka yang berani memberontak dan maju tak gentar menempuh perjalanan hidup demi menghadapi kehampaan absurditas kehidupan.
Penulis: Adien Tsaqif Wardhana
Editor: Sabila Soraya Dewi