LPM Kentingan/Kinanti Batari

Sebuah Kisah Asmara yang Rumit dan Pendidikan Kaum Elit

Judul Buku: Student Hidjo

Penulis: Mas Marco Kartodikromo

Penerbit: Narasi

Tahun Terbit: 2015 (Cetakan Kedua)

Tebal Halaman: 140 halaman

 

“Juga kamu harus ingat, di Negeri Belanda itu, godaan perempuan sangat besar! Jadi harus hati-hati, jangan sampai kena godaan perempuan.”

 

Sepotong nasihat kembali dilayangkan Raden Nganten Potronojo kepada putranya, Raden Hidjo, yang hendak melanjutkan studinya di Belanda. Sebelumnya, pasca lulus dari HBS—setara SMP dan SMA—tiga bulan lalu, Hidjo memang mendapat tawaran dari sang ayah untuk melanjutkan sekolah ingenieur di Belanda. Tawaran ini jelas mendapat penolakan dari Raden Nganten. Sebagai seorang ibu, ia memiliki berbagai macam kekhawatiran terhadap nasib anak semata wayangnya tersebut. Meskipun begitu, ia akhirnya memberikan lampu hijau bagi Hidjo dengan setumpuk petuah, termasuk untuk tetap mempertahankan cintanya hanya untuk tunangannya, Raden Ajeng Biroe.

Setelah melepas keberangkatan Hidjo di Tanjung Priok, Raden Nganten dan suaminya: Raden Potronojo, serta Biroe memutuskan untuk mengunjungi daerah Djarak. Di sana mereka disambut baik oleh pasangan Regent Djarak serta putra dan putri mereka: Raden Mas Wardojo dan Raden Ajeng Woengo. Waktu yang dihabiskan di Djarak membuat Biroe pun mendapat dua sahabat baik sebagai pelipur lara atas absennya Hidjo dalam kehidupannya.

Sementara itu, Hidjo yang telah memulai perjalanannya ke Belanda mulai mengalami apa yang ibunya khawatirkan: godaan perempuan. 

 

Selayang Pandang: Student Hidjo & Mas Marco Kartodikromo

Student Hidjo adalah sebuah novel karya Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis asal Blora yang pernah bekerja sebagai wartawan di Medan Prijaji. Sepanjang karirnya sebagai jurnalis, Mas Marco sempat beberapa kali diawasi oleh pihak berwenang Belanda, ia bahkan pernah keluar masuk penjara karena tulisannya dianggap terlalu berbahaya. Student Hidjo sebagai cerita bersambung yang pertama kali dimuat dalam Harian Sinar Hindia pada 1918 ini pun ditulis semasa Mas Marco masih mendekam di balik jeruji besi.

Mengambil dua latar tempat yang berbeda, novel ini menuliskan perjalanan Hidjo di Belanda dan ketiga kawula muda lainnya: Biroe, Woengo, dan Wardojo di Hindia. Selain memuat kisah percintaan dari keempat tokoh tersebut, novel ini menyinggung penerapan kebijakan politik etis di Hindia sebagai awal mula munculnya kelompok intelektual Bumiputera. Student Hidjo juga menyajikan banyak informasi menarik yang bisa menjadi wawasan tambahan terkait peristiwa dan tempat bersejarah serta kehidupan dari kaum elitis bumiputra dan Belanda dalam dekade 1900-an.

 

Sebuah Potret dari Status Sosial yang Rumit

Selain kisah romansa yang kompleks dari para tokohnya, pembaca juga disajikan beberapa kritik yang diselipkan oleh Mas Marco dalam novel ini, salah satunya adalah isu status sosial. Hal itu tampak dari perilaku dan kata-kata yang dilontarkan Sergeant Djepris. Djepris yang seorang Belanda totok terus-terusan memandang rendah dan memperlakukan bumiputra seolah budak belian. Kasus-kasus serupa memang sering terjadi di Hindia masa itu, di mana orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia mulai merasa superior meski status mereka tidak lebih dari sekadar kuli ataupun orang-orang rendahan.

Tidak hanya sebatas antara kaum Belanda dan bumiputra, perbedaan status sosial juga terlihat dalam internal keluarga Jawa. Sebut saja Raden Potronojo yang merasa bahwa statusnya sebagai saudagar masih lebih rendah dari priyayi birokrat seperti keluarga Regent Djarak. Atas dasar itulah Raden Potronojo kemudian memutuskan mengirim Hidjo pergi melanjutkan sekolahnya ke Belanda dalam rangka mengangkat derajat keluarganya.

 

Perkembangan Budaya Belanda dan Eropa di Kalangan Rakyat Bumiputra

Dalam novel Student Hidjo ini, Mas Marco mencoba membawa pembaca untuk menilik kembali bagaimana perkembangan kebudayaan Belanda di Hindia pada awal abad ke-20. Bentuk perkembangan ini dapat diamati dari pakaian beberapa tokoh bumiputra, khususnya para bangsawan, yang sudah disebut sebagai “ala Eropa”. Selain itu, perkembangan budaya lain yang sangat terlihat dalam novel ini adalah bagaimana bahasa dan istilah Belanda sudah menjadi bagian dalam percakapan sehari-hari para tokohnya, sekalipun mereka sebenarnya adalah bumiputra. Sayangnya, pada catatan kaki atau glosarium tidak banyak  dilampirkan penjelasan, sehingga bagi pembaca generasi sekarang yang sudah asing dengan bahasa atau istilah Belanda yang digunakan harus mengeluarkan usaha ekstra untuk dapat memahami narasinya.

Selanjutnya adalah adat Eropa, mulai dari cara berjalan sampai pada pergaulannya. Di novel ini, Mas Marco menuliskan bagaimana budaya Eropa mulai mempengaruhi perilaku Hidjo. Pada permulaan kisahnya, Hidjo diceritakan sebagai anak baik-baik dan cenderung pendiam. Namun, begitu ia masuk ke dunia orang-orang Eropa, dirinya mulai berani melakukan hal-hal di luar batas yang dianggap biasa dilakukan di sana. Salah satunya adalah pergaulan bebas dengan putri dari pemilik rumah yang ditinggalinya saat di Belanda, Betje.

 

Mempertahankan Gaya Penulisan Klasik

Meski diterbitkan ulang berpuluh-puluh tahun setelah cerita aslinya terbit, novel ini masih mempertahankan penggunaan gaya penceritaan khas tulisan klasik dari penulis-penulis Indonesia. Malahan beberapa tulisan masih menggunakan ejaan van Ophuijsen, seperti pada surat-surat yang ditulis oleh para tokohnya serta nama para tokoh itu sendiri. Dengan tetap dipertahankan gaya penulisan ini, pembaca diberikan pengalaman mencicipi sebuah karya sastra klasik yang dituliskan di masa-masa penjajahan Belanda.

Namun, penggunaan gaya penulisan klasik ini tentu juga membawa konsekuensi yang harus dihadapi pembaca. Bagi para pembaca yang memang sudah banyak menikmati karya-karya penulis klasik Indonesia, mungkin tidak akan begitu kesulitan mengikuti jalan ceritanya. Sementara untuk pembaca yang belum terbiasa dengan gaya penulisan klasik tentu perlu waktu sedikit lebih lama untuk bisa menamatkan novel ini. Penggunaan ejaan van Ophuijsen juga menjadi tantangan tersendiri saat membaca novel ini.

 

Ratih Kusumodewi P. Mahasiswa Ilmu Sejarah yang selalu punya makanan kucing di dalam tasnya.

Editor: Dhiazwara Yusuf Dirga Aditama