Judul : Sejuta Sayang Untuknya Sutradara : Herwin Novianto Produksi : Citra Sinema MD Pictures Rilis : Disney+ Hotstar, 23 Oktober 2020 Durasi : 97 Menit
Film dan realita pada umumnya memiliki gradasi perbedaan adegan yang ‘sedikit’ dilebih-lebihkan. Namun di film Sejuta Sayang Untuknya, sebagian besar cerita dibuat apa adanya⸻hampir 100% mirip dengan kenyataannya. Sebut saja seperti cerita perjuangan seorang ayah demi putri tercintanya, kontradiksi antara kehendak anak dan idealisme orang tua, kisah cinta anak SMA, keluhan rakyat terhadap kebijakan pemerintah, hingga potret guru yang hanya menjadi pendidik di dalam kelas saja⸻tak lebih dari itu.
Film ini berkisah tentang perjuangan seorang ayah dalam membiayai putri semata wayangnya. Hal itu membuat Sejuta Sayang Untuknya cukup layak direkomendasikan sebagai film keluarga yang perlu ditonton guna merekatkan hubungan anak dan orang tua. Seorang anak pada akhirnya diharapkan mampu melihat jerih payah perjuangan seorang ayah yang harus bekerja serabutan, terlilit utang demi memenuhi kebutuhan hidup, hingga harus bersabar mendapatkan hinaan serta cacian. Namun semua itu tetap diterima dengan menguar senyuman demi kasih sayang yang tertahankan. Penonton agaknya perlu menyiapkan tisu untuk mengusap air mata yang berjatuhan tatkala melihat adegan ungkapan terima kasih Gina kepada ayahnya karena telah berjuang mati-matian menyayanginya sebagai seorang ayah sekaligus seorang ibu.
Tak hanya perjuangan seorang ayah, film ini juga mengisahkan konflik antara anak dan orang tua ketika dipertemukan dalam dua sudut pandang yang berbeda. Makna pekerjaan versi Sagala sebagai tokoh ayah ternyata berbeda dengan sudut pandang putrinya, Gina. Bagi Sagala, pekerjaan adalah aktivitas mencari penghasilan yang sesuai dengan minat dan kemampuan. Sementara bagi Gina, pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah dengan nominal hasil sebagai prioritasnya. Yang satu bekerja karena senang, sementara yang satunya lagi bekerja karena uang. Yang satu lebih idealis, sementara yang satunya lagi lebih realistis. Untuk apa melakukan hal yang tidak sesuai dengan bakat dan minat? Tetapi, layakkah mempertahankan pekerjaan yang tak lagi mampu memenuhi kebutuhan?
Lalu, bagaimana cara Sagala dan Gina mempertemukan idealisme mereka? Tentu saja jawaban atas pertanyaan ini tidak akan ditemui dalam tulisan ini, sebab tulisan ini dibuat tidak untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tulisan ini dibuat sebagai interpretasi atas pengalaman menonton film Sejuta Sayang Untuknya dengan tanpa membocorkan alur film kecuali ‘secukupnya saja’. Jika memang para pembaca yang setia ingin mengetahui jawabannya, maka satu-satunya cara adalah menonton langsung film Sejuta Sayang Untuknya dan merasakan sendiri atmosfir peran dan pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh film tersebut.
Kritik Sosial yang Masuk Akal
Terdapat sebuah kejadian unik sekaligus kritis saat Sagala terkena cipratan genangan air hujan sebanyak dua kali dari kendaraan yang berbeda. Cipratan pertama diperoleh dari sebuah bajaj, sedangkan cipratan kedua diperoleh dari sebuah mobil mewah. Pada cipratan pertama, Sagala mengeluh,”tak sekolah ya, Kau?”. Ungkapan tersebut seolah menyatakan anggapan bahwa para pekerja sopir bajaj identik dengan gelar ‘tak pernah sekolah’. Selanjutnya pada cipratan kedua, Sagala mengumpat, “tinggi sekolahmu, ya?”. Umpatan tersebut kian menegaskan bahwa para peraih pendidikan tertinggi cenderung akan sukses dalam urusan materi. Padahal, makna tersirat yang perlu diambil dari adegan ini adalah pendidikan formal belum tentu menjadi jaminan seseorang memahami nilai kesopanan. Tak berlebihan jika seorang Ulama’ tersohor negeri ini mengatakan bahwa satu hal yang telah hilang dari negeri ini adalah akhlak! Sepertinya gagasan yang paling tepat adalah yang pernah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru. Kesopanan tak melulu tentang bangku sekolah, sebab yang berpendidikan tinggi nyatanya tidak jauh lebih sopan.
Kritik lain yang hendak disampaikan film Sejuta Sayang Untuknya adalah peran para pendidik yang hanya sebatas mengajar, tanpa pernah mempertimbangkan latar belakang siswanya. Hal ini dapat dilihat pada adegan ketika Gina sedang melaksanakan Try Out Online untuk persiapan Ujian Nasional, namun Gina hanya bisa terduduk gelisah karena tidak memiliki gawai yang memadai untuk mengakses Try Out Online. Mirisnya, sang guru hanya menegur Gina agar segera meminta kepada orang tuanya untuk membelikannya telepon pintar. Sang guru tidak mau tahu ihwal latar belakang yang mendasari Gina tetap berkutat dengan gawai lama, sebab yang guru tahu semua siswa harus lulus dalam Ujian Nasional agar tidak mencoreng nama baik sekolah. Agaknya sebutan pahlawan tanpa tanda jasa perlu dibatasi tempat dan waktu, sebab guru hanya berlaku ketika sedang mengajar dan dalam lingkungan sekolah. Di luar itu, sudah berada di luar kesepakatan. Salam hormat untuk para pahlawan tanpa tanda jasa.
Akhir kata, film akan selalu menjadi potret realita sosial sekaligus pengingat bahwa kehidupan yang dijalani manusia selalu diawasi oleh mereka yang masih peduli.
Penulis: Akhmad Idris (Kontributor)
Editor: Aulia Anjani