Meraba Perdjoangan Feminis Lawasan

 

Judul Buku     : Wanita dalam Tingkatan Masjarakat

Penulis            : Sri Umyaty

Penerbit         : Pustaka Baru (Surabaya)

Tahun Terbit : Mei 1950

Cetakan ke     : II

Tebal              : 53 halaman

 

 

PADA SAMPUL BUKU, pembaca akan menemui ilustrasi revolusioner. Seorang wanita berkebaya, menenteng buku, berhasil melepaskan diri dari rantai yang mengikat kedua kakinya. Dari tahun terbit, pembaca bisa menyadari kalau perdjoangan emansipasi wanita di Indonesia tidak terhenti di awal abad 20, tapi terus merajut selama rezim Soekarno.

 

Kritik dan saran pada cetakan pertama ditanggapi dengan santai. “Terus terang kami mengakui disini, bahwa ketjuali keadaan suasana-perang jang mendorong tidak tenangnja pikiran diwaktu menulis buku pertama itu, pun djuga baru pertama kali itulah kami mentjoba-tjoba menulis buku” (hal.1). Angkuh betul! Baru pertama kali “mentjoba-tjoba” menulis buku, cetak ulang pula.

 

Pada percobaan cetak yang pertama, buku ini diberi judul Pedoman Rumah Tangga dan  Masjarakat Baru. Terlalu memprivatkan wanita dan kurang revolusioner. Maka dipilihlah judul Wanita dalam Tingkatan Masjarakat di cetakan kedua agar terdengar lebih gurih di telinga para wanita pedjoang.

 

Meski begitu, buku ini tidak hanya ditujukan untuk wanita. “Demikian djuga terhadap kaum laki-laki. Banjak kita kupas rahasia-rahasia kekolotan mereka, jang tidak mau membimbing dan menghargai wanita sebagai manusia lelaki. Pada hal mereka tahu bahwa “manusia” itu termasuk djuga golongan wanita” (hal. 2).

 

Pengaruh keadaan sosial-politik zaman itu, nyatanya memengaruhi arah perdjoangan wanita. Si penulis merumuskan perdjoangan tersebut dalam bingkai komunisme. Tingkatan-tingkatan masyarakat menurut Karl Marx dikutip sebagai ide pokok. Masyarakat pertama (komunis barbar), masyarakat perbudakan, zaman raja-raja (Feodalisme), zaman Borjuis-Kapitalisme, hingga cita-cita revolusiner kaum komunis seluruh dunia: masyarakat tanpa kelas yang terwujud dalam Komunisme (non-barbar).

 

Kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) memang memengaruhi lanskap kehidupan waktu itu. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi wanita yang sering dianggap berafiliasi dengan PKI (meski masih bisa diperdebatkan), berusaha membangun emansipasi politik agar lebih ramah jender.

 

Ini berbeda jauh dengan organisasi wanita yang muncul pasca Soekarno tumbang. Dharma Wanita misalnya, hanya menitikberatkan peran wanita sebagai pendamping – kanca wingking – suami . Tak heran, pasca melemahnya Soekarno, ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerwani, Umi Sarjono, sampai berkata, “Kamu ngomong apa? Aku masih mau hidup. Aku belum mau mati sebelum melihat ada organisasi wanita seperti yang kita punya dulu” (Susanti, 2007, dalam Mariana, 2015: 49).

 

 

1001 Matjam Rantai Pengikat

Di halaman sepuluh, pembaca menemui judul bab yang merdu. 1001 Matjam Rantai Pengikat. “1001 Matjam” dipilih untuk menyatakan banyaknya rantai yang mengikat wanita. Terlampau banyak sehingga tak bisa dihitung jumlahnya. Sementara “Rantai Pengikat” akan membuat tangan pembaca menutup buku untuk sejenak, kembali ke halaman sampul untuk melihat rantai yang mengikat kaki wanita. Rantai itu telah bercerai.

 

Dari 1001 matjam rantai tadi, semuanya berada di “kawasan” non-komunis-sosialis. Seluruh rantai ada di “kawasan” feodal, fasis, dan borjuis-kapitalis.

 

Rantai pengikat di lingkungan perkawinan menjadi yang terbanyak. Salah satunya masih sering ditemui sampai sekarang. “Kalau dipandang lebih dalam kebiasaan lama di dalam rumah-tangga itu, segala sesuatunya diwadjibkan pada si-Ibu… ketjotjokan makanan menurut lidah suami, dingin dan panasnja makanan jang dimakan, tempo dan detiknja djam makan… dan seribu satu matjam lagi” (hal.20). Ternyata wanita tidak hanya menuntut emansipasi dalam ranah politik, tapi juga emansipasi di meja makan.

 

Para lelaki mungkin khawatir saat membaca buku ini. Para mahasiswa akan melarang kekasihnya membaca buku ini. Para suami akan menyimpan buku ini agar tidak dibaca istrinya. Para abang akan menyembunyikan buku ini dari adik perempuannya. Takut perdjoangan wanita terwujud dan hak-hak “istimewa” lelaki tercerabut (termasuk hak di meja makan).

 

Namun para lelaki tak perlu khawatir. Sampul boleh revolusioner. Isi boleh radikal. Tapi di akhir buku, si penulis – yang  angkuh itu – sempat memberi seruan bernada egaliter.

 

“Bangun dan bangkitlah wanita perdjoangan,

Dengan lelaki sama berkawan;

Berdjoang didalam segala lapangan,

Hormat-menghormati tjara berteman.”[]

 

 


 

 

[author title=”Satya Adhi” image=”https://www.saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/05/Satya-Adhi.jpg”]Mahasiswa yang gemar berjalan kaki. Tertarik terhadap (kajian) perempuan. Domisili maya : adhii.satya@gmail.com.[/author]