Judul : Raumanen
Pengarang : Marianne Kattopo
Penerbit : Grasindo
Tahun Terbit : 2018 (Cetakan Ulang)
Ketebalan : 135 halaman
ISBN : 978-602-452-511-8
Raumanen merupakan novel tragedi karya Marianne Kattopo yang berfokus pada dinamika percintaan Raumanen dan Monang yang berliku-liku. Novel ini juga sedikit menyentil sikap diskriminatif yang masih hidup dalam masyarakat Indonesia yang plural. Kritik semacam ini sering dilontarkan oleh Raumanen sendiri dalam konflik psikologisnya.
“Waktu itu republik masih muda, dan siapa akan menilai sampai ke mana semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ meresap ke hati warganya?” (halaman 21)
Percintaan antar suku ini mampu membuat intrik dan konflik psikologis menarik pada kedua belah pihak. Novel ini dapat menghancurkan imajinasi dan glamorisasi cinta dengan mempersembahkan sebuah roman yang realistis, penuh konsekuensi, dan bertanggung jawab. Kita dibuat kesal akan karakter Monang yang mata keranjang dan dibuat menangis oleh karakter Raumanen yang melankolis. Bacaan ini cocok sekali untuk remaja yang sudah menjomblo seumur hidup dan ingin menilik kehidupan percintaan lewat jendela kehidupan percintaan Raumanen.
Monang, si fuckboy anak Mama
Sedikit merasa kasihan dengan pria-pria di luar sana yang memiliki nama Monang, karena nama mereka tercemar akan keburukan karakter Monang pada novel ini. Jika Monang dapat diungkapkan dengan satu kata, maka fuckboy adalah kata yang tepat. Mungkin kita pernah mendengar kata “fuckboy” atau “fakboy”, menurut pop culture dan informasi anak-anak kekinian, fakboy adalah suatu ejekan untuk seorang cowok yang suka flirting-flirting atau pdkt-in para cewek, para cewek di sini berarti banyak cewek ya. Dalam petualangannya ini, si boy atau si cowok ini sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk berkomitmen, alias cuma untuk senang-senang saja.
Kenapa saya sebut Monang sebagai fuckboy anak mama? Karena memang Monang sangatlah berbakti pada mamanya hingga tercekik oleh keinginan-keinginan mamanya. Dalam novel ini, Monang digambarkan sebagai pria penuh pesona yang nakal, tentunya fuckboy juga. Tapi kenakalannya itu seolah tunduk di bawah sang Ratu alias Mama Monang yang tak bernama itu. Tak bernama, tetapi rupanya nama bukan hal yang penting karena Mama tak bernama itu memutar balikan dunia Raumanen dari balik tirai.
Raumanen, Tragedi Antara Dua Suku
Kita pasti pernah mendengar Romeo dan Juliet, drama tentang dua sejoli yang dimabuk cinta berakhir dengan berbagai rentetan tragedi yang ironis, menggemparkan seluruh dunia bahkan membuat manusia yang tidak mengenal Shakespeare berkabung akan tragedi itu. Raumanen adalah tragedi yang hampir sama. Novel yang memfokuskan konflik pada perbedaan suku itu, mempunyai alur tragis yang bisa dibilang mirip dengan Romeo and Juliet yang lebih menyayat hati. Konflik yang dibawakan sangat sesuai dengan masyarakat Indonesia yang beragam, juga percintaan Raumanen dan Monang yang disajikan secara utuh, ringkas, dan realistis dijamin mampu menarik hati pembaca sejak lima halaman pertamanya. Salah satunya dapat kita temukan juga kutipan yang menarik seperti;
“Namaku Raumanen, suatu nama Minahasa kuno. Kabarnya artinya adalah ‘pemudi pemberi kuncup’. Kuncup apa? Kuncup harapan. Harapanku gugur seperti bunga-bunga layu yang menghias rumah tetanggaku.” ( halaman 2)
Kisah cinta ini jauh lebih masuk akal, dibanding kisah cinta populer yang terlalu mainstream beredar di kalangan anak muda. Tidak nampak adanya glamorisasi cinta, yang nampak hanya cinta sungguhan, rasa ketertarikan, konsekuensi cinta, dan tanggung jawab dibalut diksi-diksi sederhana nan elok yang tentunya sangat mampu memikat. Ditemukan juga pada novel ini, bumbu-bumbu pedas kritik akan sikap bias masyarakat terhadap masyarakat lain yang berbeda padahal sudah bersatu dalam satu kesatuan Indonesia tercinta. Seperti yang diungkapkan Monang dalam percakapannya dengan mama tak bernama itu yang tentu saja hanya ia harapkan untuk katakan;
“Jangan kau harapkan cucu dariku! Inilah upah kekerasan hatimu! Ganjaran yang kau terima bagi kecongkakanmu … Dulu kau tak sudi mengaku anakku sebagai cucumu, bila darahnya bukan darah Batak murni. Berbahagialah kau sekarang dengan kemurnianmu. Sambu a roham, inang!” (halaman 80-81)
Cinta Itu Tahi Kucing Rasa Coklat?
Mendengar kata cinta apa yang mungkin kita pikirkan sebagai definisi cinta? Tidak mementingkan diri sendiri? Membuat hal-hal terasa lebih indah? Perasaan candu dan adiktif? Cinta membuat tahi kucing terasa seperti coklat? Konsep-konsep cinta seperti itu sudah hidup dalam masyarakat kita mungkin dari zaman yang sudah tidak terdeteksi lagi kapan awal mulanya.
Nyatanya dalam dunia psikologi, cinta tidak bisa membuat tahi kucing terasa seperti coklat. Dalam teori psikologi cinta oleh Sternberg terdiri atas intimacy (kedekatan), passion (hasrat), dan komitmen. Nah, menurut Sternberg cinta yang sempurna adalah gabungan dari tiga komponen tersebut, dan sebaliknya jika hanya ada satu atau dua komponen saja berarti perasaan cinta itu belum sempurna.
Raumanen dalam novel ini tidak pernah mengatakan atau menyatakan cinta pada Monang, seolah hanya mengikuti arus di mana Monang yang terus saja “menyetir” hubungan mereka. Dalam novel ini juga Manen atau Raumanen lebih seperti terjebak dalam permainan Monang yang terus mendominasi. Bisa digolongkan cinta Manen dalam non-Love atau tidak ada cinta, unsur-unsur cinta sama sekali tidak ditemukan atau diwujudkan pada novel ini. Tidak ada kedekatan, hasrat, ataupun komitmen. Ia seperti mangsa yang terseret jatuh dalam jebakan dengan kaki pincang dan berdarah-darah.
Sedangkan pada Monang, terdapat banyak indikasi fatuous love, cinta bodoh, di mana ironisnya ia mempunyai komponen passion (hasrat atau yang berhubungan dengan hal seksual) dan komitmen, tetapi tidak ada kedekatan. Bisa dilihat dari ketidakpekaannya terhadap perasaan Raumanen yang terpampang nyata pada narasi-narasi konflik kebatinannya pada novel dan ketertarikannya yang hanya ia tunjukan saat masa PDKT saja. Sangat disayangkan keinginannya atas komitmen tidak diikuti dengan keberanian dan tindakan-tindakan yang signifikan. Rupanya komitmen yang dimiliki Monang tidak cukup kuat baginya untuk memperjuangkan cintanya pada Raumanen, dan tercermin pada akhir kisah yang sangat tragis.
Tidak ada kata terlambat untuk belajar, tidak ada kata terlambat untuk membaca. Apalagi belajar dengan cara membaca. Meski sudah empat dekade lebih hidup di dunia, novel ini menua seperti anggur, semakin tua semakin bagus. Saya sendiri berharap jika novel ini tidak akan pernah sirna dan juga dapat memberi kuncup-kuncup perenungan kepada pembacanya.
Penulis: Ellen Feliana (Kontributor)
Editor: Aulia Anjani