Foto: Azfa Zaidan Naqi/ LPM Kentingan

Rasanya Kuliah di Kampusmu

Awal semester ganjil ini menjadi tahun pertama kuliah offline bagi aku dan Richard (bukan nama sebenarnya). Kami berdua sama-sama berkuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Bedanya, Richard adalah seorang mahasiswa internasional angkatan 2020 asal Timor Leste. Luar biasa memang temanku yang satu ini, jauh-jauh datang dari Timor Leste demi kuliah di Universitas Sebelas Maret yang disingkat UNS. Masih menjadi pertanyaan besar juga di benakku kenapa bisa disingkat demikian. Kalau kepanjangannya adalah Universitas Nggawe Susah, mungkin masih masuk akal. Namun tampaknya, perihal singkatan UNS yang membingungkan ini tak mengurangi ketertarikan teman-teman mahasiswa internasional untuk menimba ilmu di sini. 

Jumat pagi, seperti biasa, aku yang tinggal satu indekos bersama Richard bersiap untuk berangkat bersama ke kampus. Singkat cerita, tibalah kami di FISIP UNS sekitar pukul 07.15 WIB. Setelah memarkir motor, kami pun berjalan menuju kelas melewati koridor yang suasananya sudah sepi, sebab sebagian besar mahasiswa sudah berada di dalam ruang kelas. Tibalah kami di depan ruangan kelas, suara ramai obrolan anak-anak sekelas langsung terdengar jelas begitu aku membuka pintu ruangan. Kami pun segera duduk di bangku yang masih kosong. Tidak selang berapa lama setelah aku duduk, sudah ada teman yang mengajakku ngobrol seputar hal-hal random. Seperti inilah rutinitas menunggu dosen yang selalu terjadi di kelas kami, setiap anak sibuk mengobrol dengan anak lainnya, bahkan beberapa dari mereka sengaja duduk dengan kelompok yang sama di tiap mata kuliah karena dirasa sudah nyaman mengobrol bersama. 

Momen-momen seperti ini mungkin sudah menjadi hal yang biasa dialami hampir semua anak di kelasku. Ya, semua, terkecuali Richard. Seperti Biasa, Richard hanya duduk sembari memainkan ponselnya. Aku sering sesekali melihat apa yang Richard lakukan dengan ponselnya, seringkali ia hanya bermain media sosial atau melakukan video call dengan temannya di Timor Leste. Tidak banyak teman kelas yang mengajaknya mengobrol panjang, paling-paling hanyalah sapaan selamat pagi. Begitulah rutinitas Richard ketika kelas pagi, tidak lama berselang dosen kami pun datang dan memulai kuliah. Singkat cerita kelas pun berakhir, aku kadang-kadang suka bertanya kepada Richard setelah kelas berakhir, “Penjelasan dosen tadi paham tidak?” dan Richard selalu menjawab dengan senyum di wajahnya, “Yaaa, lumayan.”

Kejadian-kejadian seperti hari ini seringkali membuatku mempertanyakan sejauh apa sebenarnya pemahaman Bahasa Indonesia Richard? Karena dari sudut pandangku, Richard punya kemampuan berbahasa yang cukup untuk komunikasi sehari-hari, tetapi untuk memahami penjelasan dosen yang notabene menggunakan bahasa yang “berat” dan istilah-istilah keilmuan yang di telingaku saja masih asing, dia masih kesulitan. Hal ini lantas memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain di benakku, apakah mahasiswa internasional seperti Richard tidak diuji dulu kemampuan berbahasa Indonesianya sebelum diterima di UNS? Apakah ada pembekalan pelajaran Bahasa Indonesia kepada mereka? Atau jangan-jangan UNS hanya berusaha menerima mahasiswa internasional sebanyak mungkin agar terlihat selayaknya world class university yang selalu mereka damba-dambakan tanpa memikirkan bagaimana nasib mahasiswa-mahasiswa ini ketika proses belajar? 

(Mungkin) Ini Masalahnya

Beberapa hari yang lalu, satu persatu pertanyaanku terjawab langsung lewat sebuah obrolan sore di indekos. Di indekosku ini, nyaris setengah penghuninya adalah mahasiswa internasional, kebanyakan berasal dari Timor Leste. Jadi, sebagian besar dari mereka mendaftar beasiswa di UNS setelah mendapat info dari teman yang sudah berkuliah di sini lebih dulu. Mereka kemudian akan melewati tahap seleksi berkas dan wawancara. Terkait pembekalan Bahasa Indonesia, sebenarnya dari pihak kampus mengadakan kelas BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). Sesuai namanya, ini adalah program pembelajaran Bahasa Indonesia yang subjeknya merupakan pembelajar asing. Sampai sini mungkin semuanya masih baik-baik saja, kita masih menyaksikan sebuah sistem yang tertata dan nyaris sempurna, namun sayang seribu sayang, eksekusinya malah menimbulkan pertanyaan yang lebih besar lagi. Mahasiswa internasional sebelum angkatan 2020 dan 2021 mendapat kelas BIPA tiga sampai enam bulan sebelum mulai kuliah. Namun, karena alasan pandemi, maka terjadi perubahan di angkatan 2020 dan 2021. Kelas BIPA mereka dilaksanakan setelah perkuliahan dimulai.

Ini menarik, sekali lagi kampus ultramen sukses membuat kita bertanya-tanya, ada apa dengan UNS? Pertanyaan ini, saking seringnya diajukan oleh mahasiswanya, mungkin bisa dibuat berseri layaknya film Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Jika benar-benar ada yang berminat menjadikannya film, tentu ceritanya tidak akan bisa selesai hanya dengan dua film saja seperti AADC. Bisa puluhan sampai ratusan barangkali, saking banyaknya yang perlu kita pertanyakan dari kampus ini. Mungkin para pembaca sekalian bisa membantu menerka-nerka di kolom komentar tulisan ini, atau apabila ada Bapak/Ibu pihak UNS yang tahu alasannya, bisa tolong bantu dijelaskan. Mengapa oh mengapa terjadi perubahan yang tidak ada faedahnya? Meskipun mungkin sudah ada perubahan lagi di tahun 2022, tetapi hal ini tidak bisa menepis kenyataan bahwa yang dirugikan adalah mahasiswa internasional angkatan 2020 dan 2021, dan Richard adalah bukti nyatanya. 

Pembekalan bahasa bisa diibaratkan senjata bagi para mahasiswa internasional  sebelum terjun ke medan perang. Apa yang terjadi ketika diminta turun ke medan perang dulu,  nanti senjatanya dirakit di sana? Ya jelas keburu mati, Pak. Begitulah perumpamaannya, tidak masuk akal, entah apa masalah UNS saat itu. Apakah kekurangan tenaga pengajar? Khawatir nanti susah sinyal? Atau tidak punya anggaran untuk beli kuota? Saya rasa di zaman komunikasi serba canggih ini, UNS tidak bisa menjadikan pandemi dan jarak sebagai alasan tidak mengadakan kelas BIPA ini beberapa bulan lebih awal, apalagi ingin menjadi world class university kan? Sudah seharusnya kita punya sumber daya yang memadai untuk mengatasi hal-hal seperti ini. Jelas kampus berhutang penjelasan kepada kawan-kawan mahasiswa internasional. 

Standar UNS terkait tingkat kefasihan Bahasa Indonesia yang harus dimiliki calon mahasiswa internasional juga sebenarnya patut dipertanyakan, karena menariknya, ada beberapa mahasiswa internasional asal Timor Leste yang turut menyertakan sertifikat BIPA yang diperoleh dari Pusat Budaya Indonesia di Timor Leste. Namun, ada juga yang tidak melampirkan seperti Richard, karena melampirkan sertifikat BIPA ketika mendaftar sendiri sifatnya opsional. Bagi yang memiliki sertifikat ini, mungkin bisa dibilang mereka sudah terbukti fasih. Akan tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak punya? Apa yang bisa menjadi jaminan kalau mereka fasih berbahasa Indonesia? Entahlah, hanya pejabat UNS yang tahu.

Di sinilah pentingnya transparansi, kampus semestinya lebih transparan lagi terkait standar penerimaan ini, mengingat hal tersebut juga layak diketahui oleh publik. Kefasihan berbahasa Indonesia jelas dapat menjadi salah satu tolak ukur pemahaman para mahasiswa internasional saat kegiatan belajar mengajar (KBM). Apabila dari segi pemahaman bahasa saja sudah kurang, jelas akan kesulitan dalam menyerap ilmu. Maka dari itu, hal ini sepertinya harus ditinjau lagi oleh UNS. Karena nyatanya, masih ada mahasiswa internasional seperti Richard yang terkendala bahasa saat KBM. Kalau ke depannya ini tidak segera dibenahi, rasanya percuma para mahasiswa internasional didatangkan kesini.

Perihal Kehidupan So-SIAL

Persoalan bahasa tampaknya tak menjadi satu-satunya ujian bagi para mahasiswa internasional ini dalam berkuliah di kampus kita. Beberapa dari mereka punya pengalaman yang bisa dibilang kurang mengenakkan. Mirisnya, itu tentang perlakuan yang mereka rasakan dari mahasiswa Indonesia. Dalam pembentukan kelompok untuk tugas misalnya, ada yang merasa “dikesampingkan”. Bahkan ada yang bercerita kalau temannya sesama mahasiswa internasional pernah mencoba mengajukan diri untuk masuk ke kelompok lain. Awalnya ia diminta menunggu, tetapi akhirnya ditolak dan digantikan dengan orang lain. Entah apa alasan pastinya, tetapi kejadian ini menjadikan kawan kita berpikir bahwa teman sekelasnya yang lain terlalu meremehkan dirinya. Akhirnya timbul trauma, yang membuat ia tak pernah mau lagi mengajukan diri ketika ada pembentukan kelompok. Aku yang mendengarkan cerita ini jujur merasa kasihan, mereka seakan dipaksa untuk menerima apa adanya tanpa ada kesempatan untuk membuktikan diri.       

Ada juga yang menceritakan betapa sulitnya berbaur dengan yang lain karena mayoritas suka menggunakan bahasa Jawa. Dia merasa sudah berusaha berbaur, namun teman-temannya masih tetap menggunakan bahasa Jawa meskipun ada dia yang ikut mendengarkan. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh besar di Indonesia, jujur ketika mendengar pengalaman kawanku ini, aku malu. Bukankah Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi toleransi? Aku rasa semboyan Bhinneka Tunggal Ika tak hanya layak kita junjung terhadap sesama bangsa Indonesia saja, melainkan kepada bangsa-bangsa lain yang turut hidup di negara kita. Sangat disayangkan, walaupun perlakuan kurang mengenakkan hanya dirasakan oleh sebagian kecil dari mereka, tapi tentu ini tidak mengubah fakta bahwa rasa respect mereka terhadap orang Indonesia menjadi berkurang. Sangat disayangkan, seharusnya kita sebagai tuan rumah mampu memberikan perlakuan terbaik terhadap tamu-tamu kita ini. 

Perihal teman-teman yang mayoritas lebih sering menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari, jujur sebagai mahasiswa rantau dari luar Pulau Jawa aku pun terkadang merasa kesulitan beradaptasi dengan hal itu, dan aku tahu memang ada beberapa kata dalam bahasa Jawa yang sulit diartikan ke dalam Bahasa Indonesia. Tapi mungkin tidak ada salahnya mencoba berbahasa Indonesia lebih sering ketika bersama teman-teman yang tidak paham bahasa jawa terutama mahasiswa internasional. Karena jujur, itu akan sangat membantu mereka beradaptasi dan tentu usaha kalian pasti akan sangat bernilai di mata mereka. Jangan sampai kita dicap sebagai orang-orang sukuisme yang hanya mementingkan suku bangsa sendiri.    

Mereka Perlu Didengarkan

Hal terakhir yang mungkin aku ingin ceritakan kepada kalian, adalah rasa terkejut sekaligus bahagiaku ketika melihat ada salah seorang dosen yang sadar akan keterbatasan Richard dalam memahami materi kuliah di kelas. “Habis ini ke ruangan saya untuk privat ya,” ujar dosenku pada hari itu. Beliau adalah dosen mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif (MPKK), Diah Kusumawati. Senang melihat masih ada dosen yang mau turun langsung menangani permasalahan ini dengan inisiatifnya sendiri. Menurutku ini adalah sebuah harapan bagi Richard dan mahasiswa-mahasiswa internasional lain yang mengalami kendala serupa. Karena nyatanya di fakultas lain masih ada mahasiswa internasional yang mengeluh terkait dosennya yang kerap menyelipkan bahasa Jawa ketika menerangkan materi. Hal ini patut menjadi perhatian, mengingat ini menyangkut hak-hak mahasiswa juga. Rasanya perlu ada diskusi antara pihak kampus dan mahasiswa internasional untuk mendengar aspirasi-aspirasi mereka. Dari diskusi ini, kampus bisa tahu hal apa saja yang perlu diperbaiki. Kesadaran dosen terkait keberadaan mahasiswa internasional dalam kelas juga perlu dievaluasi. Bahkan ketika ada dosen yang mengajar sambil menyelipkan bahasa Jawa aku sering bertanya dalam hati “Dosenku ini sadar gak sih kalau tidak semua orang paham bahasa Jawa?” begitu pikirku. Nah, aku saja yang masih orang Indonesia berpikir demikian, lantas bagaimana dengan para mahasiswa internasional? Hal ini tentu sangat krusial karena menyangkut inklusifitas dalam KBM. 

Dengan ini, mari berharap pihak kampus segera membuka mata terhadap keluh kesah kawan-kawan mahasiswa internasional ini. Sudah sepantasnya pihak kampus menjadi pihak pertama yang mendengar dan memfasilitasi kebutuhan mahasiswa-mahasiswa internasional, mengingat itu adalah bentuk pertanggungjawaban mereka atas keberaniannya menerima mahasiswa internasional. Mendaftar ke UNS memang adalah keputusan mereka sendiri, tetapi UNS sebagai penyedia beasiswa seharusnya jauh lebih siap, baik itu secara sistem penerimaan, pembekalan, bahkan penanggulangan permasalahan mahasiswa internasional di lingkup kampus. Jika tidak mampu memberi jawaban atas permasalahan ini, rasanya internasionalisasi UNS hanyalah sebuah mimpi di siang bolong. Perlu diingat, UNS pernah meraih gelar kampus inklusif pada 2012 silam. Meski pun gelar itu mereka dapatkan atas pencapaian mereka dalam menyediakan ruang pendidikan bagi penyandang disabilitas, tetapi rasanya gelar ini seharusnya juga mampu menjadi pendorong UNS untuk memenuhi segala kebutuhan para mahasiswa internasional ini. Karena kampus yang inklusif juga berhak dirasakan oleh mereka yang berasal dari negara yang berbeda.        

Obrolanku dan teman-teman mahasiswa internasional di indekos sore itu berakhir dengan sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman mahasiswa internasionalku, sebut saja Justin, “Gimana Bol, mau tanya apa lagi?” Menanggapi Justin, aku hanya tersenyum mencukupkan, meski di benakku masih ada satu pertanyaan yang tadinya ingin kutanyakan. Namun, setelah mendengar semua cerita mereka, rasanya aku tidak pantas untuk menanyakan ini  “Jadi kawan, bagaimana rasanya kuliah di UNS?” 

 

Penulis: Andi Muh. Ahsan Rizal

Editor: Revy Anestasia Sulistiyo dan Sabila Soraya Dewi