Ilustrasi: Chandrawaty Dwiyanisufina/LPM Kentingan

Rapor Rektor dalam Catatan Masa

“Kampus kita sedang tidak baik-baik saja.”

 

Kalimat di atas berhasil masuk ke dalam kategori topik yang paling banyak diperbincangkan oleh hampir seluruh mahasiswa universitas beralmamater biru ndog asin selama satu bulan terakhir. Kalau saja Majelis Wali Amanat tidak dibekukan oleh Mas Menteri, idealnya pada 14 April lalu Bapak sudah bisa beristirahat dan menikmati masa pensiunnya (sebagai rektor) dengan tenang, bukan malah kembali menggendong setumpuk tanggung jawab yang semakin berat. Namun, huru hara ini kian hari kian dianggap layaknya sebuah pertunjukan yang tersaji rapi. Jajaran birokrat sebagai lakon dan para mahasiswa yang duduk manis di kursi penonton. Tidak manis-manis amat, sih. Ada yang menonton lalu diam-diam mencuitkan opini, ada yang secara terang-terangan mengajak beraudiensi, ada juga yang seperti kami: pergi menyelami rapor kinerja Bapak selama empat tahun ini.

Mengambil dari riset resmi milik saudara Orbit dan Eling, Pak Jamal mencanangkan empat program kerja prioritas (dengan detail mampu dilihat pada rubrik terkait) yang intinya kampus ini ditarget untuk lebih melek akan revolusi industri 4.0, tidak hanya dalam program kerja, melainkan juga perealisasiannya kepada seluruh sumber daya yang ada, terutama civitas akademika. Selain itu, inovasi dan optimalisasi birokrasi juga turut hadir dalam baris agenda yang diaksentuasi. Sebentar—coba sekarang sama-sama berkontemplasi atas realita yang terjadi di dalam kampus tercinta. Benarkah ribuan mahasiswa yang antara sadar dan tidak sadar terdampak oleh berbagai kebijakan dari sosok bernama rektor ini betulan paham mengenai deretan visi misi apik tersebut? Jangankan paham, tahu saja tidak. Kami yang akan dipimpin, kami yang akan diajak untuk berkelana melewati jalur baru, tapi sayangnya kami juga yang tidak dilibatkan dalam proses pemilihan itu. Entah karena sistem para elite kampus yang sulit untuk ditembus, suara mahasiswa yang ternyata tidak terlalu penting untuk didengar, atau memang sikap apatisme mahasiswa terhadap politik internal yang merupakan buntut dari rasa lelah karena terus-terusan menjadi produk mainan.

Fasilitas (Kurang) Berkualitas

Memulai dari basis sebuah tempat belajar: ruang kelas. Sedikit melakukan kilas balik mengenai insiden yang sempat terjadi di fakultas ungu beberapa waktu lalu. Sebuah kaca jendela ruang kelas jatuh ketika kuliah tengah berlangsung, seorang mahasiswa menjadi korban, mengalami luka yang cukup serius di kepala dan rasa trauma sukses memperkenalkan diri sebagai teman. Satu pertanyaan kemudian muncul sebagai respons dari kejadian tersebut: sebenarnya di mana kontrol pihak kampus terhadap fasilitas yang ada? Tempat paling krusial untuk keberlangsungan proses belajar mengajar mosok malah tidak diperhatikan dengan betul-betul? Mahasiswa masih sering pula dihadapkan dengan kondisi pendingin yang tak berfungsi dan kapasitas kelas yang tak mendukung untuk menampung rombongan belajar berjumlah banyak, lho, Pak. Kalau begini, pasti disuruh lapor, tapi kalau sudah lapor, apakah ada jaminan untuk segera diatasi atau minimal diberi kilat solusi? 

Beralih ke tetangga. Kalau kamu penghuni fakultas jingga, pasti sudah bukan barang baru bahwa kecepatan internet di area hufis dan public space sangatlah menguji kesabaran. Padahal dua kawasan itu termasuk tempat paling pewe untuk mengerjakan tugas, mencari referensi penelitian, bahkan melakukan kegiatan belajar mengajar secara blended learning. Jadi, jangan heran kalau mendengar jawaban mahasiswa yang mayoritas menyatakan bahwa fasilitas di dalam kampus masih belum cukup untuk menunjang pengembangan diri mereka. Ingin segera mereorientasi pembelajaran dengan basis digitalisasi, tapi penyediaan internet saja masih belum maksimal dan merata. Ini baru di satu fakultas, belum yang lain. Apa kabar area yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang, yakin kecepatannya mampu menyentuh kata lumayan?

Ironi Kampus Cabang

Masih berkutat pada persoalan fasilitas kampus. Kalau boleh dibilang sebenarnya UNS punya kampus (dalam ilustrasi ini kami sebut anak-anak) yang tersebar di penjuru daerah. Pun seperti anak-anak pada umumnya, mau bertingkah sebagaimana pula niscaya akan tetap bergantung pada induknya. Entah mau semandiri apa pun itu. Akan tetapi, UNS kampus pusat cenderung berlagak seperti ibu tiri yang ada di sinetron televisi. Terpancar jelas dengan sarana prasarana yang tampak di masing-masing kampus cabang yang agak ngeri-eh nyeni maksudnya-. Coba kita sedikit resapi, mungkin sesekali juga berkunjung ke kampus kawan-kawan kita, yang selalu diberi wejangan kampus pusat untuk selalu “sabar”. Seperti halnya gedung yang atapnya sudah roboh, ada pula coret-coretan pilox di dinding, itu dikuatkan saja hatinya, toh nanti juga bakal datang bala bantuan yang entah kapan (colek Kampus Cabang Ngoresan). 

Yha, realitas yang dihadapi kawan-kawan di beberapa kampus cabang ya seperti itu. Sebagai pengantar, tengok saja artikel pada kanal saluransebelas.com edisi April 2022 yang bertajuk “Kampus Cabang: Beginikah Rasanya “Dianaktirikan”?”. Artikel tersebut mengupas tuntas perihal mirisnya situasi dan kondisi Kampus Cabang Ngoresan. Tampak jelas bagaimana sebuah tempat yang notabene didapuk guna menjadi wadah para mahasiswa mengenyam pendidikan, akan tetapi dipenuhi sebuah keprihatinan. Tak berhenti di situ, selain buruknya fasilitas penunjang pembelajaran, ngadatnya jalur informasi dari kampus pusat menuju kampus cabang juga menjadi poin negatif yang luput dari kacamata Bapak. Setidaknya dua informasi baku seperti kabar terkait PKM dan keringanan UKT, terlambat diterima oleh kampus Madiun, Manahan, dan Kebumen. Narasi tentang keterlambatan penyaluran informasi ini dapat ditelisik dalam artikel “Tingkat Penyaluran Informasi dari Kampus Pusat ke Kampus Cabang”. 

Sebuah paradoks, ketika kampus pusat dengan jumawa mengelu-elukan pembangunan Tower UNS, sedang sebagian kawan di kampus cabang tengah berjibaku mengusahakan fasilitas dan pelayanan yang pantas. Ironi yang sejatinya menjadi satu catatan buruk pada masa kepemimpinan Bapak. 

Sederet Kebijakan Kontroversial

Sedikit kilas balik juga, tak sedikit kebijakan-kebijakan kontroversial yang sempat mewarnai masa jabatan Bapak. Setidaknya ada tujuh catatan perihal kebijakan yang gencar dikritik tatkala seruan mimbar bebas mahasiswa di hari kelahiran UNS ke-47. Kami menggarisbawahi dua kebijakan, di antaranya penghapusan SPI 0 rupiah bagi maba jalur mandiri, ada pula kebijakan pembelian almamater yang tidak sepaket dengan UKT. Kedua kebijakan tersebut terasa sangat oportunis dan kurang memperhatikan kesejahteraan mahasiswa. Jikalau bicara kebijakan yang masih dini ditetapkan di awal tahun 2023. Silahkan singgah ke laman akun Instagram @unsofficial. Tepat di postingan per-tanggal 17 Januari 2023 berdasar surat pemberitahuan yang ditetapkan pada tanggal 11 Januari, berisi perihal kebijakan hari bebas emisi yang kini berubah dari satu bulan sekali menjadi satu bulan dua kali, pada hari jumat pekan pertama dan ketiga di bulan tersebut. Satu hal yang perlu dipertanyakan mengenai substansi dari hari bebas emisi itu sendiri, apakah benar sesignifikan itu berpengaruh terhadap lingkungan? atau hanya kebijakan gagap yang mengikuti tren yang tengah berpendar?. Menurut kami, diperlukan pengkajian ulang kaitannya dengan berbagai kebijakan di atas.

Dosen VS Mahasiswa: Berbeda itu Biasa

Tidak afdol rasanya kalau sudah menuliskan a-i-u-e-o tentang kampus, tapi belum menyorot perihal dosen sama sekali. Program kerja milik Pak Rektor yang tidak kalah penting adalah akselerasi profesionalitas SDM, termasuk dosen. Setiap mahasiswa pasti memiliki penilaiannya sendiri-sendiri terhadap dosen yang mengajar mereka. Kalau menurut pandangan kami, hal terpenting yang mampu menjadi indikator profesional tidaknya para dosen ialah penguasaan materi. Mahasiswa dituntut menjadi sosok yang kritis. Pertanyaan-pertanyaan dengan kualitas di atas rata-rata tentu diharapkan mampu hadir dalam setiap pembahasan materi. Namun, apabila dosennya saja belum menguasai betul poin-poin yang akan disampaikan, ibarat hanya menyampaikan luarannya saja tanpa paham benar dasar dari persoalan tersebut, maka kapabilitas mahasiswa dalam hal pemecahan masalah atau yang berkaitan dengan analisis lama-lama akan kacau. Sejauh ini, diskusi secara face-to-face mengenai topik yang ditanyakan masih menjadi jalan keluar efektif.

Pertanyaannya, sudahkah seluruh dosen di kampus yang bercita-cita menjadi World Class University ini menerapkan secuil cara tersebut ketika mengajar? Tersenyum bangga ketika ada mahasiswa yang kritis menyoal kalimatnya? Ya kami doakan saja semoga (di kampus ini) tidak ada mahasiswa yang tiba-tiba mendapatkan nilai kecil lalu berimbas pada turunnya indeks prestasi kumulatif hanya karena ia berlainan pendapat atau vokal bertanya ini-itu kepada Bapak/Ibu. Mengutip kalimat legendaris Soe Hok Gie, guru bukan dewa dan murid bukan kerbau, maka sudah barang benar kalau dosen memberikan ruang tersendiri untuk para mahasiswa dalam menyampaikan argumen-argumen menarik mereka. Selain memaksimalkan dosen untuk melakukan transmisi ilmu, hal ini juga diharapkan mampu menciptakan suasana dialektika yang aktif dan berhasil menemukan jawaban yang positif.

Ada hal menarik yang hadir dalam Laporan Kinerja Universitas Sebelas Maret 2020 dan 2021 serta riset kawan kami bertajuk “Analisis Perspektif Mahasiswa terhadap Kinerja Rektor UNS Masa Bakti 2019-2023”. Selama kurun waktu yang disebutkan, kualitas dosen dilaporkan mengalami peningkatan. Cukup banyak pula mahasiswa yang memilih setuju bahwa mereka diajar oleh dosen yang profesional dan berkualitas. Tentu hasil ini tidak luput dari performa apik Bapak selama empat tahun menjalankan peran yang krusial. Apresiasi juga kami persembahkan untuk naiknya tingkat akreditasi kampus serta bertambahnya jumlah mahasiswa yang berhasil mencatatkan prestasi. Sayang sekali, laporan terkini untuk tahun 2022 tidak berhasil kami temukan di situs kampus.

Catatan Kecil untuk Bapak

Sejatinya menjadi pemangku jabatan dalam perguruan tinggi adalah sebuah cenderamata sekaligus setumpuk beban yang teramat besar. Lumrahnya pemimpin tersebut dituntut untuk selalu memberi andil terhadap kesejahteraan internal kampus maupun citra baik di mata khalayak ramai. Peran ini sepantasnya diisi oleh pribadi yang benar memberikan segenap hati teruntuk kemajuan kampus ndog asin tercinta. Representasi akan jabatan dengan moniker “rektor” tersebut telah empat tahun diemban oleh Bapak kita, Jamal Wiwoho (yang nampaknya juga masih segan untuk menanggalkan gelar tersebut).

Empat tahun bukan waktu yang relatif singkat. Sudah barang tentu berbagai polemik dan prestasi telah banyak menghiasi kalender akademik Bapak. Perpanjangan masa jabatan bapak saja, sudah merupakan satu kasus yang membuktikan bahwasanya otonomi kampus perlu berbenah. Hikmah dari itu semua, setidaknya harapan besar untuk UNS menjadi World Class University masih dipikul oleh orang yang sama. Tak perlu ditarik ulur, dilempar, atau di-passing ke siapa pun, cukup tanggung jawab spesial ini teruntuk Bapak seorang. Begitu pula meliputi berbagai PR dan evaluasi besar-besaran yang seharusnya dapat menjadi pembelajaran di masa kepemimpinan ke depan. 

Adakalanya ambil nafas dan ancang-ancang dulu juga tidak apa, Pak. Contohnya mungkin sesekali disempatkan menengok artikel kawan-kawan atau mengadakan konser seperti dies natalis kemarin, tentunya akan kami sambut dengan segenap hati juga, heuheueheu. Akan tetapi kembali lagi, mau sebagaimana pun Bapak berusaha-sinergi antar rektor, dosen, dan mahasiswa menjadi satu bekal utama yang harus lebih dimaklumatkan dalam rangka pembangunan ekosistem sehat di kampus. Integritas dan martabat tinggi sebuah universitas hanya mampu diraih apabila entitas di dalamnya turut berkontribusi dengan memaksimalkan praktik dari peran masing-masing, sehingga (diharapkan) tak lagi ada ketimpangan yang berarti. 

Meminjam satu kutipan ala kawan kami, Abol. “Layar telah terkembang, jangkar usai dientas, pun awak sudah bersiap”. Teruntuk Bapak, selamat (kembali) mengarungi perjalanan panjang ke depan dengan perahu kecil, tua, dan berkarat bernama UNS. Semoga segala sesuatu yang belum sempat usai (kemarin), dapat sesegera mungkin menuju kata selesai. Salam!

 

Penulis : Jasmine Aura Arinda dan Dhiazwara Yusuf Dirga A

Editor: Julia Tri Kusumawati