Sejak 76 tahun Indonesia merdeka, selama itu pula Indonesia telah menyandang status sebagai negara demokrasi. Di mana rakyatlah yang memiliki kedaulatan tertinggi. Namun, apakah benar? Sudahkah kita sebagai rakyat mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak kita? Atau hak yang seharusnya menjadi milik kita malah menjadi senjata untuk membungkam kita?
Kebebasan berpendapat sudah seharusnya kita miliki sebagai rakyat yang berdaulat. Bahkan apabila dibuktikan secara hukum, hal itu sudah tertuang dalam Pasal 28I Ayat 4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Begitu indah demokrasi di negeri ini jika kita melihat dasar-dasar negara. Namun, apakah benar begitu adanya? Adil bagi semua orang seperti yang terdapat dalam sila ke-5 Pancasila? Atau syarat dan ketentuan berlaku di dalamnya?
Jika kita percaya pada filosofi demokrasi, di mana kedaulatan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi. Sejatinya sudah sepantasnya bahwa pemerintah yang ada, seperti bupati, walikota, gubernur, hingga presiden bekerja untuk rakyat. Keputusan yang diambil merupakan keputusan yang diambil sepenuhnya dengan tanggung jawab atas nama rakyat. Namun, bukannya menjamin kesejahteraan dan hak-hak rakyat, pejabat yang takut kehilangan akan kekuasaannya justru menganggap rakyat sebagai ancaman.
Baru-baru ini kebebasan bersuara dirampas lagi dan suara rakyat dibungkam lagi. Setelah kasus penangkapan para aktivis kampus dari BEM Unsyiah dan BEM UI. Kali ini bukan vokal yang berbicara. Di Yogyakarta, mural yang dinilai “mengkritik” pemerintah dan provokatif dihapus secara massal. Satpol PP pun bahkan hingga turun tangan untuk menyisir segala karya seni yang bermedia dinding itu. Padahal, bentuk kritik merupakan salah satu wujud dari demokrasi.
Kritik kepada pemerintah merupakan pertanda bahwa ada keresahan yang dirasakan oleh masyarakat. Seharusnya bukan malah membungkam suara hati rakyat, pemerintah anti-kritik ini sudah sepatutnya untuk refleksi diri. Bukan malah membungkam dan memberhentikan aksi. Tidak berhenti sampai di situ, kebijakan demi kebijakan yang dibuat juga terkesan makin mempersulit kita sebagai rakyat. UU ITE hasil revisi bagaikan sebuah jala yang digunakan pemerintah untuk menjerat siapapun yang sebenarnya hanya ingin mengkritik. Dengan segala pasal karetnya, sekali lagi demokrasi yang ada sudah terdegradasi.
“Awas. kalo ada tukang bakso lewat, nder.” begitu ujar netizen di Twitter kepada pengguna lain yang usai melontarkan kicauan menyentil pemerintah. Memang, dunia media sosial sudah tidak aman lagi untuk berkeluh kesah, apalagi untuk mengkritisi sikap pemerintah. Namun, dengan jumlah penduduk nomor empat terbanyak di dunia, kita sebagai rakyat masih bisa memperjuangkan hak-hak kita atas dasar demokrasi. Jangan sampai suara kita tenggelam di antara jeratan-jeratan pasal yang sedang mengintai.
Penulis: Anindita Cantaka W.
Editor: M. Wildan Fathurrohman